Menu

Amazon

Lazada

Friday 19 June 2015


ISLAM SEBAGAI SITEM KEMASYARAKATAN 
DALAM PANDANGAN KH. ABDURRAHMAN WAHID



Menurut Gus Dur dalam mengkaji sistem kemasyarakatan seharusnya bukan hanya struktur kehidupannya yang bersifat organisatoris belaka, melainkan pengaruh tata nilai kehidupan yang ada dalam sebuah masyarakat terhdap prilaku para warganya.

Bila kita menganalisis sistem kemasyarakatan umat islam di Indonesia, maka tidak cukup hanya menghitung berapa jumlah ormas Islam yang ada, dan kemudian membuat kategori, seperti NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, dan lain sebaginya.

Gus Dur menegaskan bahwa Islam sebagai sistem kemasyarakatan haruslah  dikaji dari sudut hubungan timbal balik antara tata nilai kehidupan dan prilaku warganya. Tata nilai kehidupan dalam masyarakat menurut Gus Dur bersifat independen. Demikian halnya dengan sikap dan prilaku masyarakat yang ada di dalamnya.

Gus Dur mengatakan bawha dalam mengkaji hubungan antara keduannya ada beberapa perangkat penting yang harus diamati perkembangannya:
  1. Orientasi nilai dan pola kelembagaannya;
  2.  Motivasi penyimpangan di dalamnya;
  3.  Mekanisme control;
  4.  Tata keyakinan.
Menurut Gus Dur ke empat perangkat di atas akan memberikan warna tersendiri terhadap corak kehidupan masyarakat. Warna itu sering kita sebut dengan ciri, watak atau gaya hidup. Gus Dur menengarahi bahwa pemahaman kaum muslimin terhadap sistem kemasyarakatan Islam secara historis sangat berneka ragam. Setidaknya ada tiga ciri umum yang dapat dikemukakan:
  1. Terlalu mengidialkan masyarakat Islam itu sendiri.
  2. Sangat subjektif karena tidak adanya jarak antara ilmuan sebagai pengkaji dan Islam sebagai agama yang diyakininya. Subjektifitas di atas pada akhirnya melahirkan sebuah sikap yang mendambakan masyarakat ideal di muka bumi ini. Sikap yang semacam itu tentunya, kata Gus Dur, akan mempengaruhi objektivitas pemahaman terhadap sistem masyarakat Islam, dan akhirnya pemahaman yang dihasilkan tidak sepernuhnya realistis.
  3. Non-kompromistis dalam menggambarkan ciri, dan watak serta gaya hidup masyarakata Islam. Hal ini menyababkan hasil pemahaman menjadi lepas dari konteks kesejarahan.
Ketiga hal di atas adalah ciri umum dari pemahaman kaum muslimin terhadap sistem masyarakat Islam. Gus Dur mensinyalir bahwa perkembangan sejarah Islam selalu menunjukkan dua hal:
  1. Semakin merosotnya kekuatan sosio-politik umat islam;
  2. Semakin berkembangnya sosio-kultural umat Islam.
Menurut Gus Dur kemunduran sosio-politik mengakibatkan rasa pasimisme dan rasa tidak percaya diri. Sedangkan peningkatan sosio-kultural yang semakin berkembang pesat melahirkan harapan akan bangkitnya jaman ke emesan Islam. Kombinasi dua sikap ini kemudian melahirkan sikap baru, yaitu perlarian kepada kejayaan masa lampau kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Contoh terbaik dalam hal ini adalah gerakan moderanisasi Islam yang sepenuhnya diarahkan untuk menciptakan sistem masyarakat Islam masa lampau dengan baju ideologi masa kini. Gerakan moderenisasi di atas kemudian menghasilkan pemahaman yang dangkal terhadap corak kehidupan peradaban Islam di masa lampau, dan secara otomatis melahirkan pemahaman tentang islam sebagai sistem kemasyarakatan yang dangkal.

Menurut Gus Dur penyebab dangkalnya pemahaman terhadap corak kehidupan peradaban Islam seperti di atas, disebabkan oleh dua hal:
  1.  Mentahnya penceranaan gagasan dan pengetahuan yang diterima dari luar;
  2. Lemahnya dalam memahami faktor kemunduran  sosio-politis dan peningkatan sosio-kultural  yang digambarkan di atas.  
Kedua sebab ini, kata Gus Dur, saling terkait satu sama lain dalam sebuah lingkaran setan yang tak berkeputusan. Bahkan Gus mengatakan keduanya merupakan bagian dari benturan budaya antara peradaban Islam dengan peradaban-peradaban lain. Sikap bertahan terhadap serangan-serangan budaya dari luar yang dikombinasikan dengan sikap menyerang yang didasari oleh sebuah keyakinan akan kebenaran sendiri, akan membawa kepada mentahnya pencernaan dan sekaligus pemahaman yang tidak realistis.

Berangkat dari fenomena pemahan yang dangkal terhadap Islam sebagai sistem sosial, Gus Dur mengajukan beberapa premis yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut. Menurut Gus Dur prasyarat dalam menyusun Teori Sistem Kemasyarakatan Islam haruslah meliputi tiga bidang :
  1. Pengetahuan tentang pertumbuhan Islam secara historis melalui studi kesejarahan klasik. Termasuk dalam studi ini semua bidang yang terkait dengan perkembangan sejarah, seperti studi perkembangan bahasa dan budaya, perkembangan perekonomian, politik, dan administrasi. Kajian terhadap sejarah ini, kata Gus Dur, akan memberikan peta tentang kekuatan dan kelemahan Islam sebagai peradaban. Hal ini sangat penting dimiliki dalam menyusun pengenalan yang mendalam terhadap watak prinsip Islam sebagai tata kehidupan;
  2. Pengetahuan tentang pemikiran yang sistematis dan relevan dengan kenyataan objektif kehidupan kaum muslimin dalam rentang waktu berabad-abad lamanya dengan menggunakan perangkat yang telah disebutkan di atas. Pendekatan empiris dan sistematis ini akan menumbuhkan ketajaman dalam analisis di kalangan umat Islam yang ingin melakukan pemahaman mendalam dan mendetail terhadap Islam sebagai sistem sosial.
  3.  Pembenahan ideologi sebagai sarana bagi kedua jenis pengetahuan di atas. Yang dimaksud dengan pengetahuan tentang ideologi di sini menurut Gus Dur adalah pemberian perhatian yang cukup besar di kalangan umat Islam atas pentingnya pengkajian mendalam tentang kehidupan beragama mereka sebagai sistem kemasyarakatan. Perhatian semacam itu pada gilirannya akan membawa kita kepada pemberian prioritas kepada studi kesejarahan dan analisis empiris yang merupakan prasyarat bagi pemahaman yang sehat dan berimbang.
Sedangkan aspek-aspek yang harus dikaji secara mendalam dari Islam sebagai system kemasyarakatan menurut Gus Dur adalah :

a.      Aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan ini meliputi:
  1. Proses dinamisasi pranata hukum agama sepanjang sejarah yang meliputi aspek ifta’, tasyri’, dan qodlo’. Menurut Gus Dur pranata hukum selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring perubahan realitas yang dihadapi umat muslim. Inilah kata Gus Dur yang harus dikaji dalam aspek pranata hukum;
  2.  Proses perluasan dogma atau aqidah sepanjang sejarah perkembangan Islam itu sendiri. Proses perluasan ini tidak melalui jalan yang rata dan mulus, melainkan turun naik, mengembang dan mengerut seperti zig-zag. Namun menurut Gus Dur secara kesluruhan proses ini memperlihatkan pola perluasan yang berjangka panjang;
  3. Proses perkembangan islam sebagai gerakan. Menurut Gus Dur Gerakan ke agamaan dalam Islam memegang peranan penting. Ia akan memberi warna nyata kepada tata kehidupan Islam sendiri;
  4. Proses re-orientasi dakwah yang terjadi secara terus menerus dalam kaitan dengan perkembangan politik-militer yang terjadi di suatu masa;
b.      Aspek nilai yang meliputi dua bidang berikut:
  1.  Aspek tumbuhnya orientasi nilai Islam yang bersifat universal dalam tahap-tahap perkembangan kesejarahan yang berbeda-beda;
  2. Institusionalisasi penyimpangan yang ditolelir, atau dengan kata lain studi mendalam atas gerakan-gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam yang panjang. Termasuk dalam kategori institusionalisasi penyimpangan ini adalah upaya dinamisasi yang biasanya tidak dimasukkan dalam gerakan pembaharuan, yang sering dirumuskan sebagai reformasi dari pada sebagai interaksi antara reformasi dan reformasi-tandingan.
c.      Aspek padangan kaum muslimin terhadap kekuasaan, yang meliputi semua proses de-ideologisasi  dan re-ideologisasi yang pernah berlangsung dalam sejarah masyarakat Islam.

Menurut Gus Dur kesemua aspek di atas, beserta bidang-bidangnya haruslah dikaji lebih mendalam dalam upaya memahami Islam sebagai sistem masyarakat.

No comments:

Post a Comment