Kalau tidak dihujat dan difitnah, bukan Gus Dur
namanya. Itulah sosok Gus Dur yang penuh dengan kontroversial dalam sepanjang
hidupanya, hingga beliau meniggal dunia. Tapi anehnya Gus Dur tidak pernah
mempermasalahkan hal itu, apalagi menuntut atas nama pencemaran nama baik. Seolah-olah
cacian dan sanjungan adalah dua kata yang sama, hanya keluar dari kepala yang
berbeda.
Sosok Gus Dur mengingatkan kita pada tokoh sufi
agung yang bernama Husain bin Mansur al-Hallaj. Ketika satu negara menuduhnya
kafir, murtad, dan sombong karena mengaku dirinya sebagai Tuhan, al-Hallaj
tidak menghiraukan tuduhan itu, sekalipun akhirnya dipenggal kepalanya.
Demikian halnya dengan Jalaluddin Ar-Rumi, sang
pencipta tarian sufi yang terkenal itu. Karena kedekatannya dengan orang
non-muslim, akhirnya beliau juga mendapatkan tuduhan kafir, murtad, liberal,
dan penganut faham pluralis. Namun dalam sebuah pengantar kitabnya yang
berjudul Fihi Ma Fihi (versi bahasa inggris) dijelaskan ketika Ar-Rumi
meninggal dunia banyak orang yang menangis dan sedih karena kepergiannya. Air mata
kesedihan itu tidak hanya mengalir dari ribuan sepasang mata orang muslim,
malinkan tokoh agama lain juga ikut menangisi kepergiannya. Lantas ada yang bertanya
kepada salah seorang pendeta yang waktu itu ikut hadir di acara pemakamannya: “Kenapa
anda ikut menangis, bukankah anda seorang pendeta Nasrani ? Pendeta itu
menjawab: “Ar-Rumi bukan hanya miliki orang Islam, tapi sudah terlanjur menjadi
milik orang Nasrani”.
Hal yang sama juga dialami oleh seorang tokoh
sufi agung dari negeri Andalusia Spanyol, Ibnu Arabi. Karena
pendapat-pendapatnya yang dianggap nyeleneh dan sering tidak masuk akal,
akhirnya beliau mendapatkan dua gelar yang sangat bertolak belakang, yaitu Muhyiddin
(sang penghidup agama), dan Mumitdin (sang pembunuh agama). Pendapat-pendapatnya
yang nyeleneh dapat dilihat dalam kitabnya Fususul Hikam. Dalam pembukaannya,
beliau dengan tegas mengatakan bahwa kitab yang ditulisnya ini berasal dari ucapan
Nabi Muhammad. Beliau hanya sekedar menyalin dari bahasa lisan ke bahasa tulis,
tanpa menambah dan mengurangi satu huruf pun. Dalam kitab tersebut Ibnu Arabi
juga menyatakan sebuah pendapat yang sangat bertentangan dengan pendapat pada
umumnya. Fir’aun dalam pandangan Ibnu Arabi adalah orang yang ta’at kepada
Allah secara kauni.
Peristiwa di atas juga dialami oleh Gus Dur
yang hidup semasa dengan kita. Dalam beberapa bukunya Gus Dur pernah mengisahkan,
bahwa dulu KH. Syukron Makmun, salah seorang dai kondang pada masanya, menuduh
dirinya kalau menutup ibadah salatnya tidak dengan membaca asalamu ‘alaikum,
melainkan membaca “selamat pagi” saat menoleh kekanan, dan “selamat sore”, saat
menoleh ke kiri.
Tuduhan berikutnya juga muncul sehabis Gus Dur
mengisi acara rutin di radio dengan tema “Kongko Bareng Gus Dur” pada Kantor
Berita 68 H, Jakarta. Melalui ucapan di radio itu-lah, perkataan Gus Dur
kemudian tersebar, banyak dikutip oleh media dan segera menimbulkan kehebohan.
Menurut Muhammad Guntur Romli, salah satu pengisi acara di Kabar Berita
tersebut, kata Dewa Gumilang, “Gus Dur sama sekali tak pernah melontarkan
pernyataan bahwa Al-Quran adalah kitab suci porno”. Pernyataan Gus Dur yang
lengkap ialah sebagai berikut: "Porno itu letaknya ada dalam persepsi
seseorang. Kalau orang kepalanya ngeres, dia akan curiga bahwa Al-Quran itu
kitab suci porno, karena ada ayat-ayat tentang menyusui. Bagi yang ngeres,
menyusui berarti mengeluarkan dan men-tetek, dan ada juga roman antara Zulaikha
dan Yusuf." (Diulas dari berbagai sumber oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment