Menu

Amazon

Lazada

Saturday 4 July 2015

TENTANG AIR MENURUT MADZHAB SYI'AH



Dalam Kitab Fiqhur Ridla, yaitu salah satu kitab yang dianggap kitab fiqhnya Imam ‘Ali bin Musa Ar-Ridla dijelaskan bahwa setiap air yang mengalir tidak akan najis oleh sesuatu apapun.

Setiap sumur yang dalam, yang airnya mencapai tiga jengkal setengah atau sesamanya, maka hukumnya sama dengan air yang mengalir, kecuali bila salah satu sifatnya (rasa, bau, dan warna) berubah. Jika salah satu dari ketiga sifatnya berubah, maka hukumnya menjadi najis sampai air itu menjadi pulih kembali.

Setiap air sungai atau air kolam yang jumlahnya lebih dari satu kiira (dua kolah), maka tidak dihukumi najis bila kejatuhan najis. Untuk mengetahui apakah air itu ada satu kirra atau belum dengan cara mengambil batu, kemudian melemparkan ke bagian tengahnya. Bila riak air yang diakibatkan oleh batu tersebut sampai ke tepi sungai, maka air itu belum mencapai satu kirro. Namun, bila riaknya tidak sampai ke tepi, maka air itu telah mencapai satu kirra. Air tersebut tidak najis bila kejatuhan najis, kecuali bila kejatuhan bangkai yang menyebakan salah satu sifatnya berubah. Jika salah satu sifatnya berubah, maka air tesebut tidak boleh diminum dan sekaligus bukan termasuk air yang suci.

Bila ada tikus atau burung jatuh ke dalam sumur, dan kondisinya belum busuk, maka air sumur itu harus dikuras sebanyak tujuh timba. Satu timba air ukurannya 40 ritlun (satu ritl menurut Imam Nawawi 349,16 grm berarti kalau 40 ritl jumlahnya dalam berat 13966.4 grm atau ±14 kilo). Jika bangkai tikus atau burung itu telah membusuk maka harus dikuras sebanyak 20 timba, bahkan menurut Al-Babawih harus dikuras sebanyak 40 timba, selama salah satu sifatn air tersebut tidak berubah. Jika salah satu sifatnya berubah, maka harus dikuras sampai bersih.

Menurut Babawih ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa air tidak najis kecuali kejatuhan hewan yang memiliki darah mengalir.

Menurut Ali-Ar-Ridla bila ada sebuah wadah kejatuhan najis, maka wadah tersebut tidak boleh dipakai sekalipun warna, rasa, dan baunya tidak berubah serta masih ada wadah lain yang bisa dipakai. Bila tidak ada wadah lain kecuali hanya wadah itu saja maka boleh dipergunakan.

Dalam ilmu fiqh, air bila dilihat dari namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu ari mutlak dan air muqoyyad. Air mutlak adalah air yang tidak terikat oleh nama tertentu seperti air hujan, air sumur, air sungai. Air hujan, air sumur, air sungai disebut dengan air mutlak karena ketika air tersebut dipindah ketempat lain, namanya akan berubah. Seperti air sumur ketika dipindah ke kendi, maka akan disebut dengan air kendi. Demikian halnya dengan air hujan ketika dipindah ke sumur, maka disebut dengan air sumur, bukan air hujan lagi. Air yang semacam ini disebut dengan air mutlak. Dalam madzhab syafi’i jumlahnya ada tujuh macam.

Beda halnya dengan air teh, air kopi, air tebu. Air tersebut ketika dipindah ke tempat lain namanya akan tetap. Seperti air teh ketika dipindah ke gelas tetap akan disebut dengan air teh, bukan air gelas. Air yang semacam ini disebut dengan air muqoyyad dalam Madzhab Syafi’i, sedang dalam Madzhab Syiah disebut dengan air mudlof (yaitu air yang namanya disandarkan kepada nama lain).

Air mudlof (bukan air mutlak) tidak boleh digunakan untuk bersuci, namun boleh diminum, seperti air mawar, air perasan anggur, air za'faron atau air tebu, air teh. Kesemuanya itu tidak boleh digunakan untuk bersuci, kecuali air yang keruh atau berlumpur.

Air hujan bila berada dijalanan selama tiga hari maka hukumnya najis. Sedangkan air hujan yang berada di padang pasir atau tanah yang lapang hukumnya tidak najis. Bahkan lumpur padang pasir boleh digunakan sebagai alas untuk salat selama musim dingin.

Bila ada hewan seperti himar, sapi, atau kambing minum air yang terdapat pada wadah, maka air tersebut masih boleh digunakan untuk berwudlu selama yang minum bukan anjing atau kejatuhan bangkai tikus.

Bila ada anjing menginjak air yang ada pada wadah tersebut, maka air itu harus dibuang dan wadahnya harus dibasuh sebanyak tiga kali, yang salah satunya dengan debu, kemudian dikeringkan.

Bila air yang ada pada wadah itu kejatuhan bangkai tikus atau ular, maka airnya harus dibuang. Bila ada ular atau tikus masuk ke air tersebut, maka harus ditambah dengan tiga cidukan air dengan menggunakan tangan dan sisa air tersebut bisa dipakai untuk bersuci. Bila air yang ada dalam sebuah wadah kejatuhan kalajengking, kecoak, belalang atau hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, maka airnya boleh untuk digunakan berwudlu, baik hewan itu mati atau hidup.

Bila ada dua wadah yang salah satunya terkena najis, tapi tidak mengetahuai wadah yang mana yang terkena najis, maka kedua air yang ada di dalam wadah itu harus dibuang, dan orang yang bersangkutan harus tayamum.


Air sumur hukumnya adalah suci selama tidak kejatuhan benda yang membuatnya menjadi najis. Bila ada manusia jatuh kedalam sumur, kemudian mati, maka airnya harus dikuras sebanyak 70 timba. Bila yang jatuh ke dalam sumur itu adalah hewan yang ukurannya tidak besar, maka cukup dikuras satu timba saja.

Bila yang jatuh ke dalam sumur adalah himar atau sapi maka air tersebut harus dikuras sebanyak satu kirra (dua qolah). Bila yang jatuh ke dalam sumur itu adalah anjing, maka air sumur itu harus dikuras sebanyak 30-40 timba. Satu kirra berjumlah 60 timba, bahkan ada yang mengatakan 70 timba. Hal di atas, selama air sumur itu tidak berubah sifatnya. Bila sifatnya berubah maka harus dibuang. Bila airnya terlalu banyak dan susah untuk mengurasnya maka wajib menyeewa 4 orang untuk untuk menyirami dengan air mulai pagi sampai malam.

Bila seseorang berwudulu dengan air sumur itu, atau mandi, atau mencuci baju setelah mereka tahu, atau mencuci wadah dengan air sumur itu, maka segala sesuatu yang dibasuh dengan air sumur itu harus dibasuh kembali.

Bila ada ular, kalajengking, atau kecowak jatuh ke dalam sumur, maka bila yang jatuh ular, air sumur itu harus ditambah air bersih sebanyak satu timba. Sedangkan bila yang jatuh selaian ular dari hewan yang telah disebutkan dia atas, maka tidak wajib menambah air.

Bila ada onta mati, atau homer dimasukkan kedalam sumur, maka airnya tersebut harus dikuras semuanya. Bila ada darah jatuh kedalamnya, maka cukup dialiri air satu timba.

Bila ada orang kencing di sumur tersebut, maka harus diairi dengan 40 timba. Bila yang kencing anak kecil yang telah makan makanan yang menguatakan, maka harus dialiri air sebanyak 3 (tiga) timba. Bila yang kecing anak kecil yang belum pernah makan-makanan yang menguatkan maka cukup disiram air satu timba.

Bila ada baju terkena air kencing, maka cukup dibasuh dengan air yang mengalir dengan satu kali basuhan. Bila airnya diam cukup dengan dua kali basuhan kemduian diperas.

Bila air kecing yang mengenai baju adalah air kecingnya anak kecil yang belum pernah makan apapun, kecuali air susu ibu, maka cukup dengan satu kali siraman air. Bila bayi itu telah makan sesuatu yang menguatkan, maka harus dibasuh.

Bila ada baju terkena darah, maka tidak masalah, bila darah itu kurang dari satu dirham, dan tidak wajib dibasuh, serta baju itu boleh digunakan untuk salat sekalipun darahnya telah meresap. Terkecuali bila yang mengenai baju itu adalah darah haid, maka baju itu harus dibasuh.

Sedangkan air kecing, atau seperma, yang mengenai terhadap baju, baik sedikit atau banyak, baik diketahuai atau tidak, maka wajib salatnya diulang. Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa seperma bila tidak diketahui sebelumnya salat, maka tidak wajib salatnya tidak wajib diulang. Darah ikan sekalipun banyak tidak mempengaruhi terhadap keabsahan salat.


Bila kopiyah, surban, tali celana, kaos kaki, khuf, terkena kencing, seperma, atau kotoran manusia, maka tidak masalah dipakai salat, hanya saja salatnya tidak sempurna. (Diulas dari Kitab Fiqh Ridlo oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment