Dalam Kitab Fiqhur Ridla, yaitu
salah satu kitab yang dianggap kitab fiqhnya Imam ‘Ali bin Musa
Ar-Ridla dijelaskan bahwa setiap air yang mengalir tidak akan najis oleh
sesuatu apapun.
Setiap sumur yang dalam, yang airnya
mencapai tiga jengkal setengah atau sesamanya, maka hukumnya sama dengan air
yang mengalir, kecuali bila salah satu sifatnya (rasa, bau, dan warna) berubah.
Jika salah satu dari ketiga sifatnya berubah, maka hukumnya menjadi najis
sampai air itu menjadi pulih kembali.
Setiap air sungai atau air kolam yang
jumlahnya lebih dari satu kiira (dua kolah), maka tidak dihukumi najis bila
kejatuhan najis. Untuk mengetahui apakah air itu ada satu kirra atau belum dengan cara mengambil batu, kemudian melemparkan ke bagian tengahnya. Bila riak
air yang diakibatkan oleh batu tersebut sampai ke tepi sungai, maka air itu
belum mencapai satu kirro. Namun, bila riaknya tidak sampai ke tepi, maka air
itu telah mencapai satu kirra. Air tersebut tidak najis bila kejatuhan najis,
kecuali bila kejatuhan bangkai yang menyebakan salah satu sifatnya berubah.
Jika salah satu sifatnya berubah, maka air tesebut tidak boleh diminum dan
sekaligus bukan termasuk air yang suci.
Bila ada tikus atau burung jatuh ke dalam
sumur, dan kondisinya belum busuk, maka air sumur itu harus dikuras sebanyak
tujuh timba. Satu timba air ukurannya 40 ritlun (satu ritl menurut Imam Nawawi
349,16 grm berarti kalau 40 ritl jumlahnya dalam berat 13966.4 grm atau ±14
kilo). Jika bangkai tikus atau burung itu telah membusuk maka harus dikuras
sebanyak 20 timba, bahkan menurut Al-Babawih harus dikuras sebanyak 40 timba,
selama salah satu sifatn air tersebut tidak berubah. Jika salah satu sifatnya
berubah, maka harus dikuras sampai bersih.
Menurut Babawih ada sebuah riwayat yang
mengatakan bahwa air tidak najis kecuali kejatuhan hewan yang memiliki darah
mengalir.
Menurut Ali-Ar-Ridla bila ada sebuah wadah
kejatuhan najis, maka wadah tersebut tidak boleh dipakai sekalipun warna, rasa,
dan baunya tidak berubah serta masih ada wadah lain yang bisa dipakai. Bila tidak ada
wadah lain kecuali hanya wadah itu saja maka boleh dipergunakan.
Dalam ilmu fiqh, air bila dilihat dari
namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu ari mutlak dan air muqoyyad. Air mutlak
adalah air yang tidak terikat oleh nama tertentu seperti air hujan, air sumur,
air sungai. Air hujan, air sumur, air sungai disebut dengan air mutlak karena
ketika air tersebut dipindah ketempat lain, namanya akan berubah. Seperti air
sumur ketika dipindah ke kendi, maka akan disebut dengan air kendi. Demikian
halnya dengan air hujan ketika dipindah ke sumur, maka disebut dengan air
sumur, bukan air hujan lagi. Air yang semacam ini disebut dengan air mutlak.
Dalam madzhab syafi’i jumlahnya ada tujuh macam.
Beda halnya dengan air teh, air kopi, air
tebu. Air tersebut ketika dipindah ke tempat lain namanya akan tetap. Seperti
air teh ketika dipindah ke gelas tetap akan disebut dengan air teh, bukan air
gelas. Air yang semacam ini disebut dengan air muqoyyad dalam Madzhab Syafi’i,
sedang dalam Madzhab Syiah disebut dengan air mudlof (yaitu air yang namanya
disandarkan kepada nama lain).
Air mudlof (bukan air mutlak) tidak boleh
digunakan untuk bersuci, namun boleh diminum, seperti air mawar, air perasan
anggur, air za'faron atau air tebu, air teh. Kesemuanya itu tidak boleh
digunakan untuk bersuci, kecuali air yang keruh atau berlumpur.
Air hujan bila berada dijalanan selama
tiga hari maka hukumnya najis. Sedangkan air hujan yang berada di padang pasir
atau tanah yang lapang hukumnya tidak najis. Bahkan lumpur padang pasir boleh
digunakan sebagai alas untuk salat selama musim dingin.
Bila ada hewan seperti himar, sapi, atau
kambing minum air yang terdapat pada wadah, maka air tersebut masih boleh
digunakan untuk berwudlu selama yang minum bukan anjing atau kejatuhan bangkai
tikus.
Bila ada anjing menginjak air yang ada
pada wadah tersebut, maka air itu harus dibuang dan wadahnya harus dibasuh
sebanyak tiga kali, yang salah satunya dengan debu, kemudian dikeringkan.
Bila air yang ada pada wadah itu
kejatuhan bangkai tikus atau ular, maka airnya harus dibuang. Bila ada ular
atau tikus masuk ke air tersebut, maka harus ditambah dengan tiga cidukan air
dengan menggunakan tangan dan sisa air tersebut bisa dipakai untuk bersuci.
Bila air yang ada dalam sebuah wadah kejatuhan kalajengking, kecoak, belalang
atau hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, maka airnya boleh untuk
digunakan berwudlu, baik hewan itu mati atau hidup.
Bila ada dua wadah yang salah satunya
terkena najis, tapi tidak mengetahuai wadah yang mana yang terkena najis, maka
kedua air yang ada di dalam wadah itu harus dibuang, dan orang yang
bersangkutan harus tayamum.
Air sumur hukumnya adalah suci selama
tidak kejatuhan benda yang membuatnya menjadi najis. Bila ada manusia jatuh
kedalam sumur, kemudian mati, maka airnya harus dikuras sebanyak 70 timba. Bila
yang jatuh ke dalam sumur itu adalah hewan yang ukurannya tidak besar, maka
cukup dikuras satu timba saja.
Bila yang jatuh ke dalam sumur adalah
himar atau sapi maka air tersebut harus dikuras sebanyak satu kirra (dua
qolah). Bila yang jatuh ke dalam sumur itu adalah anjing, maka air sumur itu
harus dikuras sebanyak 30-40 timba. Satu kirra berjumlah 60 timba, bahkan ada
yang mengatakan 70 timba. Hal di atas, selama air sumur itu tidak berubah
sifatnya. Bila sifatnya berubah maka harus dibuang. Bila airnya terlalu banyak
dan susah untuk mengurasnya maka wajib menyeewa 4 orang untuk untuk menyirami
dengan air mulai pagi sampai malam.
Bila seseorang berwudulu dengan air sumur
itu, atau mandi, atau mencuci baju setelah mereka tahu, atau mencuci wadah
dengan air sumur itu, maka segala sesuatu yang dibasuh dengan air sumur itu
harus dibasuh kembali.
Bila ada ular, kalajengking, atau kecowak
jatuh ke dalam sumur, maka bila yang jatuh ular, air sumur itu harus ditambah
air bersih sebanyak satu timba. Sedangkan bila yang jatuh selaian ular dari
hewan yang telah disebutkan dia atas, maka tidak wajib menambah air.
Bila ada onta mati, atau homer dimasukkan
kedalam sumur, maka airnya tersebut harus dikuras semuanya. Bila ada darah
jatuh kedalamnya, maka cukup dialiri air satu timba.
Bila ada orang kencing di sumur tersebut,
maka harus diairi dengan 40 timba. Bila yang kencing anak kecil yang telah
makan makanan yang menguatakan, maka harus dialiri air sebanyak 3 (tiga) timba.
Bila yang kecing anak kecil yang belum pernah makan-makanan yang menguatkan
maka cukup disiram air satu timba.
Bila ada baju terkena air kencing, maka
cukup dibasuh dengan air yang mengalir dengan satu kali basuhan. Bila airnya
diam cukup dengan dua kali basuhan kemduian diperas.
Bila air kecing yang mengenai baju adalah
air kecingnya anak kecil yang belum pernah makan apapun, kecuali air susu ibu,
maka cukup dengan satu kali siraman air. Bila bayi itu telah makan sesuatu yang
menguatkan, maka harus dibasuh.
Bila ada baju terkena darah, maka tidak
masalah, bila darah itu kurang dari satu dirham, dan tidak wajib dibasuh, serta
baju itu boleh digunakan untuk salat sekalipun darahnya telah meresap.
Terkecuali bila yang mengenai baju itu adalah darah haid, maka baju itu harus
dibasuh.
Sedangkan air kecing, atau seperma, yang
mengenai terhadap baju, baik sedikit atau banyak, baik diketahuai atau tidak,
maka wajib salatnya diulang. Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa seperma
bila tidak diketahui sebelumnya salat, maka tidak wajib salatnya tidak wajib
diulang. Darah ikan sekalipun banyak tidak mempengaruhi terhadap keabsahan
salat.
Bila kopiyah, surban, tali celana, kaos
kaki, khuf, terkena kencing, seperma, atau kotoran manusia, maka tidak masalah
dipakai salat, hanya saja salatnya tidak sempurna. (Diulas dari Kitab
Fiqh Ridlo oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment