Menu

Amazon

Lazada

Saturday 8 August 2015

TRADISI KRITIK DALAM KELUARGA NU


Kritik sebenarnya suatu hal yang lumrah terjadi di lingkungan organisasi NU. Dalam lingkup kehidupan sosial keagamaan, KH. Hasyim Asy’ari pernah menentang keras terhadap sikap masyarakat yang terlalu mengagungkan sosok seorang wali. Sikap KH. Hasyim ini harus kita fahami sebagai kritik yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat saat itu, bukan bentuk pembangkangan.

Dalam lingkup intlektual, pada masa kiai Hasyim Asy’ari ada salah seorang ulama dari Pasuruan yang bernama Syekh Abdullah bin Yasin mengkritik sikap keberagamaan ulama NU saat itu. Salah satu yang dikritik adalah NU membolehkan anak perempuan diajari tulis menulis. Bahkan Syekh Abdullah bin Yasin menuduh NU telah mengubah ajaran Islam secara berlahan-lahan. Dengan bahasa yang santun, kritik ini kumudian mendapatkan tanggapan dari KH Hasyim Asy’ari. Tanggapan tersebut kemudian dibukukan dalam bentuk kitab yang diberi nama Ziyadatut Ta’liqat.

Dalam lingkup organisasi, ketika sejumlah kiai senior, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH.Ali Ma’sum Krapyak, KH. Masjkur yang datang ke Cipete, dan meminta agar KH. Idham Khalid meletakkan jabatan sebagai ketua Umum PBNU kala itu, juga harus kita pahami sebagai kritik yang memiliki tujuan untuk memperbaiki NU.


Ketika sebuah kritik memperoleh tanggapan dari pihak yang dikritik, sebagaimana tanggapan KH Hasyim terhadap Syekh Abdullah bin Yasin di atas, maka yang terjadi kemudian adalah dialog. Dari dialog itu diharapkan akan melahirkan kebenaran atau solusi yang tidak saling merendahkan, meminjam istilah Gus Dur win-win solution. (Diulas dari Kitab Irysadus Sari, karya KH. Asy’ari, dan buku Jejak Langkah Sang Guru Bangsa karya Choirul Anam oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment