Kritik sebenarnya suatu hal yang lumrah
terjadi di lingkungan organisasi NU. Dalam lingkup kehidupan sosial keagamaan, KH.
Hasyim Asy’ari pernah menentang keras terhadap sikap masyarakat yang terlalu
mengagungkan sosok seorang wali. Sikap KH. Hasyim ini harus kita fahami sebagai
kritik yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat saat itu,
bukan bentuk pembangkangan.
Dalam lingkup intlektual, pada masa kiai
Hasyim Asy’ari ada salah seorang ulama dari Pasuruan yang bernama Syekh
Abdullah bin Yasin mengkritik sikap keberagamaan ulama NU saat itu. Salah satu
yang dikritik adalah NU membolehkan anak perempuan diajari tulis menulis. Bahkan
Syekh Abdullah bin Yasin menuduh NU telah mengubah ajaran Islam secara
berlahan-lahan. Dengan bahasa yang santun, kritik ini kumudian mendapatkan
tanggapan dari KH Hasyim Asy’ari. Tanggapan tersebut kemudian dibukukan dalam
bentuk kitab yang diberi nama Ziyadatut Ta’liqat.
Dalam lingkup organisasi, ketika sejumlah
kiai senior, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH.Ali Ma’sum
Krapyak, KH. Masjkur yang datang ke Cipete, dan meminta agar KH. Idham Khalid meletakkan
jabatan sebagai ketua Umum PBNU kala itu, juga harus kita pahami sebagai kritik
yang memiliki tujuan untuk memperbaiki NU.
Ketika sebuah kritik memperoleh tanggapan
dari pihak yang dikritik, sebagaimana tanggapan KH Hasyim terhadap Syekh
Abdullah bin Yasin di atas, maka yang terjadi kemudian adalah dialog. Dari dialog
itu diharapkan akan melahirkan kebenaran atau solusi yang tidak saling
merendahkan, meminjam istilah Gus Dur win-win solution. (Diulas
dari Kitab Irysadus Sari, karya KH. Asy’ari, dan buku Jejak Langkah Sang Guru Bangsa
karya Choirul Anam oleh FT edu).
No comments:
Post a Comment