Sekalipun terkesan keluar dari kontek pembahasan,
membahas makna fiqh yang terlalu panjang menurut madzhab fuqaha' sangat lah penting. Mengingat ushul fiqh madzhab
fuqaha’ yang dipelopori oleh para tokoh ahli fiqh madzhab Hanafi
mencoba menurunkan kaidah-kaidah ushul fiqh dari masalah fiqh furu'iyah (spesifik) dari madzhabnya. Hal ini berbeda dengan madzhab mutakallimin yang berpendapat bahwa ushul fiqh tidak ada kaitannya dengan masalah fiqh furu'iyah (spesifik). Perlu diketahui
bahwa ushul fiqh madzhab fuqaha' yang dipelopori oleh ahli fiqh madzhab hanafi ditulis ketika pendiri madzhabnya telah
meninggal. Hal ini berbeda dengan madzhab mutakallimin yang dipelopori oleh
Imam Asy-Syafi’i dengan kitab Ar-Risalahnya. Kitab tersebut ditulis pada saat beliau masih hidup.
Menurut Al-Bazdawi fiqh menurut bahasa
artinya adalah nama bagi jenis ilmu tertentu yang ada dalam agama Islam.
Sedangkan menurut Istilah adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum agama yang
di dasarkan pada al-Quran, sunnah, ijma'.
Oleh sebab itu menurut Al-Bazdawi “ushul
fiqh” adalah ilmu yang berkaitan dengan ketiga hal di atas, yaitu al-Quran,
sunnah, dan ijma’. Ilmu yang membahas tentang al-Quran, hadis, ijma’ disebut
dengan ushul fiqh karena, kata al-Bazdawi, fiqh terkandung di dalamnya.
Sedangkan ilmu yang berkaitan dengan
hukum agama disebut dengan fiqh, karena ia sebagai objek. Sebab menurut
Al-Bazdawi orang Arab biasanya menyebut objek dan subjek dengan ungkapan kata
kerja. Oleh sebab itu kata al-Bazdawi definisi fiqh yang tepat adalah sebaimana
yang telah kami jelaskan di atas.
Dalam al-Quran dijelaskan:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ
إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ (البقرة : ٢٦٩)
“Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah)".
Menurut ahli tafsir, demikian al-Bazdawi
menegaskan dalam kitabnya, kata “hikmah” pada ayat di atas artinya adalah fiqh,
yaitu ilmu tentang hakikat dari segala sesuatu. Orang yang fokus menggeluti
terhadap fiqh seperti pengertian ayat di atas, disebut dengan faqih (orang yang
ahli fiqh). Sedangkan orang yang hanya fokus pada beberapa masalah dan
penafsirannya saja, namun tidak fokus terhadap fiqh seperti makna pada ayat di
atas, disebut faqih (ahli fiqh) secara metaforis karena dia hanya fokus pada
fiqh tekstual.
Menurut al-Bazdawi bila ilmu tentang
hakikat sesuatu di sebut dengan fiqh, maka fiqh juga disebut dengan
makna, qiyas, illat, sabab, ma'qul, nuktah, dalil, nadzar, ra'yu, hujjah,
burhan.
1. Fiqh sebagai “makna”
Fiqh disebut dengan makna, karena makna
berasal dari akar kata ana-ya'ni – inayatan - ma’nan. Sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa orang Arab sering menyebut objek dengan kata kerjanya.
Mereka menyebut makna (masdar mim), namun yang dimaksud adalah “ma’niyan”
(bentuk isim maf’ulnya) yang artinya sesuatu yang dimaksud. Menurut Al-Bazdawi
makna (fiqh sebagai ilmu tentang hakikat sesuatu) inilah sebenarnya yang ingin
diraih oleh seorang faqih (orang yang ahli fiqh).
2. Fiqh sebagai “illat”.
Disebut dengan "‘illat" karena hukum bisa
berubah sebab adanya ‘illat (alasan yang melatar belakangi sebuah hukum) .
Menurut Al-Bazdawi ketika hukum sesuatu berubah, maka fiqh akan disebut dengan
‘illat. Namun ketika hukum tidak berubah, maka fiqh tidak disebut dengan
‘illat, sebab illat adalah sesuautu yang dapat merubah kondisi sesuatu yang
dimasuki. Illat tidak ubahnya dengan penyakit. Bila penyakit bersarang pada
tuhun seseorang maka tubuh tersebut akan berubah dari kondisi sehat menjadi sakit.
3. Fiqh sebagai “qiyas”
Fiqh disebut dengan “qiyas” karena ketika
seseorang melihat makna fiqh di atas, maka dia akan menyamakan dengan sesuatu
yang lain yang menjelaskan sehingga akan terjadi kombinasi antara sesuatu yang
menjadi persamaan (asal) dan sesuatu yang disamakan (far’u). sebab, qiyas
adalah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang mirip.
4. Fiqh sebagai “dalil”
Fiqh disebut dengan "dalil" karena fiqh
memberi ketetapan hukum pada selain sumbernya.
Bila fiqh menetapkan sebuah hukum yang
bersumber dari al-Quran dan sunnah kepada kasus tertentu, maka hukum tersebut
bukan untuk al-Quran dan sunnah, melainkan untuk perkara yang dicarikan
hukumnya. Dengan demikian dalam hal ini fiqh posisinya sebagai dalil (sesuatu
yang menujukkan), al-Quran sebagai sumber, dan hukum sebagai sesuatu yang
ditunjukkan, dan kasus hukum sebagai objeknya.
5. Fiqh sebagai “nadzor”
Fiqh juga disebut dengan “nadzor” karena
keputusan hukum ditetapkan oleh “nadzor” (pengamatan dan penelitian) terhadap
sesuatu yang lain.
Hukum adalah sesuatu yang bersifat
abstrak atau tidak terlihat oleh panca indera sebagimana halnya dosa dan
pahala. Sekalipun demikian, hukum dapat dikenali, karena segala sesuatu yang
tidak dapat dilihat oleh panca indera bisa dikenali melalui sesuatu yang lain.
Menurut Al-Bazdawi segala sesuatu dapat dikenali melalui tiga cara.
a. Materi
b. Khabar
c. Istidlal (mencari dalil)
Bila khabar tentang objek pengetahuan
tidak ditemukan, maka masih ada cara lain untuk mengetahuinya, yaitu dengan
cara istidlal (mencari dalil atau tanda).
6. Fiqh sebagai “ra’yu”
Fiqh disebut dengan “ra'yu” karena fiqh
diketahuai dengan hati melalui pengamatan terhadap sesuatu yang lain. Ra'yu
secara bahasa artinya adalah melihat. Yang dimaksud melihat dalam pembahasan
ini, kata Al-Bazdawi adalah melihat dengan hati.
Bila para pengkikut Imam Abu Hanifah
seringkali disebut dengan ahlu ra’yu, kata Al-Bazdawi, sebenarnya gelar itu
adalah gelar yang bagus sekalipun sebagian orang menganggapnya sebagai ejekan. Gelar
tersebut adalah gelar yang bagus bila yang dimaksudkan adalah mengetahui dengan
hati.
7. Fiqh sebagai “hujjah”.
Fiqh disebut dengan “hujjah” (secara
bahasa artinya sisi atau aspek) karena fiqh adalah sesuatu yang dituntut oleh
seseorang ketika beradu argumen. Seorang ahli fiqh ketika beradu argumen pasti
akan meminta hujjah (bukti).
8. Fiqh sebagai “burhan”.
Disebut dengan burhan karena kata
“burhan” secara bahasa artinya adalah “hujjah” sebagaimana firman Allah :
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ
دُونِهِ آلِهَةً قُلْ هاتُوا بُرْهانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ
قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ (الأنبياء
: ٢٤)
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan
selain-Nya? Katakanlah: "Unjukkanlah hujjahmu! (Al Qur'an) ini adalah
peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan orang-orang yang
sebelumku". Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena
itu mereka berpaling”.
9. Fiqh sebagai “sabab”
Fiqh disebut dengan “sabab” karena
sebagian “illat” memiliki makna yang sama dengan sebab. Pembuat hukum yang
hakiki adalah Allah. Namun seringkali sebuah makna dijadikan sebagai sebab
putusan hukum, seperti membunuh sebagai sebab wajibnya qishas (balasan hukum
yang sama). Padahal sesungguhnya yang menghilangkan nyawa adalah Allah, bukan
manusia.
10. Fiqh sebagai “ma’qul”
Fiqh disebut dengan ma'qul (rasional)
karena makna fiqh (seperti pada ayat di atas) hanya dapat diketahui dengan
akal.
11. Fiqh sebagai “nuktah”
Disebut dengan “nuktah” karena fiqh
membekas terhadap hukum.
Berdasarkan definisi di atas, menurut
Al-Bazdawi ilmu fiqh memiliki tiga makna:
1. Ilmu ikhathah.
2. Ilmu yaqin.
3. Ilmu yang menekankan pada akal (ra'yu)
dan asumsi (dzan).
Fiqh disebut dengan ilmu ihathoh karena
fiqh sebagai ilmu harus mengkaji seluruh aspek-aspeknya.
Disebut dengan ilmu yaqin, karena fiqh
harus berupa hukum yang diyakini sebagaimana pengertian yakin menurut bahasa,
yaitu mengetahui sesuatu dan tidak membayangkan ada sesuatu yang lain yang
berbeda dengan yang telah diketahuinya.
Fiqh disebut ilmu yang menekankan pada
akal dan ra'yu karena ilmu fiqh dihasilkan dengan jalan ijtihad manusia yang kebenarannya
pasti tidak mutlak, selalu ada celah untuk diperdebatkan. (Diulas dari
kitab Ma’rifatul Hujjaj Asy-Syar’iyah karya Muhammad Al-Bazdawi oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment