A. Pembagian Air
Menurut madzhab Maliki air ada dua macam,
air mengalir dan air diam. Air yang mengalir bila kejatuhan najis, maka yang
najis hanya aliran air yang bersamaan dengan najis itu saja, sedangkan aliran
setelahnya hukumnya suci.
Air diam yang suci dibagi menjadi dua
macam:
1. Air yang boleh digunakan untuk bersuci
dan menghilangkan najis. Air yang semacam ini disebut dengan thohir muthohir
(suci mensucikan).
2. Air suci yang boleh diminum namun tidak
boleh digunakan bersuci untuk salat dan juga tidak boleh digunakan untuk
menghilangkan najis. Air ini disebut dengan thohir goiru muthohir (suci tidak
mensucikan).
B. Air Suci Mensucikan
Air suci mensucikan yang boleh dipakai
untuk menghilangkan hadas dan najis adalah air yang jernih seperti air hujan,
air sungai, air laut, mata air. Air yang semacam ini biasanya disebut dengan air mutalk, yaitu air
yang namanya tidak disandarkan pada sesuatu apapun. Murni sebagiamana Allah
menciptakannya pertama kali. Menurut Madzhab Maliki air di atas jika keruh karena
lumpur tidak mempengaruhi kesuciannya.
C. Air Suci tapi Tidak Mensucikan
Sedangkan air yang suci tapi tidak
mensucikan adalah air yang disandarkan kepada sesuatu yang suci yang
mencampurinya, seperti air bekas basuhan gandum, air rendaman bua tin, minyak
zaitun, kurma, kulit, atau air yang tercampur oleh minyak za'faron, minyak
zaitun, air mawar, air rendaman kayu atau benda-benda yang sangat kuat
mempengaruhi terhadap sifat-sifat air seperti rasa, bau dan warna. Bila air
kecampuran benda-benda yang telah disebutkan di atas, maka tidak boleh dipakai
untuk berwudlu. Air yang semacam itu tidak lagi disebut air, melainkan kuah
sayur. Boleh diminum, tapi tidak boleh digunakan bersuci.
D. Air Kejatuhan Najis
Bila ada benda najis jatuh ke air,
kemudian merubah salah satu sifatnya, yang terdiri dari bau, rasa, dan
warnanya, maka air tersebut tidak boleh dipakai untuk bersuci dan lainnya.
Dalam masalah ini, kata Abu Umar Al-Qurtubi para ulama tidak ada yang berbeda
pendapat.
Menurut Malikiyah bila ada najis atau
hewan jatuh ke dalam air, dan sifat-sifat air tidak berubah, maka air tersebut
hukumnya tetap suci mensucikan, baik air tersebut sedikit atau banyak.
Namun kata Abu Umar al-Qurthubi, sebagian
ulama menganjurkan untuk menguras air tersebut dengan timba bila yang kejatuhan
najis adalah air sumur atau sesamanya agar air tersebut bersih kembali. Namun
berapa timba harus dikuras, dalam hal ini tidak ada penjelasan. Bahkan hukumnya
makruh memakai air tersebut sebelum dikuras.
Bila ada orang memakai air tersebut
sebelum dikuras untuk berwudlu atau mandi, maka diperbolehkan selama kondisi
air seperti yang telah kami sebutkan di atas, yaitu salah satu sifatnya tidak
berubah. Namun ada sebagian dari ulama pengikut madzhab Maliki yang berpendapat
agar melakukan tayamum sekalipun air tersebut tidak berubah, sehingga orang
tersebut melakukan dua macam bersuci, yaitu wudlu dan tayamum karena untuk
berhati-hati. Jika dia tidak melakukan tayamum dan salat dengan wudlu tersebut,
maka sudah mencukupi. Hal ini Menurut Abu Umar al-Qurthubi menunjukkan bahwa
pendapat mereka telah mengarah kepada kesunnahan bukan wajib atau haram.
Abu Umar mengatakan bahwa ulama pengikut
madzhab Maliki di Mesir berpendapat bahwa air yang sedikit tidak rusak
kesuciannya karena hanya kejatuhan najis sedikit kecuali bila warna, rasa, dan
baunya berubah. Sayangnya mereka tidak memberikan batasan terhadap ukuran
banyak dan sedikitnya. Mereka juga berpendapat bagi orang yang berwudlu dengan
air tersebut tidak wajib mengulangi salatnya.
Ismail bin Ishak dan para pengikutnya
dari kalangan madzhab Maliki di Bagdhat memilih pada pendapat yang pertama
karena umumnya firman Allah :
وَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ
مَاءً طَهُوراً (الفرقان : ٤٨)
“Dan Kami turunkan dari langit air yang
amat bersih”.
Kata “maa an thahura” pada ayat di atas
artinya adalah air yang mensucikan terhadap sesuatu yang lain seperti air embun
atau salju. Dalam al-quran juga dijelaskan :
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ (الأنفال: ١١)
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari
langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu”
Imam Malik dan para pengikutnya tidak
membedakan antara air yang kejatuhan najis, dan antara air yang mendatangi
najis pada air yang diam atau air yang mengalir. Nabi bersabda:
اَلْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ
شَيْءٌ
“Sesuatu tidak dapat menajiskan terhadap
air”
لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَيْهِ فَغَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيْحَهُ أَوْ لَوْنَهُ
“Sesuatu tidak dapat menajiskan terhadap air kecuali sesatu yang
mengalahkan kepada air sehingga merubah rasa, bau, dan warnanya”.
Menurut Madzhab Maliki hukumnya makruh
berwudlu dengan air sisa orang nasrani atau orang kafir lainnya, air sisa
peminum arak, dan air sisa pemakan bangkai. Barang siapa berwudlu dengan air
tersebut maka tidak masalah selama dia tidak meyakini adanya najis.
Bila ada air sekiranya kelihatan jernih,
dan tidak tercampur dengan benda suci lainnya, maka hukumnya suci selama tidak
ada bukti kalau air tersebut terkena najis. Demikian halnya hukumnya suci, air
yang berubah sebab lumpur selama tidak nyata terkena najis.
Air yang berubah karena kejatuhan hewan
yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, kecoak, belalang, maka tetap
suci kecuali bila baunya berubah. Jika air tersebut baunya basi, maka tidak
boleh dipakai untuk berwudlu. Demikain juga dengan hewan-hewan air seperti ikan
paus, katak, maka ia tidak akan merusak kesucian air bila jatuh ke air dan mati
di dalamnya, selama air tersebut baunya tidak berubah. Bila baunya berubah atau
menjadi basi, maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dan sekalipun air
tersebut tidak najis menurut imam Malik.
E. Air Musta’mal
Air musta’mal (air yang sudah
dipakai untuk menghilangkan hadas atau najis) hukum suci jika anggota orang
yang berwudlu adalah suci. Hanya saja Imam Malik dan sebagian besar ulama
Malikiyah mengatakan makruh berwudlu dengan air musta’mal. Bahkan Imam Malik
mengatakan tidak ada kebaikan pada air musta’mal. Saya, kata Imam malik, tidak
suka kepada orang yang berwudlu dengan air musta’mal. Bila seseorang berwudlu
dengan air musta’mal, kemudian melakukan salat, maka saya tidak berpendapat
agar ia mengulangi salatnya, tapi hendaknya dia berwudlu lagi ketika hendak
melakukan salat pada waktu yang berikutnya.
F. Air Bekas Jilatan Anjing
Tidak diperbolehkan berwudlu dengan air
yang dijilati oleh ajing, bila masih ada air lain. Memang pendapat Imam Malik
dalam masalah ini, kata Abu Umar Al-Qurtubi, agak membingungkan. Namun kata Abu
umar al-Qurtubi pendapat semacam itu lah yang benar dari Imam Malik. Abu Umar
mengatakan bahwah perlu dibedakan antara apa yang boleh dipakai dari anjing dan
apa yang tidak boleh dipakai dari wadah yang dijilat oleh anjing.
Dalam kitab al-Mudawanah, yaitu
kitab yang dianggap ditulis oleh Imam Malik sendiri, dikatakan bahwa jika ajing
menjilati susu atau makanan, maka makanlah makanan itu, dan wadahnya tidak
perlu dibasuh. Sekalipun ada hadis yang mengatakan bahwa wadah tersebut harus
dibasuh dengan tujuh kali basuhan, namun Imam malik melemahkan terhadap hadis
tersebut. Imam malik berkata: “Memang ada hadis tentang hal itu, tapi saya
tidak mengetahui hakikat dari hadis itu”. Menurut Ibnu Qosim sepertinya Ibnu
Mali menganggap bahwa anjing adalah bagian dari keluarga, sehingga berbeda
dengan hewan galak lainnya.[1]
Memang, kata Abu Umar, menurut madzhab
Imam Malik anjing itu suci, dan jilatannya tidak menajiskan kepada sesuatu,
baik itu maknan atau minuman. Hanya saja Imam Malik mensunnahkan untuk membuang
air yang telah dijilat oleh anjing. Anjing liar atau anjing peliharaan bagi
Imam Malik hukumnya sama, yaitu tidak najis. Sedangkan ulama yang mengharuskan membasuh
tujuh kali kepada wadah yang telah dijilat oleh anjing hanya karena tujuan
ibadah saja. Demikian jawaban Imam Malik ketika ditentang oleh madzhab lain.
Dalam kitab Al-Mudawanah diceritakan dari
bahwa Imam Malik berkata : “Barang siapa berwudlu dengan air yang dijilat oleh
anjing kemudian dia salat, maka wudlunya sah dan tidak wajib mengulang.
Berkaitan dengan pendapat tersebut Ibnu Sihab mengatakan boleh berwudlu dengan
air bekas anjing bila dalam keadaan terpaksa.[2]
Ibnu Wahab berkata dalam kitab Muwatha'nya
bahwasanya Imam Malik pernah berkata kepadanya: “Janganlah kamu berwudlu dengan
sisa anjing, baik kotor atau tidak kotor, kecuali bila air itu banyak seperti
danau yang besar.
Barang siapa yang memiliki dua wadah yang
salah satunya terkena najis, namun dia tidak mengetahui mana air yang ada dalam
wadah tersebut yang terkena najis, jika orang tersebut berwudlu dengan air dari
salah satu wadah tersebut, lalu salat, kemudian sehabis salat membasuh
angotanya dengan wadah yang lainnya dan berwudlu dengan air tersebut, kemudian
salat lagi maka salatnya sah. Namun ata Abu Umar menurut satu pendapat dalam
madzhab Malikiyah dia harus membuang salah satu air dari kedua wadah tersebut,
sehingga air yang tersisa (yang tidak dibuang) menjadi air yang diragukan
kesuciannya. Keraguan terhadap air tersebut, menurut Madzhab Malik, tidak
masalah. Air tersebut tetap suci dan dapat dipaki untuk bersuci selama tidak
nampak tanda-tanda najis pada air tersebut, dan sifat-sifatnya tidak berubah.
Demikian lah menurut Abu Umar Al-Qurthubi
pendapat yang benar dalam madzhab Malikiyah. Demikian juga dengan baju dan
tanah tetap dianggap suci selama tidak terkena najis secara nyata. Jika
diyakini terkena najis, maka harus dibasuh.
Memasak benda yang terkena najis tidak dapat
menghilangkan najis. Memasak itu hanya untuk menepis keraguan saja. Memasak
hanya kesunahan dalam bersuci ketika sebuah benda diraguakan kesuciaannya.
(Diulas dari kitab Al-Kafi fii Fiqhi Ahlil Madinah karya Abu Umar Al-Qurtbi dan
Kitab Al-Mudawwanah karya Malik bin Anas oleh FT edu).
No comments:
Post a Comment