Menu

Amazon

Lazada

Thursday 9 July 2015

BERSUCI MENURUT MADZHAB MALIKI



A. Pembagian Air
Menurut madzhab Maliki air ada dua macam, air mengalir dan air diam. Air yang mengalir bila kejatuhan najis, maka yang najis hanya aliran air yang bersamaan dengan najis itu saja, sedangkan aliran setelahnya hukumnya suci.

Air diam yang suci dibagi menjadi dua macam:
1.  Air yang boleh digunakan untuk bersuci dan menghilangkan najis. Air yang semacam ini disebut dengan thohir muthohir (suci mensucikan).
2.  Air suci yang boleh diminum namun tidak boleh digunakan bersuci untuk salat dan juga tidak boleh digunakan untuk menghilangkan najis. Air ini disebut dengan thohir goiru muthohir (suci tidak mensucikan).

B. Air Suci Mensucikan
Air suci mensucikan yang boleh dipakai untuk menghilangkan hadas dan najis adalah air yang jernih seperti air hujan, air sungai, air laut, mata air. Air yang semacam ini  biasanya disebut dengan air mutalk, yaitu air yang namanya tidak disandarkan pada sesuatu apapun. Murni sebagiamana Allah menciptakannya pertama kali. Menurut Madzhab Maliki air di atas jika keruh karena lumpur tidak mempengaruhi kesuciannya.

C. Air Suci tapi Tidak Mensucikan
Sedangkan air yang suci tapi tidak mensucikan adalah air yang disandarkan kepada sesuatu yang suci yang mencampurinya, seperti air bekas basuhan gandum, air rendaman bua tin, minyak zaitun, kurma, kulit, atau air yang tercampur oleh minyak za'faron, minyak zaitun, air mawar, air rendaman kayu atau benda-benda yang sangat kuat mempengaruhi terhadap sifat-sifat air seperti rasa, bau dan warna. Bila air kecampuran benda-benda yang telah disebutkan di atas, maka tidak boleh dipakai untuk berwudlu. Air yang semacam itu tidak lagi disebut air, melainkan kuah sayur. Boleh diminum, tapi tidak boleh digunakan bersuci.

D. Air Kejatuhan Najis
Bila ada benda najis jatuh ke air, kemudian merubah salah satu sifatnya, yang terdiri dari bau, rasa, dan warnanya, maka air tersebut tidak boleh dipakai untuk bersuci dan lainnya. Dalam masalah ini, kata Abu Umar Al-Qurtubi para ulama tidak ada yang berbeda pendapat.

Menurut Malikiyah bila ada najis atau hewan jatuh ke dalam air, dan sifat-sifat air tidak berubah, maka air tersebut hukumnya tetap suci mensucikan, baik air tersebut sedikit atau banyak.

Namun kata Abu Umar al-Qurthubi, sebagian ulama menganjurkan untuk menguras air tersebut dengan timba bila yang kejatuhan najis adalah air sumur atau sesamanya agar air tersebut bersih kembali. Namun berapa timba harus dikuras, dalam hal ini tidak ada penjelasan. Bahkan hukumnya makruh memakai air tersebut sebelum dikuras.

Bila ada orang memakai air tersebut sebelum dikuras untuk berwudlu atau mandi, maka diperbolehkan selama kondisi air seperti yang telah kami sebutkan di atas, yaitu salah satu sifatnya tidak berubah. Namun ada sebagian dari ulama pengikut madzhab Maliki yang berpendapat agar melakukan tayamum sekalipun air tersebut tidak berubah, sehingga orang tersebut melakukan dua macam bersuci, yaitu wudlu dan tayamum karena untuk berhati-hati. Jika dia tidak melakukan tayamum dan salat dengan wudlu tersebut, maka sudah mencukupi. Hal ini Menurut Abu Umar al-Qurthubi menunjukkan bahwa pendapat mereka telah mengarah kepada kesunnahan bukan wajib atau haram.

Abu Umar mengatakan bahwa ulama pengikut madzhab Maliki di Mesir berpendapat bahwa air yang sedikit tidak rusak kesuciannya karena hanya kejatuhan najis sedikit kecuali bila warna, rasa, dan baunya berubah. Sayangnya mereka tidak memberikan batasan terhadap ukuran banyak dan sedikitnya. Mereka juga berpendapat bagi orang yang berwudlu dengan air tersebut tidak wajib mengulangi salatnya.

Ismail bin Ishak dan para pengikutnya dari kalangan madzhab Maliki di Bagdhat memilih pada pendapat yang pertama karena umumnya firman Allah :

وَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ مَاءً طَهُوراً (الفرقان : ٤٨)

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”.

Kata “maa an thahura” pada ayat di atas artinya adalah air yang mensucikan terhadap sesuatu yang lain seperti air embun atau salju. Dalam al-quran juga dijelaskan :

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ (الأنفال: ١١)

“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu”

Imam Malik dan para pengikutnya tidak membedakan antara air yang kejatuhan najis, dan antara air yang mendatangi najis pada air yang diam atau air yang mengalir. Nabi bersabda:

اَلْمَاءُ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesuatu tidak dapat menajiskan terhadap air”

لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَيْهِ فَغَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيْحَهُ أَوْ لَوْنَهُ

“Sesuatu tidak dapat menajiskan terhadap air kecuali sesatu yang mengalahkan kepada air sehingga merubah rasa, bau, dan warnanya”.

Menurut Madzhab Maliki hukumnya makruh berwudlu dengan air sisa orang nasrani atau orang kafir lainnya, air sisa peminum arak, dan air sisa pemakan bangkai. Barang siapa berwudlu dengan air tersebut maka tidak masalah selama dia tidak meyakini adanya najis.

Bila ada air sekiranya kelihatan jernih, dan tidak tercampur dengan benda suci lainnya, maka hukumnya suci selama tidak ada bukti kalau air tersebut terkena najis. Demikian halnya hukumnya suci, air yang berubah sebab lumpur selama tidak nyata terkena najis.

Air yang berubah karena kejatuhan hewan yang tidak memiliki darah mengalir, seperti lalat, kecoak, belalang, maka tetap suci kecuali bila baunya berubah. Jika air tersebut baunya basi, maka tidak boleh dipakai untuk berwudlu. Demikain juga dengan hewan-hewan air seperti ikan paus, katak, maka ia tidak akan merusak kesucian air bila jatuh ke air dan mati di dalamnya, selama air tersebut baunya tidak berubah. Bila baunya berubah atau menjadi basi, maka tidak boleh digunakan untuk bersuci dan sekalipun air tersebut tidak najis menurut imam Malik.

E. Air Musta’mal
Air musta’mal (air yang sudah dipakai untuk menghilangkan hadas atau najis) hukum suci jika anggota orang yang berwudlu adalah suci. Hanya saja Imam Malik dan sebagian besar ulama Malikiyah mengatakan makruh berwudlu dengan air musta’mal. Bahkan Imam Malik mengatakan tidak ada kebaikan pada air musta’mal. Saya, kata Imam malik, tidak suka kepada orang yang berwudlu dengan air musta’mal. Bila seseorang berwudlu dengan air musta’mal, kemudian melakukan salat, maka saya tidak berpendapat agar ia mengulangi salatnya, tapi hendaknya dia berwudlu lagi ketika hendak melakukan salat pada waktu yang berikutnya.

F. Air Bekas Jilatan Anjing
Tidak diperbolehkan berwudlu dengan air yang dijilati oleh ajing, bila masih ada air lain. Memang pendapat Imam Malik dalam masalah ini, kata Abu Umar Al-Qurtubi, agak membingungkan. Namun kata Abu umar al-Qurtubi pendapat semacam itu lah yang benar dari Imam Malik. Abu Umar mengatakan bahwah perlu dibedakan antara apa yang boleh dipakai dari anjing dan apa yang tidak boleh dipakai dari wadah yang dijilat oleh anjing.

Dalam kitab al-Mudawanah, yaitu kitab yang dianggap ditulis oleh Imam Malik sendiri, dikatakan bahwa jika ajing menjilati susu atau makanan, maka makanlah makanan itu, dan wadahnya tidak perlu dibasuh. Sekalipun ada hadis yang mengatakan bahwa wadah tersebut harus dibasuh dengan tujuh kali basuhan, namun Imam malik melemahkan terhadap hadis tersebut. Imam malik berkata: “Memang ada hadis tentang hal itu, tapi saya tidak mengetahui hakikat dari hadis itu”. Menurut Ibnu Qosim sepertinya Ibnu Mali menganggap bahwa anjing adalah bagian dari keluarga, sehingga berbeda dengan hewan galak lainnya.[1]

Memang, kata Abu Umar, menurut madzhab Imam Malik anjing itu suci, dan jilatannya tidak menajiskan kepada sesuatu, baik itu maknan atau minuman. Hanya saja Imam Malik mensunnahkan untuk membuang air yang telah dijilat oleh anjing. Anjing liar atau anjing peliharaan bagi Imam Malik hukumnya sama, yaitu tidak najis. Sedangkan ulama yang mengharuskan membasuh tujuh kali kepada wadah yang telah dijilat oleh anjing hanya karena tujuan ibadah saja. Demikian jawaban Imam Malik ketika ditentang oleh madzhab lain.

Dalam kitab Al-Mudawanah diceritakan dari bahwa Imam Malik berkata : “Barang siapa berwudlu dengan air yang dijilat oleh anjing kemudian dia salat, maka wudlunya sah dan tidak wajib mengulang. Berkaitan dengan pendapat tersebut Ibnu Sihab mengatakan boleh berwudlu dengan air bekas anjing bila dalam keadaan terpaksa.[2]

Ibnu Wahab berkata dalam kitab Muwatha'nya bahwasanya Imam Malik pernah berkata kepadanya: “Janganlah kamu berwudlu dengan sisa anjing, baik kotor atau tidak kotor, kecuali bila air itu banyak seperti danau yang besar.

Barang siapa yang memiliki dua wadah yang salah satunya terkena najis, namun dia tidak mengetahui mana air yang ada dalam wadah tersebut yang terkena najis, jika orang tersebut berwudlu dengan air dari salah satu wadah tersebut, lalu salat, kemudian sehabis salat membasuh angotanya dengan wadah yang lainnya dan berwudlu dengan air tersebut, kemudian salat lagi maka salatnya sah. Namun ata Abu Umar menurut satu pendapat dalam madzhab Malikiyah dia harus membuang salah satu air dari kedua wadah tersebut, sehingga air yang tersisa (yang tidak dibuang) menjadi air yang diragukan kesuciannya. Keraguan terhadap air tersebut, menurut Madzhab Malik, tidak masalah. Air tersebut tetap suci dan dapat dipaki untuk bersuci selama tidak nampak tanda-tanda najis pada air tersebut, dan sifat-sifatnya tidak berubah.

Demikian lah menurut Abu Umar Al-Qurthubi pendapat yang benar dalam madzhab Malikiyah. Demikian juga dengan baju dan tanah tetap dianggap suci selama tidak terkena najis secara nyata. Jika diyakini terkena najis, maka harus dibasuh.

Memasak benda yang terkena najis tidak dapat menghilangkan najis. Memasak itu hanya untuk menepis keraguan saja. Memasak hanya kesunahan dalam bersuci ketika sebuah benda diraguakan kesuciaannya. (Diulas dari kitab Al-Kafi fii Fiqhi Ahlil Madinah karya Abu Umar Al-Qurtbi dan Kitab Al-Mudawwanah karya Malik bin Anas oleh FT edu).



[1] . Malik bin Anasa, Al-Mudawaanah, Darul Kutub al-ilmiyah, cet. I, hal : jilid. I, hal: 115
[2] . Malik bin Anasa, Al-Mudawaanah, Darul Kutub al-ilmiyah, cet. I, hal : jilid. I, hal: 116

No comments:

Post a Comment