Menu

Amazon

Lazada

Wednesday 19 August 2015

AYAT YANG DISALAH PAHAMI UNTUK MENOLAK MUTLAK PEMIMPIN NON MUSLIM




لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Terjemah

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).


Asbabun Nuzul

Menurut Ath-Thabari dari Ibnu Abbas, Hajjaj bin Amr bersekutu dengan Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Abil Huqoiq, dan Qois bin Zaid. Ketiga orang tesebut adalah dari golongan Yahudi yang bergabung dengan kaum Ansor yang bertujuan untuk membelokkan kaum Anshar dari ajaran agamanya. Akhirnya Rifa’ah bin Mundzir, Abdullah bin Jubair, Said bin Khoitsimah berkata kepada Kaum Anshor: “Jauhilah kelompok Yahudi itu, dan hindarilah untuk menjalin hubungan dengan mereka agar kalian tidak dipalingkan dari agama kalian. Mereka menolak saran dari Rifa’ah bin Mundir dan kawan-kawannya. Akhirnya turunlah ayat di atas.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas turun terkait dengan kasus Ubadah bin Shomit Al-Anshari. Ubadah memiliki sekutu yang terdiri dari orang-orang Yahudi. Pada saat Nabi hendak perang Ahzab, Ubadah bilang kepada Nabi: “Wahai Nabi saya memiliki sekutu orang yahudi sebanyak 500 orang laki-laki. Menurut saya, mereka bisa saya ajak ikut berperang dalam komando saya, dan (kekuatan) mereka akan saya perlihatkan kepada musuh.” Setelah Ubadah berkata demikian kepada Nabi, lalu turunlah ayat di atas.

Masih menurut At-Thabari ayat di atas kalau menurut riwayat dari jalur Mutsanna, dari Abdullah bin Shalih, dari Mu’awiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Thalib, dari Ibnu Abbas maksud: “Allah melarang kepada orang beriman untuk menjalin hubungan mesra dengan orang kafir, atau menjadikan mereka sebagai sahabat karib selain orang yang beriman kecuali bila mereka menampakkan kebaikannya kepada kita maka kita boleh menjalin hubungan baik dengan mereka. Sekalipun demikian, menurut riwayat tersebut, dalam urusan agama umat Islam tidak boleh mengikuti agama mereka (masing-masing).[1] 


Biografi Singkat Pelaku Peristiwa yang Melatarbelakangi Turunnya Ayat

Setelah kita mengetahui latar historis turunnya ayat di atas, sekarang kita akan menjelaskan biografi singkat orang-orang yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut seperti yang ada dalam riwayat Ath-Thobari di atas:

Golongan Muslim
1. Hajjaj bin Amr
Nama lengkapnya adalah Al-Hajjaj bin Amr, bin Ghaziyah, bin Amr, bin Tsa’labah, bin Khansa’, bin Mabduli, bin Amr, bin Ghanami, bin Mazin, bin Najjar. Ibunya bernama Ummah Hajjj binti Qois, bin Rofi’ bin Udainah. Hajjaj tidak memiliki keturunan.[2] 

2. Rifa’ah bin Mundir
Nama lengkapnya Rifa’ah bin Mundzir bin Zubair bin Zaid, bin Ummaiyah, bin Zaid, bin Malik, bin Auf, bin Umar, bin Umar, bin Malik, bin Aus. Beliau seorang tokoh masyarakat, ikut hadir pada perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Lubabah.[3] 

3. Abdullah bin Jubair
Nama lengkapnya Abdullah bin Jubair bin Nu’man, bin Umaiyah, bin Barak (imri’il Qois) bin Tsa’labah, bin Amr, bin ‘Auf. Ibunya dari klan Abadullah bin Ghathfan. Beliau ikut hadir pada saat perjanjian aqabah, perang badar, dan perang Uhud dengan membawa 70 kaum Anshor. Pada perang Uhud beliau termasuk salah satu dari 50 regu pemanah yang ditugaskan oleh Nabi.[4] 

4. Said bin Khoitsimah
Nama lengkapnya adalah Said bin Khoitimah bin Haris, bin malik, bin Ka'ab, Ibnu Nahath, bin Ka'ab, bin Haritsah, bin Ghanam, bin Salim. bin Imri'il Qois, bin Malik, bin Aus Al-Anshori. Beliau ikut hadir pada saat perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau meninggal  pada perang Uhud dibunuh oleh Tha'imah bin Addi.[5]

Golongan Yahudi
1. Ka’ab bin Al-Asyaraf
Nama lengkapnya adalah Ka’ab bin Al-Asyraf Ath-Tha’i dari klan Nabhan. Ka’ab adalah penyair Jahili. Ibunya berkebangsaan Yahudi dari klan Nadlir. Ka’ab berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Dia tinggal bersama paman-pamannya. Sekalipun beragama Yahudi, Ka’ab tahu banyak tentang ajaran Islam, tapi sikapnya sangat memusuhi umat Islam. Bahkan Ka’ab pernah menghasut orang Quraisy agar menyiksa umat Islam setelah kalah pada perang Badar. Ka’ab sering mencaci Nabi dan menyakiti umat Islam. Karena sikapnya itulah sehingga Nabi memerintahkan lima orang untuk menentangnya, akhirnya dia terbunuh di pintu benteng pertahanannya.[6]

2. Ibnu Abil Huqoiq
Dia juga orang yang menyakiti Nabi dan umat Islam, akhirnya Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk membunuhnya di Khaibar.[7]

3. Qois bin Zaid
Tidak diketahui secara persis apakah yang dimaksud dengan Qois bin Zaid dalam riwayat Ath-Thabari di atas adalah Qois bin Zaid Al-Judami (sahabat), atau Qois bin Zaid bin Amir (sahabat), Atau Qois bin Zaid saja. Jika yang dimaksud adalah Qois bin Zaid saja maka menurut Ibnul Atsir dia seorang yang tidak dikenal, dan setatusnya sebagai sahabat tidak diakui. Menurut Ibnul Atsir dia hanya seorang laki-laki yang tinggal di Bashrah.[8] 


Kesimpulan

Secara historis ayat di atas berkaitan dengan umat Islam yang menjalin hubungan diplomatik dengan orang non-muslim dalam hal ini Yahudi yang memiliki tujuan buruk terhadap umat Islam.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa surat Ali Imran ayat 28 secara mutlak tidak melarang umat Islam untuk menjalin hubungan baik dengan kelompok lain. Umat Islam boleh bekerjasama dengan kelompok agama lain dalam urusan duniawiyah, seperti dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya. Menurut beliau agama tidak melarang umat Islam menjalin hubungan baik dengan non-muslim selama orang non-muslim itu tidak menyakiti terhadap umat Islam.[9]

Kata auliya' dalam ayat di atas adalah bentuk plural dari kata wali yang artinya al-muhib (orang yang dicintai), al-khalif (sekutu), shadiq (teman dekat), an-nashir (penolong), dan orang yang menangani atau mengurus persolan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dalam ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang memusuhi dan menyakiti terhadap umat Islam. Yang perlu digaris bawahi dalam ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang memushi dan menyakiti terhadap umat Islam.

Dalam hubungan sosial, Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran, saling menghormati, dan saling tolong-menolong, baik dengan sesama muslim maupun dengan kelompok agama lain. Islam bukan agama yang egois dan ekslusif. (Diulas dari beberapa kitab tafsir dan sirah Oleh FT edu)




[1]. Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Quran, (Darul Hajr, Turki), cet. I, th. 2001, jilid II, hal.351
[2]. Ibnu Sa’id, Thabqatul Kubra, (Darush Shodir, Bairut), cet. I, tah. 1968, Jilid V, hal: 267
[3]. Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[4]. Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[5]. Ibnu Sa’id, Thabqatul Kubra, (Darush Shodir, Bairut), cet. I, tah. 1968, Jilid II, hal: 588
[6]. Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, (Musthofal babi Al-halabi, Mesir), cet. II, th. 1955, Jilid.2 hal: 51
[7]. Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Tahdibul Asma’ wal Lughah, (Darul Kutub Ilmiyah, Bairut), tp.th, Jilid II, hal: 324
[8]. Ibnu Atsir, Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, (Darul Kutub Ilmiyah), cet. I, jilid.4, hal: 123
[9]. Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir,  Wahbah Zuhaili, (Darul Fikri, Bairut), cet. II, th. 1418, Jilid I, hal: 187

Tuesday 18 August 2015

BENARKAH SEMUA AGAMA SAMA?


Gus Dur mengisahkan dulu ada seorang pejabat tinggi dimaki-maki sebagai murtad hanya karena menyatakan semua agama sama di negeri ini. Sedangkan kemurtadan akan membawa ke api neraka. Yang merisaukan adalah mudahnya sumpah serapah murtad yang keluar dari sebagian pemuka agama.

Menurut Gus Dur jika berkepala dingin dan tidak kagetan, pertama kali kita harus mampu membedakan antara jenis-jenis kesamaan, kesamaan di mata agama dan kesamaan di mata negara. Kesamaan di mata agama terkait dengan masalah inti ajaran, sedang kesamaan di mata negara adalah status di muka undang-undang dan hukum.

Dalam kenyataanya tidak ada agama yang mau melepaskan hak tunggalnya untuk memonopoli kebenaran. Forum keagamaan yang paling longgar sekalipun, kata Gus Dur, seperti Konsili Vatikan II atas Prakrasa Paus Yohanes XXIII, masih mempertahankan monopoli kebenaran itu. Forum tersebut dapat memaklumi dan menerima upaya untuk mencapai kebenaran mutlak Tuhan, dengan tidak mengurangi kebenaran yang sudah dicapai keimanan Kristen.

Islampun bersikap demikian. Sebab, al-Quran sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakukan yang sama kepada semua agama. Sebab, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakukan yang sama di muka hukum. Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada sampai kapanpun, namun persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan, selama ada yang memberikan perlakuan yang sama.

Oleh sebab itu, menurut Gus Dur kita harus memahami hal itu dengan penuh kearifan. Dan kearifan seperti ini tidak dapat dimurtadkan karena di dalamnya esensi klaim agama akan kebenaran masih terjaga sepernuhnya.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan ketika ajaran Islam dilepaskan dari dimensi tasawufnya, dan diganti dengan dimensi politik atau dijadikan sebagai pendorong lokomotif politik, maka sosok Islam akan menjadi agama yang suka menuduh, menghakimi, dan jauh dari sifat-sifat kearifan. Nabi tidak memiliki sifat keras atau galak. Sifat Nabi itu hanya empat, sidik, amanah, tablig, dan fathanah. Orang yang suka tablig (menyampaikan ajaran agama) tapi tidak dilandasi dengan sifat-sifat lain, seperti fathanah maka hanya akan menjadi Fathanah-fathanah made in Indonesia. (Diulas dari buku Tuhan Tidak Perlu Dibela oleh FT edu)

GUS DUR: JIWA YANG TENANG DAN JIWA YANG RESAH


Nabi pernah bersabda kepada para sahabatnya : “Raja’na min jihadil ashghar ila jihadil akbar” (Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Mendengar pernyataan tersebut, para sahabat sangat terkejut. Mereka bertanya-tanya, perang apa lagi yang lebih dahsyat. Rasulullah saw. menjelaskan, perang melawan hawa nafsu.”  Para sahabat terdiam, sadar betapa berat dan sulit melawan musuh di dalam diri sendiri. Selain sulit diidentifikasi, melawan musuh dalam selimut juga menuntut ketegasan dan ketegaran emosional karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap orang.

Dari prespektif ini, kata Gus Dur manusia itu ada dua macam: Pertama, orang–orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun. Mereka adalah pribadi-peribadi yang tenang dan damai. Dalam bahasa tasawuf disebut dengan an-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang), dan menjadi representisi bagi hadirnya spiritualitas, khalifatullah yang sebenarnya. Menurut Gus Dur dalam konteks cerita Mahabarata sosok jiwa yang tenang digambarkan seperti para Pandawa.

Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun. Mereka adalah pribadi-pribadi yang gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah. Dalam bahasa tasawuf disebut dengan an-nafsu al-lawwamah (jiwa yang gelisah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu. Dalam cerita Mahabarata digambarkan seperti sosok Kurawa.

Kedua kelompok ini hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang beragam. Mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik; dalam urusan pribadi hingga organisasi dan sebagainya.

Menurut Gus Dur pada kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun yang unik, kata Gus Dur. di Nusantara sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.


Hal ini terbukti setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, menurut KH. Wahid Hasyim kekuatan kelompok radikal (baik dari unsur Islam maupun Komunis-Sosialis) yang pada mulanya menang secara politik, dan berhasil medesak Bung Karno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI, justru setelah proklamasi dikumandangkan secara politik kelompok moderat menang atas kelompok radikal. Pos-pos pemerintahan banyak di isi oleh kelompok moderat. (Diulas dari buku Mengapa Saya Memilih NU dan buku Sekedar Mendahului Karya KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid oleh FT edu)

Monday 17 August 2015

KEKEJAMAN IDEOLOGI WAHABI PERTAMA DI INDONESIA


Kalau kita mendengar perang Padri, maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah perang melawan Belanda. Para Padri digambarkan sebagai pahlawan yang gagah berani melawan penjajah. Namun, tindak kekerasan yang dilakukan oleh para Padri karena berafilisi dengan ajaran Wahabi belum terungkap dan hanya beredar di antara para ahli saja.

Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan ajaran Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19. Pada saat itu Makkah dan Madinah dikuasai oleh Wahabi. Karena terpesona dengan gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara Haji Miskin berusaha melakukan gerakan permurnian agama yang juga didukung oleh haji-haji yang lain.

Menurut Oman Fathurrahman, sebagaimana dikutip dalam buku Ilusi Negara Islam, Para Padri memvonis tarekat Shatariyah, dan tasawuf pada umumnya, yang telah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi. Menurut mereka di dalamnya banyak tahayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan, bila perlu diperangi.

Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga mengkafirkan Fakih Shagir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan denganya.

Selain mengikuti kegemaran Wahabi yang suka memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapapun yang berbeda, para Padri juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam. Hukum yang mereka tetapkan antara lain:

1.   Memelihara jenggot hukumnya wajib. Barang siapa yang mencukur jenggot didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden).

2.      Dilarang memotong (merapikan) gigi. Bagi yang melanggar diancaman denda seekor kerbau.

3.     Perempuan wajib menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan. Bagi yang melanggar didenda tiga suku.

4.   Bagi yang meninggalkan salat fardlu untuk pertama kalinya di denda lima suku. Bila meninggalkan yang kedua kalinya dihukum mati.

Para padri juga melegalkan perbudakan. Menurut Abdul A’la Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama muslim karena dianggap kafir.

Abdul A’la juga mememaparkan bahwa Tuanku Nan Renceh telah menghukum mati bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak boleh jenazahnya dikubur tapi dibuang ke hutan, semata-mata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.


Kalau kita amati uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh ISIS jauh sebelumnya sudah pernah terjadi di Nusantara ini. Sejumlah kekejaman dengan mengatasnamakan agama pernah dipraktekkan oleh orang pribumi, yang mana tindakan semacam itu jelas-jelas bertentangan dengan naluri, tardisi, serta budaya bangsa Indonesia yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Kita berharap dan berdoa semoga peristiwa semacam itu tidak terulang lagi di negeri yang kita cintai ini. Semangat Bhineka Tunggal Ika dan ideologi Pancasila tidak boleh satu detikpun tergantikan oleh ideologi lain. (Diulas dari buku Ilusi Negara Islam, editor KH. Abdurrahman Wahid, Prolog Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Epilog, KH Mustofa Bisri oleh FT edu)

Saturday 15 August 2015

03. MELURUSKAN USTADZ NU YANG GEMAR MEMURTADKAN


Analisis Struktural
Untuk membuktikan kesempitan pemahaman Ustadz Idrus Ramli, kita akan mecoba menganalisis surat Ali Imran ayat 100 tersebut dengan pendekatan linguistik setrultural. Untuk tujuan ini kita akan mencoba menganalisis beberapa kata kunci yang ada dalam ayat tersebut.

Pertama kata amanu yang terdapat pada kalimat : ya ayyuhal ladzina amanu. Kata iman di sini menjadi landansan atau pintu masuk (entry point) bahwa yang disapa oleh al-Quran adalah masyarakat yang beriman, baik yang beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad, atau hanya beriman kepada Allah saja, tapi tidak beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad. Mengapa demikian? Sekalipun secara redaksional ayat itu ditujukan untuk masyarakat muslim Madinah, namun secara umum kelompok yang disapa oleh al-Quran adalah dua komunitas yang ada dalam masyarakat Madinah, pertama, ahlul kitab, yang saat itu sedang membuat ulah, kedua, masyarakat muslim (suku Aus dan Khajraj) yang saat itu sedang diadu domba oleh oleh salah seorang dari ahlul kitab.

Kedua kata tuthi’u. kata ini memiliki hubungan paradigmatik dengan kata-kata lain yang berada di luar lingkungan ayat tersebut. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara satu kata dengan kata lain yang tidak hadir di dalam redaksi ayat tersebut. Kata yang terkait dengan thuti’u adalah ittiba’, iqtida’ yang artinya juga sama-sama mengikuti. Kemudian yang menjadi pertanyaan kenapa al-Quran dalam ayat ini memakai kata thuti’u bukan kata ittiba’ atau iqtida’? Kata thuthi’u yang artinya menta’ati tidak hanya sekedar ikut tapi sekaligus meyakini dan membenarkan apa yang dikatakan oleh ahlul kitab pada saat itu, sehingga kedua orang dari suku khajraj dan Aus menjadi bertengkar.

Ketiga adalah kata fariqan. Kata ini berasal dari akar kata faraqayafruqu farqon artinya “memisahkan”, “membedakan” atau “membelah”. Berarti dalam kaitannya dengan ayat di atas, kehadiran kata fariqan menunjukkan bahwa ahlul kitab dan umat muslim adalah satu komunitas yang hidup bersama dalam satu daerah, yaitu kota Madinah. Hadirnya kata fariqan juga menunjukkan bahwa masyarakat Madinah bukan masyarakat yang tunggal (homogen) melainkan terdiri dari berbagai macam kelompok masyarakat (heterogen). Oleh sebab itu al-Quran memakai kata fariqan pada ayat di atas. Kata fariqan yang dimaksud dalam ayat ini adalah ahlul kitab. Kata ahlul kitab menunjuk pada masyarakat Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian kata ahlul kitab dalam ayat ini memiliki makna yang umum karena bisa menunjuk pada masyarakat Nasrani dan Yahudi sekaligus. Padahal menurut asbabun nuzulnya yang dimaksud dari ayat di atas adalah sebagian orang masyarakat Yahudi, bukan keseluruhannya. Gaya redaksi semacam ini diperbolehkan dalam ilmu retorika Arab yang biasanya dalam dunia persantren disebut dengan itlaqul kull iradatul zu’i (mengungkapkan kata yang maknanya keseluruhan tapi maksudnya sebagian). Dengan demikian kalau ayat ini oleh Ustadz Idrus Ramli dianggap maknanya telah jelas, maka sangat janggal dan aneh. 

Keempat, kata yaruddukum. Kata ini berasal dari akar kata raddayaruddu raddan yang artinya mengembalikan, memantul, menolak. Kata tersebut kalau kita analisis memakai pendekatan linguisitik struktural, maka memiliki hubungan paradigmatik dengan kata seperti raja’a, (mengembalikan) ‘akasa (memantul) dan dafa’a (menolak).

Kemudian yang menjadi pertanyaan kenapa al-Quran memakai kata radda, bukan kata raja’a yang artinya juga sama-sama kembali? Jawabannya adalah kata radda memiliki cakupan makna yang umum bila dibandingkan dengan kata raja’a. Makna “kembali” yang ditunjukkan oleh kata raja’a masih ada proses, tidak langsung (kembali kekedaan semula). Hal ini berbeda dengan makna “kembali” yang ditunjukkan oleh kata radda, bisa kembali (ke keadaan semula) secara langsung maupun melalui proses. Sehingga dalam kitab Addur Al-Mantsur dijelaskan bahwa jika engkau (suku Khajraj dan Aus) menghunus pedang dan tawuran, maka engkau langsung kufur secara otomatis.

Dari ketiga artikel di atas dapat ditarik kesimpulan:
1. Ustaz Idrus Ramli gagal memahami maksud dari model analisa yang dipakai oleh Kiai Said. Menganalisa jumlah kalimat Ya ayyuhalladzina amanu dalam al-Quran kemudian membandingkan kata amanu dengan kata aslamu yang tidak dipakai oleh al-Quran, bertujuan untuk mencari makna terjauh yang ditunjukkan oleh al-Quran berkenaan dengan toleransi beragama.

2. Surat Ali Imran ayat 100 yang dijadikan sebagai dasar untuk melarang umat Islam berinteraksi dengan kelompok agama lain adalah sebuah kekeliruan dalam memahami dalil, sebab ayat tersebut dilatarbelakangi oleh sebab-sebab khusus. (Diulas dari kitab Addur Al-Mantsur karya Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi oleh FT edu)

02. MELURUSKAN USTADZ NU YANG GEMAR MEMURTADKAN


Menurut Ustadz Idrus Ramli ada tiga ayat yang mengatur hubungan antara umat muslim dengan non muslim, yaitu surat Ali Imran: 100, 118, 149. Menurutnya ketiga ayat tersebut maknanya sudah jelas. Sekarang kita akan uji pendapatnya itu, benarkah ayat tersebut maknanya jelas dan tegas sesuai dengan makna tekstualnya yang melarang umat Islam untuk bergaul dengan kelompok agama lain?

Pertama ayat yang dijadikan sebagai dasar untuk dalam membangun hubungan antara umat Islam dan non-muslim adalah surat al-imran ayat 100:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ. (آل عمران: ١٠٠)
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS. Ali Imran : 100).

Ada sejumlah kecerobohan yang dilakukan oleh ustadz Idrus Ramli ketika memahami ayat di atas. Ibarat penyanyi dangdut, lagu yang ia nyanyikan tidak selaras dengan iringan musik yang dimainkan, sehingga terkesan aneh dan janggal. Kecerobohan yang paling fatal adalah tidak dijelaskannya aspek historis dari ayat tersebut. Dia langsung main kutip seperti yang dilakukan oleh orang-orang Wahabi.

Mengabaikan aspek historis dalam memahami al-Quran akan menghasilkan makna yang sempit, bahkan bisa menyesatkan. Untuk menjelaskan maksud dari ayat di atas agar tidak di salah pahami, maka ada dua hal yang perlu dilakukan:

Pertama, menjelaskan bagaimana konteks historis yang melatar belakangi turunnya ayat di atas. Konteks historis dalam bahasa pesantrennya adalah asbabun nuzul, atau sebab turunnya ayat.

Kedua, menjelaskan aspek semantiknya. Semantik  adalah ilmu yang membahas tentang makna kata. Selain itu akan dijelaskan bagaimana hubungan antara satu kata dengan kata lain yang ada dalam lingkup ayat tersebut. Kajian ini biasanya disebut dengan analisis struktural yang hampir mirip dengan kajian nahwu dalam pesantren namun sedikit ada pengembangan yang lebih sistematis.

Aspek Historis
Asbabun Nuzul ayat di atas menurut Imam As-Suyuthi berawal dari orang  yang bernama Sya’su bin Qois al-Yahudi yang iri dengan keakraban kampung suku Aus dan Khajraj. Sebelum Islam datang, kedua kampung tersebut selalu bertikai, dan sering melakukan tawuran. Setelah Islam masuk ke Madinah, keduanya didamaikan oleh Nabi.

Suatu hari, dua orang dari kampung khajraj dan Aus sedang berbincang-bincang dengan penuh keakraban. Tiba-tiba datanglah orang yahudi yang bernama Sya’su bin Qois al-Yahudi, dan ikut nimbrung bersama mereka. Sya’su bin Qois kemudian menceritakan kisah masa lalu kedua kampung tersebut saat masih berperang. Menurut Ibnu Mundzir Sya’su bin Qois sengaja melantunkan sebuah syair yang pernah diucapkan oleh salah seorang dari kedua kampung tersebut saat dulu mereka berperang. Akhirnya kedua orang laki-laki itu mempermasalahkan isi syair itu, kemudian keduanya adu mulut, sampai-sampai mereka mengundang kelompoknya untuk berperang. Kejadian itu terdengar oleh Nabi, kemudian Nabi langsung datang ke TKP, untuk melerai kedua suku tersebut akhirnya turunlah ayat di atas.[1]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pertama ayat di atas berkaitan dengan kasus yang spesifik, yaitu bagaimana umat Islam mensikapi orang yahudi yang bernama Sya’su bin Qois yang ingin mengadu domba atau suka gosok sana dan gosok sini dengan tujuan untuk memecah belah persatuan di antara mereka.  

Kedua, sikap mengadu domba dan memecah belah dilarang dalam ajaran Islam, baik dilakukan oleh umat Islam sendiri atau orang non muslim.

Ketiga, ayat di atas pengertiannya tidak bisa digenerlisir bahwa umat Islam tidak boleh bergaul dan harus menjauhi kelompok agama lain tanpa adanya satu sebab. Oleh karena itu tidak lah benar bila ayat di atas dijadikan sebagai dalil untuk melarang umat Islam bergaul dengan umat agama lain. (Diulas dari kitab Ad-Dur al-Mantsur karya Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi oleh FT edu)




[1]. Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Addur Al-Mantsur fi tafsir al-Ma’tsur, (Darul Fikr, Bairut), tp.th, jilid. II, hal. 279

01. MELURUSKAN USTADZ NU YANG GEMAR MEMURTADKAN (01)


Kata murtad dan kafir sepertinya sangat ringan sekali keluar dari mulut ustadz kita yang satu ini. Dalam tanggapannya terhadap tulisan Kiai Said, Ustadz Idrus Ramli menuduh Kiai Said telah mengajak warga NU untuk menjadi liberal dan murtad bersama. Saya tidak tahu apakah dia termasuk Ustadz yang salah asuh atau salah pergaulan sehingga mudah sekali mengucapkan kata-kata semacam itu.

Tulisan Ustad Idrus Ramli yang mengkritisi buku Kia Said dibuat dengan model dialog, menurutnya agar mudah dipahami. Pertama-pertama dia menanggapi kutipan berikut ini:  

SAS: Dalam Al-Quran, Allah kerap mengulang seruan “Ya ayuhalladzina amanu…”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali. Sementara seruan “Ya ayyuhalladzina aslamu…”, Wahai orang-orang Islam, tidak satu pun ditemukan dalam kitab suci umat Islam itu. Selain itu, di antara nama-nama dan asma-asma Allah yang berjumlah 99 itu salah satunya adalah “Al-Mu’min”. Dan tidak ada “Al-Muslim”, yang ada justru adalah “As-Salam”,

Kemudian bagaimana Idrus Ramli memahami model analisa Kiai Said di atas? Dia mengatakan:

IDRUS: Pernyataan SAS di atas sulit dinalar secara ilmiah. SAS hanya mengambil penggalan ayat, dan meninggalkan penggalan berikutnya. Lalu membuat kesimpulan yang luar biasa besar. Kejanggalan-kejanggalan dalam pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:


Pertama, asumsi SAS bahwa “Ya ayuhalladzina amanu…”, Wahai orang-orang yang beriman, sebanyak tujuh puluh kali, ada kaitannya dengan interaksi antar umat beragama, terutama antara umat Islam dan kaum Nasrani dalam mengelola kerukunan dan perbedaan di Indonesia, jelas salah dan tidak benar.

Menurut saya model analisa yang dipakai oleh Kia Said itu lumrah dilakukan oleh seseorang yang ingin menemukan makna terjauh yang ditunjukkan oleh al-Quran. Dalam salah satu pidatonya, KH Maimun Zuber juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu mempertanyakan satu kata yang tidak disebutkan oleh Al-Quran, dan justru kata lain yang sering disebut oleh Al-Quran.

Model analisa di atas sebenarnya mengandaikan ketika al-Quran tidak menampilkan kata tertentu dalam dirinya pasti memiliki maksud-maksud yang tersembunyi. Kita juga bisa membuat pertanyaan dengan metode analisis di atas, seperti mengapa al-Quran sama sekali tidak menyebutkan kata “pepaya” dan hewan “dinosaurus”, justru yang disinggung adalah kata “kurma” dan “onta”. Pertanyaan semacam ini dapat dijawab karena saat itu “pepaya” dan “dinosaurus” mungkin tidak dikenal oleh orang Arab sehingga al-Quran tidak menyinggungnya sama sekali.

Nah, model pembacaan semacam itulah yang diajukan oleh KH Said, tujuannya ingin menangkap makna terjauh dari al-Quran dengan menganalisis kalimat “Ya ayuhalladzina amanu”. Bila anda bertanya: “mengapa analisanya hanya terhenti pada kalimat Ya ayuhalladzina amanu, tidak dilanjutkan dengan kalimat sesudahnya? Jawabannya karena kalimat itu yang menjadi fokus pembahasan. Bila kalimat Ya ayuhalladzina amanu dikaitkan dengan kalimat sesudahnya, maka analisa Kiai Said menjadi tidak fokus, dan sekaligus akan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Metodologi Penelitian. Intinya Kiai Said ingin bertanya, kenapa al-Quran memakai kalimat Ya ayuhalladzina amanu, bukan kalimat Ya ayuhalladzina aslamu.  


Kalau ditanya apakah kalimat “Ya ayyuhalladzina amanu” memiliki hubungan dengan konsep toleransi beragama? Jawabannya, memang kalimat Ya ayyuhalladzina amanu tidak memiliki hubungan secara langsung dengan konsep toleransi beragama. Hubungan antar umat beragama tidak cukup hanya dijelaskan dengan menganalisa kalimat Ya ayyuhalladzina amanu, dan itu sudah disadari oleh Kiai Said. Maslah hubungan antar umat beragama seringkali dijelaskan oleh Kiai Said dengan poin-poin yang ada dalam Piagam Madinah. Kalau Ustadz Idrus Ramli mempersoalkan keterkaitan kalimat Ya ayyuhalladzina amanu dengan kosep toeransi beragama secara langsung (sharikh), berarti dia gagal dalam menangkap maksud dari model analisa Kiai Said di atas. Sekali lagi, saya tegaskan model pemahaman Kiai Said di atas hanya ingin menangkap makna terjauh yang ditunjukkan oleh al-Quran melalui kalimat Ya ayyuhalladzina amanu.

Lebih anehnya lagi Ustadz Idrus Ramli mengajukan sejumlah ayat yang menurutnya maknanya sudah tegas dalam menjelaskan hubungan antar umat beragama, surat Ali Imran: 100, 118, 149. Berdasarkan ayat tersebut dia mengatakan:

Ayat-ayat di atas dengan tegas menjelaskan tentang tata cara hubungan seorang Muslim dengan orang-orang kafir (Kristen, Yahudi dan lain-lain), dengan tidak mentaati kemauan mereka, dan tidak menjadikan mereka sebagai teman kepercayaan, karena akan mengakibatkan pihak Muslim menjadi orang-orang kafir dan merugi. Hal ini jelas bertentangan dengan kesimpulan SAS dalam bukunya, yang selalu berbicara Islam isklusif, toleran dan terbuka.

Benarkah ayat yang dijadikan dasar hubungan antar umat beragama oleh Ustadz Idrus Ramli maknanya jelas dan tegas, akan kita bahasa pada artikel berikutnya. (Diulas dari NU Garis Lurus.com oleh FT edu)