Menu

Amazon

Lazada

Wednesday 19 August 2015

AYAT YANG DISALAH PAHAMI UNTUK MENOLAK MUTLAK PEMIMPIN NON MUSLIM




لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Terjemah

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).


Asbabun Nuzul

Menurut Ath-Thabari dari Ibnu Abbas, Hajjaj bin Amr bersekutu dengan Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Abil Huqoiq, dan Qois bin Zaid. Ketiga orang tesebut adalah dari golongan Yahudi yang bergabung dengan kaum Ansor yang bertujuan untuk membelokkan kaum Anshar dari ajaran agamanya. Akhirnya Rifa’ah bin Mundzir, Abdullah bin Jubair, Said bin Khoitsimah berkata kepada Kaum Anshor: “Jauhilah kelompok Yahudi itu, dan hindarilah untuk menjalin hubungan dengan mereka agar kalian tidak dipalingkan dari agama kalian. Mereka menolak saran dari Rifa’ah bin Mundir dan kawan-kawannya. Akhirnya turunlah ayat di atas.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahwa ayat di atas turun terkait dengan kasus Ubadah bin Shomit Al-Anshari. Ubadah memiliki sekutu yang terdiri dari orang-orang Yahudi. Pada saat Nabi hendak perang Ahzab, Ubadah bilang kepada Nabi: “Wahai Nabi saya memiliki sekutu orang yahudi sebanyak 500 orang laki-laki. Menurut saya, mereka bisa saya ajak ikut berperang dalam komando saya, dan (kekuatan) mereka akan saya perlihatkan kepada musuh.” Setelah Ubadah berkata demikian kepada Nabi, lalu turunlah ayat di atas.

Masih menurut At-Thabari ayat di atas kalau menurut riwayat dari jalur Mutsanna, dari Abdullah bin Shalih, dari Mu’awiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Thalib, dari Ibnu Abbas maksud: “Allah melarang kepada orang beriman untuk menjalin hubungan mesra dengan orang kafir, atau menjadikan mereka sebagai sahabat karib selain orang yang beriman kecuali bila mereka menampakkan kebaikannya kepada kita maka kita boleh menjalin hubungan baik dengan mereka. Sekalipun demikian, menurut riwayat tersebut, dalam urusan agama umat Islam tidak boleh mengikuti agama mereka (masing-masing).[1] 


Biografi Singkat Pelaku Peristiwa yang Melatarbelakangi Turunnya Ayat

Setelah kita mengetahui latar historis turunnya ayat di atas, sekarang kita akan menjelaskan biografi singkat orang-orang yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut seperti yang ada dalam riwayat Ath-Thobari di atas:

Golongan Muslim
1. Hajjaj bin Amr
Nama lengkapnya adalah Al-Hajjaj bin Amr, bin Ghaziyah, bin Amr, bin Tsa’labah, bin Khansa’, bin Mabduli, bin Amr, bin Ghanami, bin Mazin, bin Najjar. Ibunya bernama Ummah Hajjj binti Qois, bin Rofi’ bin Udainah. Hajjaj tidak memiliki keturunan.[2] 

2. Rifa’ah bin Mundir
Nama lengkapnya Rifa’ah bin Mundzir bin Zubair bin Zaid, bin Ummaiyah, bin Zaid, bin Malik, bin Auf, bin Umar, bin Umar, bin Malik, bin Aus. Beliau seorang tokoh masyarakat, ikut hadir pada perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu Lubabah.[3] 

3. Abdullah bin Jubair
Nama lengkapnya Abdullah bin Jubair bin Nu’man, bin Umaiyah, bin Barak (imri’il Qois) bin Tsa’labah, bin Amr, bin ‘Auf. Ibunya dari klan Abadullah bin Ghathfan. Beliau ikut hadir pada saat perjanjian aqabah, perang badar, dan perang Uhud dengan membawa 70 kaum Anshor. Pada perang Uhud beliau termasuk salah satu dari 50 regu pemanah yang ditugaskan oleh Nabi.[4] 

4. Said bin Khoitsimah
Nama lengkapnya adalah Said bin Khoitimah bin Haris, bin malik, bin Ka'ab, Ibnu Nahath, bin Ka'ab, bin Haritsah, bin Ghanam, bin Salim. bin Imri'il Qois, bin Malik, bin Aus Al-Anshori. Beliau ikut hadir pada saat perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau meninggal  pada perang Uhud dibunuh oleh Tha'imah bin Addi.[5]

Golongan Yahudi
1. Ka’ab bin Al-Asyaraf
Nama lengkapnya adalah Ka’ab bin Al-Asyraf Ath-Tha’i dari klan Nabhan. Ka’ab adalah penyair Jahili. Ibunya berkebangsaan Yahudi dari klan Nadlir. Ka’ab berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Dia tinggal bersama paman-pamannya. Sekalipun beragama Yahudi, Ka’ab tahu banyak tentang ajaran Islam, tapi sikapnya sangat memusuhi umat Islam. Bahkan Ka’ab pernah menghasut orang Quraisy agar menyiksa umat Islam setelah kalah pada perang Badar. Ka’ab sering mencaci Nabi dan menyakiti umat Islam. Karena sikapnya itulah sehingga Nabi memerintahkan lima orang untuk menentangnya, akhirnya dia terbunuh di pintu benteng pertahanannya.[6]

2. Ibnu Abil Huqoiq
Dia juga orang yang menyakiti Nabi dan umat Islam, akhirnya Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk membunuhnya di Khaibar.[7]

3. Qois bin Zaid
Tidak diketahui secara persis apakah yang dimaksud dengan Qois bin Zaid dalam riwayat Ath-Thabari di atas adalah Qois bin Zaid Al-Judami (sahabat), atau Qois bin Zaid bin Amir (sahabat), Atau Qois bin Zaid saja. Jika yang dimaksud adalah Qois bin Zaid saja maka menurut Ibnul Atsir dia seorang yang tidak dikenal, dan setatusnya sebagai sahabat tidak diakui. Menurut Ibnul Atsir dia hanya seorang laki-laki yang tinggal di Bashrah.[8] 


Kesimpulan

Secara historis ayat di atas berkaitan dengan umat Islam yang menjalin hubungan diplomatik dengan orang non-muslim dalam hal ini Yahudi yang memiliki tujuan buruk terhadap umat Islam.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa surat Ali Imran ayat 28 secara mutlak tidak melarang umat Islam untuk menjalin hubungan baik dengan kelompok lain. Umat Islam boleh bekerjasama dengan kelompok agama lain dalam urusan duniawiyah, seperti dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya. Menurut beliau agama tidak melarang umat Islam menjalin hubungan baik dengan non-muslim selama orang non-muslim itu tidak menyakiti terhadap umat Islam.[9]

Kata auliya' dalam ayat di atas adalah bentuk plural dari kata wali yang artinya al-muhib (orang yang dicintai), al-khalif (sekutu), shadiq (teman dekat), an-nashir (penolong), dan orang yang menangani atau mengurus persolan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dalam ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang memusuhi dan menyakiti terhadap umat Islam. Yang perlu digaris bawahi dalam ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang memushi dan menyakiti terhadap umat Islam.

Dalam hubungan sosial, Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran, saling menghormati, dan saling tolong-menolong, baik dengan sesama muslim maupun dengan kelompok agama lain. Islam bukan agama yang egois dan ekslusif. (Diulas dari beberapa kitab tafsir dan sirah Oleh FT edu)




[1]. Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Quran, (Darul Hajr, Turki), cet. I, th. 2001, jilid II, hal.351
[2]. Ibnu Sa’id, Thabqatul Kubra, (Darush Shodir, Bairut), cet. I, tah. 1968, Jilid V, hal: 267
[3]. Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[4]. Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[5]. Ibnu Sa’id, Thabqatul Kubra, (Darush Shodir, Bairut), cet. I, tah. 1968, Jilid II, hal: 588
[6]. Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, (Musthofal babi Al-halabi, Mesir), cet. II, th. 1955, Jilid.2 hal: 51
[7]. Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Tahdibul Asma’ wal Lughah, (Darul Kutub Ilmiyah, Bairut), tp.th, Jilid II, hal: 324
[8]. Ibnu Atsir, Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, (Darul Kutub Ilmiyah), cet. I, jilid.4, hal: 123
[9]. Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir,  Wahbah Zuhaili, (Darul Fikri, Bairut), cet. II, th. 1418, Jilid I, hal: 187

1 comment:

  1. Terimakasih semoga Majlis Ta'lim "Pojok Ciganjur" istiqomah...

    ReplyDelete