لَا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Terjemah
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka, dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah
kembali (mu).
Asbabun Nuzul
Menurut Ath-Thabari dari Ibnu Abbas,
Hajjaj bin Amr bersekutu dengan Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Abil Huqoiq, dan Qois
bin Zaid. Ketiga orang tesebut adalah dari golongan Yahudi yang bergabung
dengan kaum Ansor yang bertujuan untuk membelokkan kaum Anshar dari ajaran
agamanya. Akhirnya Rifa’ah bin Mundzir, Abdullah bin Jubair, Said bin
Khoitsimah berkata kepada Kaum Anshor: “Jauhilah kelompok Yahudi itu, dan
hindarilah untuk menjalin hubungan dengan mereka agar kalian tidak dipalingkan
dari agama kalian. Mereka menolak saran dari Rifa’ah bin Mundir dan
kawan-kawannya. Akhirnya turunlah ayat di atas.”
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahwa
ayat di atas turun terkait dengan kasus Ubadah bin Shomit Al-Anshari. Ubadah
memiliki sekutu yang terdiri dari orang-orang Yahudi. Pada saat Nabi hendak
perang Ahzab, Ubadah bilang kepada Nabi: “Wahai Nabi saya memiliki sekutu orang
yahudi sebanyak 500 orang laki-laki. Menurut saya, mereka bisa saya ajak ikut
berperang dalam komando saya, dan (kekuatan) mereka akan saya perlihatkan
kepada musuh.” Setelah Ubadah berkata demikian kepada Nabi, lalu turunlah ayat
di atas.
Masih menurut At-Thabari ayat di atas
kalau menurut riwayat dari jalur Mutsanna, dari Abdullah bin Shalih, dari
Mu’awiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Thalib, dari Ibnu Abbas maksud: “Allah
melarang kepada orang beriman untuk menjalin hubungan mesra dengan orang kafir,
atau menjadikan mereka sebagai sahabat karib selain orang yang beriman kecuali
bila mereka menampakkan kebaikannya kepada kita maka kita boleh menjalin
hubungan baik dengan mereka. Sekalipun demikian, menurut riwayat tersebut,
dalam urusan agama umat Islam tidak boleh mengikuti agama mereka
(masing-masing).[1]
Biografi Singkat Pelaku Peristiwa yang Melatarbelakangi
Turunnya Ayat
Setelah kita mengetahui latar historis
turunnya ayat di atas, sekarang kita akan menjelaskan biografi singkat
orang-orang yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut seperti yang ada dalam
riwayat Ath-Thobari di atas:
Golongan Muslim
1. Hajjaj bin Amr
Nama lengkapnya adalah Al-Hajjaj bin Amr,
bin Ghaziyah, bin Amr, bin Tsa’labah, bin Khansa’, bin Mabduli, bin Amr, bin
Ghanami, bin Mazin, bin Najjar. Ibunya bernama Ummah Hajjj binti Qois, bin
Rofi’ bin Udainah. Hajjaj tidak memiliki keturunan.[2]
2. Rifa’ah bin Mundir
Nama lengkapnya Rifa’ah bin Mundzir bin
Zubair bin Zaid, bin Ummaiyah, bin Zaid, bin Malik, bin Auf, bin Umar, bin
Umar, bin Malik, bin Aus. Beliau seorang tokoh masyarakat, ikut hadir pada
perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau juga dikenal dengan sebutan Abu
Lubabah.[3]
3. Abdullah bin Jubair
Nama lengkapnya Abdullah bin Jubair bin
Nu’man, bin Umaiyah, bin Barak (imri’il Qois) bin Tsa’labah, bin Amr, bin ‘Auf.
Ibunya dari klan Abadullah bin Ghathfan. Beliau ikut hadir pada saat perjanjian
aqabah, perang badar, dan perang Uhud dengan membawa 70 kaum Anshor. Pada
perang Uhud beliau termasuk salah satu dari 50 regu pemanah yang ditugaskan
oleh Nabi.[4]
4. Said bin Khoitsimah
Nama lengkapnya adalah Said bin Khoitimah
bin Haris, bin malik, bin Ka'ab, Ibnu Nahath, bin Ka'ab, bin Haritsah, bin
Ghanam, bin Salim. bin Imri'il Qois, bin Malik, bin Aus Al-Anshori. Beliau ikut
hadir pada saat perjanjian Aqobah dan perang Badar. Beliau meninggal pada perang Uhud dibunuh oleh Tha'imah bin
Addi.[5]
Golongan Yahudi
1. Ka’ab bin Al-Asyaraf
Nama lengkapnya adalah Ka’ab bin
Al-Asyraf Ath-Tha’i dari klan Nabhan. Ka’ab adalah penyair Jahili. Ibunya
berkebangsaan Yahudi dari klan Nadlir. Ka’ab berasal dari keluarga Yahudi yang
terpandang. Dia tinggal bersama paman-pamannya. Sekalipun beragama Yahudi,
Ka’ab tahu banyak tentang ajaran Islam, tapi sikapnya sangat memusuhi umat
Islam. Bahkan Ka’ab pernah menghasut orang Quraisy agar menyiksa umat Islam
setelah kalah pada perang Badar. Ka’ab sering mencaci Nabi dan menyakiti umat
Islam. Karena sikapnya itulah sehingga Nabi memerintahkan lima orang untuk
menentangnya, akhirnya dia terbunuh di pintu benteng pertahanannya.[6]
2. Ibnu Abil Huqoiq
Dia juga orang yang menyakiti Nabi dan
umat Islam, akhirnya Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk membunuhnya di
Khaibar.[7]
3. Qois bin Zaid
Tidak diketahui secara persis apakah yang
dimaksud dengan Qois bin Zaid dalam riwayat Ath-Thabari di atas adalah Qois bin
Zaid Al-Judami (sahabat), atau Qois bin Zaid bin Amir (sahabat), Atau Qois bin
Zaid saja. Jika yang dimaksud adalah Qois bin Zaid saja maka menurut Ibnul
Atsir dia seorang yang tidak dikenal, dan setatusnya sebagai sahabat tidak
diakui. Menurut Ibnul Atsir dia hanya seorang laki-laki yang tinggal di
Bashrah.[8]
Kesimpulan
Secara historis ayat di atas berkaitan
dengan umat Islam yang menjalin hubungan diplomatik dengan orang non-muslim
dalam hal ini Yahudi yang memiliki tujuan buruk terhadap umat Islam.
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa surat Ali Imran ayat 28 secara mutlak tidak melarang umat
Islam untuk menjalin hubungan baik dengan kelompok lain. Umat Islam boleh
bekerjasama dengan kelompok agama lain dalam urusan duniawiyah, seperti dalam
masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Wahbah
Zuhaili dalam kitab tafsirnya. Menurut beliau agama tidak melarang umat Islam
menjalin hubungan baik dengan non-muslim selama orang non-muslim itu tidak
menyakiti terhadap umat Islam.[9]
Kata auliya' dalam ayat di atas adalah
bentuk plural dari kata wali yang artinya al-muhib (orang yang dicintai),
al-khalif (sekutu), shadiq (teman dekat), an-nashir (penolong), dan orang yang
menangani atau mengurus persolan orang lain. Yang perlu digaris bawahi dalam
ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan
di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang
memusuhi dan menyakiti terhadap umat Islam. Yang perlu digaris bawahi dalam
ayat di atas larangan untuk menjalin hubungan dengan kelompok agama lain bukan
di dasarkan pada perbedaan agama, melainkan karena sikap orang Yahudi yang
memushi dan menyakiti terhadap umat Islam.
Dalam hubungan sosial, Islam sangat
menjunjung tinggi kejujuran, saling menghormati, dan saling tolong-menolong,
baik dengan sesama muslim maupun dengan kelompok agama lain. Islam bukan agama
yang egois dan ekslusif. (Diulas dari beberapa kitab tafsir dan sirah
Oleh FT edu)
[1].
Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Quran,
(Darul Hajr, Turki), cet. I, th. 2001, jilid II,
hal.351
[3].
Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[4].
Yusuf bin Abdullah An-Namiri Al-Qurthubi, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Drul Jail, Birut), cet. I, th. 1992, Jilid IV, hal. 1740
[6].
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, (Musthofal babi Al-halabi, Mesir), cet. II, th. 1955, Jilid.2
hal: 51
[7].
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Tahdibul
Asma’ wal Lughah, (Darul Kutub Ilmiyah,
Bairut), tp.th, Jilid II, hal: 324
[8].
Ibnu Atsir, Usdul Ghabah fi Ma’rifati
Ash-Shahabah, (Darul Kutub Ilmiyah), cet. I, jilid.4, hal: 123
[9].
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Wahbah Zuhaili, (Darul Fikri, Bairut), cet.
II, th. 1418, Jilid I, hal: 187
Terimakasih semoga Majlis Ta'lim "Pojok Ciganjur" istiqomah...
ReplyDelete