Ruh atau kekuatan NU sebenarnya bukan di
struktur (mulai dari pusat hingga anak ranting), melainkan ada di
pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh penjuru indonesia. Pesantren bukan
hanya sebagai tempat belajar semata, melainkan juga berfungsi sebagai
pendidikan moral. Oleh sebab itu pesantren menjadi sumber kekuatan sosial.
Jangan heran kalau ada seorang kiai
enggan atau menolak masuk dalam struktur kepengurusan NU. Beliau menolak karena
sadar bahwa kekuatan NU yang sesungguhnya bukan di struktur, melainkan ada di
pesantren yang beliau emban.
Kalau Bu Khofifah memiliki kekuatan
sosial yang dahsat, mampu memikat hati seluruh ibu-ibu muslimat. Hal itu
semata-mata bukan karena beliau menjabat sebagai ketua Muslimat, melainkan
karena Bu Khofifah mampu berperan seperti peran kiai yang mendidik dan
mengayomi umat. Sedangkan jabatan sebagai ketua Muslimat hanya penyebab
sampingan, bukan penyebab utama.
Kalau pada saat muktamar, NU mengklaim
memiliki masa 100 Juta jiwa, sebenarya itu bukan massa milik NU, melainkan
milik pesantren yang diizinkan untuk diklaim oleh NU buat gaya-gayahan kepada
pemerintah.
Andaikata NU secara struktural bubar atau
diambil alih oleh Wahabi mulai dari pusat hingga dusun, kemudian pesantren
seluruh Indonesia menarik dukungan, maka Wahabi hanya mendapatkan jasad NU
tanpa nyawa.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan
bahwa untuk membenahi NU dalam pengertian yang luas, tidak harus masuk dalam
struktural, melainkan bisa melalui jalur kultural. Bila struktur sudah dikuasai
oleh hama, kita bisa membasminya lewat organisasi-organisasi pesantren yang
ada. (Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment