Menu

Amazon

Lazada

Monday 3 August 2015

MENGATASI KONFLIK PASCA MUKTAMAR KE-26 ALA GUS DUR


Bagaimana setrategi Gus Dur mensiasati konflik berkepanjangan antara kubu khittah dan kubu politik, mungkin layak untuk diketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekalipun konteksnya berbeda, namun bisa kita jadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran agar hal serupa tidak terjadi.

Muktamar ke–26 di Semarang pada tahun 1979 telah melahirkan sejumlah konflik yang berkepanjangan. Terpilihnya KH. Idham Khalid yang semula menolak untuk dicalonkan kembali menyebabkan banyak kiai senior yang kecewa. Bahkan KH. As’ad Syamsul Arifin sempat keluar dari arena muktamar setelah mendengar  KH. Idham Khalid bersedia dicalonkan kembali, dan terpilih lagi menjadi ketua Umum PBNU. Sedangkan Gus Dur masuk dijajaran wakil katib (sekretaris) PB Syuriyah NU.

Tubuh NU saat itu terbelah menjadi dua, yaitu kubu politik dan kubu khittah. KH. Achmad Sjaichu yang menjadi salah satu pendekar khitah kecewa berat, dan akhirnya mengundurkan dari kepengurusan PBNU. Kuatnya tekanan politik rezim saat itu membuat NU laa yahya wala yamut (hidup enggan matipun segan). NU telah ditelan arus ombak politik yang dicipatakan oleh Orde Baru.

Puncak dari konflik kala itu ketika para kiai senior, KH. As’ad, KH. Mahrus, KH. Ali Ma’sum, KH. Masykur datang ke Jakarta meminta KH. Idham Khalid agar mundur dari PBNU dengan alasan NU perlu dibangun kembali seperti dulu, yaitu dengan kepemimpinan yang kompak. KH. Idham setuju dan berikrar untuk berhenti, namun tidak lama kemudian menarik kembali pernyataannya ikrarnya. Semakin lengkaplah kekecewaan para kiai senior terhadap KH. Idham Khalid karena merasa dipermainkan.

Sumber Persoalan
1.  NU terlalu jauh dibawa ke wilayah politik praktis.
2.  Kuatnya cengkraman politik Orde Baru.
3.  Kepemimpinan Idham Khalid yang mendapatkan perlawanan keras dari sejumlah kiai senior NU karena telah membawa NU terlalu jauh ke ranah politik praktis.

Isu Politik Yang Sedang Terjadi
1.  Pemberian Gelar Bapak Pembangunan kepada Soeharto.
2.  Pemberlakukan Asas Pancasila

Langkah-langkah yang Diambil
1.  Blusukan menemui para kiai sepuh seperti Kiai As’ad, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Moenasir, Kiai Masjkur, KH. Ali Ma’sum Krapyak dan sejumlah kiai lainnya.
2.  Mengadakan Munas untuk mengisi jabatan Rois Amm pasca meninggalnya KH Bisri Sansuri.
3.  Menyelesaikan konflik dua kubu yang bertikai dengan pendekatan win-win solution, sebuah pendekatan yang tidak menurunkan martabat ulama dan KH Idham Khalid. Bila cara tersebut gagal, maka menurut Gus Dur harus menggunakan pendekatan yang berlaku dalam tradisi NU, yaitu “istikharah”.
4.  Menjalin kerja sama dengan sejumlah kiai sepuh seperti KH. Ahmad Sidik, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Ali Maksum Krapyak untuk memperkuat posisi Syuriah.
5.  Melakukan koreksi dari sejumlah kiai senior terhadap kepemimpinan KH. Idam Khalid setelah kepentingan NU tidak diakomodir oleh PPP yang dipimpin oleh H.J Naro.

Output yang Dihasilkan
Isu pemberlakuan asas Pancasila telah mempertemukan kedua kubu yang bertikai, yaitu kubu politik dan khittah. Kedua kubu sama-sama menerima Pancasila sebagai asas. Setelah kedua kubu bertemu dengan pemerintah (Presiden, Mendagri, dan Menteri Agama), keduanya melunak. Akhirnya rekonsiliasi yang dijanjikan oleh Gus Dur benar-benar terwujud. Melalui acara tahlilan di kediaman KH. Hasyim Lathif, Ketua PWNU Jawa Timur, di Sepanjang Sidoarjo, pada 10 September 1984, lahirlah “Maklumat Keakraban”. Maklumat bersejarah itu ditandatangani oleh tujuh ulama terkemuka: KH.R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’sum, KH. Idham Khalid, KH. Mahrus Aly, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri, dan KH. Ahmad Sidiq. (Diulas dari buku Jejak Langkah Sang Guru bangsa karya Chairul Anam oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment