Bagaimana setrategi Gus Dur mensiasati konflik
berkepanjangan antara kubu khittah dan kubu politik, mungkin layak untuk
diketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekalipun konteksnya berbeda, namun
bisa kita jadikan sebagai bahan renungan dan pembelajaran agar hal serupa tidak
terjadi.
Muktamar ke–26 di Semarang pada tahun
1979 telah melahirkan sejumlah konflik yang berkepanjangan. Terpilihnya KH. Idham
Khalid yang semula menolak untuk dicalonkan kembali menyebabkan banyak kiai senior
yang kecewa. Bahkan KH. As’ad Syamsul Arifin sempat keluar dari arena muktamar setelah
mendengar KH. Idham Khalid bersedia
dicalonkan kembali, dan terpilih lagi menjadi ketua Umum PBNU. Sedangkan Gus
Dur masuk dijajaran wakil katib (sekretaris) PB Syuriyah NU.
Tubuh NU saat itu terbelah menjadi dua,
yaitu kubu politik dan kubu khittah. KH. Achmad Sjaichu yang menjadi
salah satu pendekar khitah kecewa berat, dan akhirnya mengundurkan dari kepengurusan
PBNU. Kuatnya tekanan politik rezim saat itu membuat NU laa yahya wala yamut
(hidup enggan matipun segan). NU telah ditelan arus ombak politik yang
dicipatakan oleh Orde Baru.
Puncak dari konflik kala itu ketika para
kiai senior, KH. As’ad, KH. Mahrus, KH. Ali Ma’sum, KH. Masykur datang ke Jakarta
meminta KH. Idham Khalid agar mundur dari PBNU dengan alasan NU perlu dibangun
kembali seperti dulu, yaitu dengan kepemimpinan yang kompak. KH. Idham setuju dan
berikrar untuk berhenti, namun tidak lama kemudian menarik kembali
pernyataannya ikrarnya. Semakin lengkaplah kekecewaan para kiai senior terhadap
KH. Idham Khalid karena merasa dipermainkan.
Sumber Persoalan
1. NU terlalu jauh dibawa ke wilayah politik
praktis.
2. Kuatnya cengkraman politik Orde Baru.
3. Kepemimpinan Idham Khalid yang mendapatkan
perlawanan keras dari sejumlah kiai senior NU karena telah membawa NU terlalu
jauh ke ranah politik praktis.
Isu Politik Yang Sedang Terjadi
1. Pemberian Gelar Bapak Pembangunan kepada Soeharto.
2. Pemberlakukan Asas Pancasila
Langkah-langkah yang Diambil
1. Blusukan menemui para kiai sepuh seperti
Kiai As’ad, KH. Mahrus Aly Lirboyo, KH. Moenasir, Kiai Masjkur, KH. Ali Ma’sum
Krapyak dan sejumlah kiai lainnya.
2. Mengadakan Munas untuk mengisi jabatan
Rois Amm pasca meninggalnya KH Bisri Sansuri.
3. Menyelesaikan konflik dua kubu yang
bertikai dengan pendekatan win-win solution, sebuah pendekatan yang
tidak menurunkan martabat ulama dan KH Idham Khalid. Bila cara tersebut gagal,
maka menurut Gus Dur harus menggunakan pendekatan yang berlaku dalam tradisi
NU, yaitu “istikharah”.
4. Menjalin kerja sama dengan sejumlah kiai
sepuh seperti KH. Ahmad Sidik, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Mahrus Aly
Lirboyo, KH. Ali Maksum Krapyak untuk memperkuat posisi Syuriah.
5. Melakukan koreksi dari sejumlah kiai
senior terhadap kepemimpinan KH. Idam Khalid setelah kepentingan NU tidak
diakomodir oleh PPP yang dipimpin oleh H.J Naro.
Output yang Dihasilkan
Isu pemberlakuan asas Pancasila telah mempertemukan kedua kubu yang
bertikai, yaitu kubu politik dan khittah. Kedua kubu sama-sama menerima
Pancasila sebagai asas. Setelah kedua kubu bertemu dengan pemerintah (Presiden,
Mendagri, dan Menteri Agama), keduanya melunak. Akhirnya rekonsiliasi yang
dijanjikan oleh Gus Dur benar-benar terwujud. Melalui acara tahlilan di
kediaman KH. Hasyim Lathif, Ketua PWNU Jawa Timur, di Sepanjang Sidoarjo, pada
10 September 1984, lahirlah “Maklumat Keakraban”. Maklumat bersejarah itu
ditandatangani oleh tujuh ulama terkemuka: KH.R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’sum,
KH. Idham Khalid, KH. Mahrus Aly, KH. Masjkur, KH. Saifuddin Zuhri, dan KH.
Ahmad Sidiq. (Diulas dari buku Jejak Langkah Sang Guru bangsa karya
Chairul Anam oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment