Kalau kita mendengar perang Padri, maka yang terlintas dalam pikiran
kita adalah perang melawan Belanda. Para Padri digambarkan sebagai pahlawan yang
gagah berani melawan penjajah. Namun, tindak kekerasan yang dilakukan
oleh para Padri karena berafilisi dengan ajaran Wahabi belum terungkap dan
hanya beredar di antara para ahli saja.
Gerakan Padri
berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif
dengan ajaran Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19. Pada
saat itu Makkah dan Madinah dikuasai oleh Wahabi. Karena terpesona dengan gerakan
Wahabi, sekembalinya ke Nusantara Haji Miskin berusaha melakukan gerakan
permurnian agama yang juga didukung oleh haji-haji yang lain.
Menurut Oman
Fathurrahman, sebagaimana dikutip dalam buku Ilusi Negara Islam, Para Padri memvonis
tarekat Shatariyah, dan tasawuf pada umumnya, yang telah hadir di Minangkabau
beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi. Menurut
mereka di dalamnya banyak tahayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan, bila
perlu diperangi.
Tuanku Nan Renceh,
misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir
lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga
mengkafirkan Fakih Shagir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya
sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan
denganya.
Selain mengikuti
kegemaran Wahabi yang suka memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapapun
yang berbeda, para Padri juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam
diktum hukum Islam. Hukum yang mereka tetapkan antara lain:
1. Memelihara jenggot hukumnya wajib. Barang siapa yang mencukur
jenggot didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden).
2. Dilarang memotong (merapikan) gigi. Bagi yang melanggar diancaman
denda seekor kerbau.
3. Perempuan wajib menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan
tangan. Bagi yang melanggar didenda tiga suku.
4. Bagi yang meninggalkan salat fardlu untuk pertama kalinya
di denda lima suku. Bila meninggalkan yang kedua kalinya dihukum mati.
Para padri juga
melegalkan perbudakan. Menurut Abdul A’la Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri
terkemuka mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan.
Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan
kepada sesama muslim karena dianggap kafir.
Abdul A’la juga
mememaparkan bahwa Tuanku Nan Renceh telah menghukum mati bibinya sendiri yang
sudah tua, dan tidak boleh jenazahnya dikubur tapi dibuang ke hutan,
semata-mata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.
Kalau kita amati
uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh ISIS jauh
sebelumnya sudah pernah terjadi di Nusantara ini. Sejumlah kekejaman dengan
mengatasnamakan agama pernah dipraktekkan oleh orang pribumi, yang mana
tindakan semacam itu jelas-jelas bertentangan dengan naluri, tardisi, serta budaya
bangsa Indonesia yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Kita berharap
dan berdoa semoga peristiwa semacam itu tidak terulang lagi di negeri yang kita
cintai ini. Semangat Bhineka Tunggal Ika dan ideologi Pancasila tidak boleh
satu detikpun tergantikan oleh ideologi lain. (Diulas dari buku Ilusi Negara
Islam, editor KH. Abdurrahman Wahid, Prolog Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif,
Epilog, KH Mustofa Bisri oleh FT edu)
mengada2. kalo benar, buku rujukannya karya orientalis
ReplyDeletebanyak yang bahas itu...seperti Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007, buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006), dan buku karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)...silahkan dicek sendiri....hehehe
ReplyDelete