Menu

Amazon

Lazada

Monday 17 August 2015

KEKEJAMAN IDEOLOGI WAHABI PERTAMA DI INDONESIA


Kalau kita mendengar perang Padri, maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah perang melawan Belanda. Para Padri digambarkan sebagai pahlawan yang gagah berani melawan penjajah. Namun, tindak kekerasan yang dilakukan oleh para Padri karena berafilisi dengan ajaran Wahabi belum terungkap dan hanya beredar di antara para ahli saja.

Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan ajaran Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke-19. Pada saat itu Makkah dan Madinah dikuasai oleh Wahabi. Karena terpesona dengan gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara Haji Miskin berusaha melakukan gerakan permurnian agama yang juga didukung oleh haji-haji yang lain.

Menurut Oman Fathurrahman, sebagaimana dikutip dalam buku Ilusi Negara Islam, Para Padri memvonis tarekat Shatariyah, dan tasawuf pada umumnya, yang telah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi. Menurut mereka di dalamnya banyak tahayul, bid’ah, dan khurafat yang harus diluruskan, bila perlu diperangi.

Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga mengkafirkan Fakih Shagir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan denganya.

Selain mengikuti kegemaran Wahabi yang suka memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapapun yang berbeda, para Padri juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam. Hukum yang mereka tetapkan antara lain:

1.   Memelihara jenggot hukumnya wajib. Barang siapa yang mencukur jenggot didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden).

2.      Dilarang memotong (merapikan) gigi. Bagi yang melanggar diancaman denda seekor kerbau.

3.     Perempuan wajib menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan. Bagi yang melanggar didenda tiga suku.

4.   Bagi yang meninggalkan salat fardlu untuk pertama kalinya di denda lima suku. Bila meninggalkan yang kedua kalinya dihukum mati.

Para padri juga melegalkan perbudakan. Menurut Abdul A’la Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama muslim karena dianggap kafir.

Abdul A’la juga mememaparkan bahwa Tuanku Nan Renceh telah menghukum mati bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak boleh jenazahnya dikubur tapi dibuang ke hutan, semata-mata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.


Kalau kita amati uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh ISIS jauh sebelumnya sudah pernah terjadi di Nusantara ini. Sejumlah kekejaman dengan mengatasnamakan agama pernah dipraktekkan oleh orang pribumi, yang mana tindakan semacam itu jelas-jelas bertentangan dengan naluri, tardisi, serta budaya bangsa Indonesia yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Kita berharap dan berdoa semoga peristiwa semacam itu tidak terulang lagi di negeri yang kita cintai ini. Semangat Bhineka Tunggal Ika dan ideologi Pancasila tidak boleh satu detikpun tergantikan oleh ideologi lain. (Diulas dari buku Ilusi Negara Islam, editor KH. Abdurrahman Wahid, Prolog Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Epilog, KH Mustofa Bisri oleh FT edu)

2 comments:

  1. mengada2. kalo benar, buku rujukannya karya orientalis

    ReplyDelete
  2. banyak yang bahas itu...seperti Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007, buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006), dan buku karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007)...silahkan dicek sendiri....hehehe

    ReplyDelete