Menurut Ustadz Idrus Ramli ada tiga ayat yang mengatur hubungan antara umat
muslim dengan non muslim, yaitu surat Ali Imran: 100, 118, 149. Menurutnya ketiga ayat tersebut maknanya sudah jelas.
Sekarang kita akan uji pendapatnya itu, benarkah ayat tersebut maknanya jelas
dan tegas sesuai dengan makna tekstualnya yang melarang umat Islam untuk bergaul dengan kelompok agama lain?
Pertama ayat yang dijadikan sebagai dasar
untuk dalam membangun hubungan antara umat Islam dan non-muslim adalah surat
al-imran ayat 100:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ. (آل عمران: ١٠٠)
Hai orang-orang yang
beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab,
niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman. (QS. Ali Imran : 100).
Ada sejumlah kecerobohan yang dilakukan
oleh ustadz Idrus Ramli ketika memahami ayat di atas. Ibarat penyanyi dangdut, lagu yang ia nyanyikan tidak selaras dengan
iringan musik yang dimainkan, sehingga terkesan aneh dan janggal. Kecerobohan
yang paling fatal adalah tidak dijelaskannya aspek historis dari ayat tersebut.
Dia langsung main kutip seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Wahabi.
Mengabaikan aspek
historis dalam memahami al-Quran akan menghasilkan makna yang sempit, bahkan bisa menyesatkan. Untuk menjelaskan
maksud dari ayat di atas agar tidak di salah pahami, maka ada dua hal
yang perlu dilakukan:
Pertama, menjelaskan bagaimana konteks historis yang melatar
belakangi turunnya ayat di atas. Konteks historis dalam bahasa pesantrennya adalah asbabun
nuzul, atau sebab turunnya ayat.
Kedua, menjelaskan aspek semantiknya. Semantik adalah ilmu yang membahas tentang makna kata. Selain
itu akan dijelaskan bagaimana
hubungan antara satu kata dengan kata lain yang ada dalam lingkup ayat tersebut. Kajian ini biasanya disebut dengan analisis struktural
yang hampir mirip dengan kajian nahwu dalam pesantren namun sedikit ada
pengembangan yang lebih sistematis.
Aspek Historis
Asbabun Nuzul ayat
di atas menurut Imam As-Suyuthi berawal dari orang yang bernama Sya’su bin Qois al-Yahudi yang
iri dengan keakraban kampung suku Aus dan Khajraj. Sebelum Islam datang, kedua kampung
tersebut selalu bertikai, dan sering melakukan tawuran. Setelah Islam masuk ke Madinah,
keduanya didamaikan oleh Nabi.
Suatu hari, dua
orang dari kampung khajraj dan Aus sedang berbincang-bincang dengan penuh
keakraban. Tiba-tiba datanglah orang yahudi yang bernama Sya’su bin Qois al-Yahudi,
dan ikut nimbrung bersama mereka. Sya’su bin Qois kemudian menceritakan kisah
masa lalu kedua kampung tersebut saat masih berperang. Menurut Ibnu Mundzir Sya’su
bin Qois sengaja melantunkan sebuah syair yang pernah diucapkan oleh salah
seorang dari kedua kampung tersebut saat dulu mereka berperang. Akhirnya kedua
orang laki-laki itu mempermasalahkan isi syair itu, kemudian keduanya adu
mulut, sampai-sampai mereka mengundang kelompoknya untuk berperang. Kejadian itu
terdengar oleh Nabi, kemudian Nabi langsung datang ke TKP, untuk melerai kedua
suku tersebut akhirnya turunlah ayat di atas.[1]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan, pertama ayat di atas berkaitan dengan kasus yang
spesifik, yaitu bagaimana umat Islam mensikapi orang yahudi yang bernama Sya’su
bin Qois yang ingin mengadu domba atau suka gosok sana dan gosok sini dengan
tujuan untuk memecah belah persatuan di antara mereka.
Kedua, sikap mengadu domba
dan memecah belah dilarang dalam ajaran Islam, baik dilakukan oleh umat Islam
sendiri atau orang non muslim.
Ketiga, ayat di atas pengertiannya
tidak bisa digenerlisir bahwa umat Islam tidak boleh bergaul dan harus menjauhi
kelompok agama lain tanpa adanya satu sebab. Oleh karena itu tidak lah benar bila ayat di atas dijadikan sebagai dalil untuk melarang umat Islam bergaul dengan umat agama lain. (Diulas dari kitab Ad-Dur
al-Mantsur karya Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi oleh FT edu)
[1]. Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Addur
Al-Mantsur fi tafsir al-Ma’tsur, (Darul Fikr, Bairut), tp.th, jilid. II,
hal. 279
No comments:
Post a Comment