Menu

Amazon

Lazada

Friday 14 August 2015

PERLU ETIKA DALAM BERARGUMENTASI



Perbedaan pendapat dan sudut pandang itu hal yang biasa dalam Islam. Kritik dan sanggahan kerap mewarnai sejarah perkembangan pemikiran keislaman, baik dalam bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf.

Dalam bidang teologi misalnya, bagaimana kaum Khawarij mengkritisi sikap sahabat Ali r.a. yang menerima ajakan berunding dari Mu’awiyah. Bagaimana faham Jabariyah mendapatkan koreksi tajam dari faham Qadariyah. Bagaimana faham Qadariyah atau Mu’tazilah mendapatkan tanggapan serius dari faham Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.

Dalam bidang fiqh misalnya, bagaimana golongan ahlu ra’yi (Imam Abu Hanifah berikut muridnya) mendapatkan kritik tajam dari Ibnu Hazm, pengikut madzhab Zahiri. Dalam bidang tasawuf bagaimana Ibnu Taimiyah melakukan koreksi tuntas terhadap ajaran wihdatul wujudnya Ibnu Arabi.

Dalam bidang filsafat misalnya, bagaimana Al-Ghazali melakukan kritik tajam terhadap para filusuf muslim seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, sampai-sampai beliau menulis kitab Tahafutu Falasifah yang kemudian mendapatkan kritik balik dari ulama berkebangsaan Spanyol yang bernama Ibnu Rusyd dengan kitabnya Tahafutu Tahafutu Falasifah.

Dalam berdialog tentunya ada aturan main yang harus dipegang oleh para kontestan, baik aturan itu berkenaan dengan penyusunan argumentasi, pemilihan teori yang akan digunakan, serta aturan dalam menyampaikan sebuah argumentasi. Tujuannya jelas, agar terhindar dari debat kusir yang melelahkan. Perdebatan seperti, mana yang lebih dahulu antara ayam dan telur, harus dihindari sejauh mungkin karena tidak akan menguntungkan, justru yang baik bila ayam dan telur itu digoreng lalu kita makan.

Demikian juga perdebatan dalam masalah khilafiyah antara satu imam madzhab dengan imam madzhab lain, bila kita tidak ingin melacaknya sampai ke sumbernya, yaitu al-Quran dan hadis, juga harus dihindari. Memperdebatkan masalah khilafiyah tanpa melacak sampai ke sumbernya, hanya akan melahirkan perdebatan antara penggemar kecap cap beduk dengan kecap cap tasbih. Masing-masing pasti akan menggunggulkan kecap kesukaannya.

Kalau ingin mengkritisi suatu pendapat, misalnya saja pendapat KH. Said Aqil Siraj, maka ada beberapa hal yang harus diamati. Pertama, amati dulu pendekatan atau teori apa yang diapakai oleh kiai Said, apakah pendekatan historis, filosofis, atau linguistik. Kedua, bagaimana kiai Said mengkonstruksi argumentasinya, konsistenkah beliau dengan teori yang dipakai. Ketiga, bagaimana kiai Said mengkonseptualkan sebuah kata kunci, sejauhmana cakupan makna dari konsep itu. Keempat kumpulkan bukti-bukti otentik, baik yang berasal dari sumber kepustakaan atau fakta yang terjadi di lapangan. Keenam, bangun argumentasi yang kokoh sesuai dengan teori yang dipakai. Jangan main kutip hadis ini, kutip ayat itu, akhirnya jadi juragan kutip yang bingung dengan koleksi kutipannya sendiri.

Kalau kiai Said memakai pendekatan historis, maka harus dikritik dengan pendekatan historis, silahkan anda mau pakai teori kritik sejarah atau teori lain yang ada dalam kajian sejarah. Anda jangan menggunakan pendekatan fiqh-yuridis (halal-haram), pasti tidak akan nyambung. Ujung-ujungnya yang terjadi adalah keputusan hitam putih atau vonis kafir dan murtad.


Kalau kita mengikuti ritme gerak dalam teori dialektika, kritik adalah sebuah anti tesis terhadap tesis yang telah diajukan. Masing-masing dari tesis dan anti tesis saling mengoreksi kekuarangan satu sama lain. Akhirnya keduanya melahirkan sebuah sintesis, yaitu perpaduan sisi baik dari tesis dan anti tesis. Hubungan dialektika itu bisa diibaratkan seperti dua insan (laki-laki dan perempuan) yang memadu kasih kemudian melahirkan sintesis seorang anak. Itulah gambaran dari fenomena kritik dalam sebuah pemikiran. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment