Perbedaan pendapat dan sudut pandang itu
hal yang biasa dalam Islam. Kritik dan sanggahan kerap mewarnai sejarah
perkembangan pemikiran keislaman, baik dalam bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf.
Dalam bidang teologi misalnya, bagaimana
kaum Khawarij mengkritisi sikap sahabat Ali r.a. yang menerima ajakan berunding
dari Mu’awiyah. Bagaimana faham Jabariyah mendapatkan koreksi tajam dari faham Qadariyah.
Bagaimana faham Qadariyah atau Mu’tazilah mendapatkan tanggapan serius dari
faham Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.
Dalam bidang fiqh misalnya, bagaimana
golongan ahlu ra’yi (Imam Abu Hanifah berikut muridnya) mendapatkan kritik
tajam dari Ibnu Hazm, pengikut madzhab Zahiri. Dalam bidang tasawuf bagaimana
Ibnu Taimiyah melakukan koreksi tuntas terhadap ajaran wihdatul wujudnya Ibnu
Arabi.
Dalam bidang filsafat misalnya, bagaimana
Al-Ghazali melakukan kritik tajam terhadap para filusuf muslim seperti Ibnu
Sina dan al-Farabi, sampai-sampai beliau menulis kitab Tahafutu Falasifah
yang kemudian mendapatkan kritik balik dari ulama berkebangsaan Spanyol yang
bernama Ibnu Rusyd dengan kitabnya Tahafutu Tahafutu Falasifah.
Dalam berdialog tentunya ada aturan main yang
harus dipegang oleh para kontestan, baik aturan itu berkenaan dengan penyusunan
argumentasi, pemilihan teori yang akan digunakan, serta aturan dalam
menyampaikan sebuah argumentasi. Tujuannya jelas, agar terhindar dari debat
kusir yang melelahkan. Perdebatan seperti, mana yang lebih dahulu antara ayam
dan telur, harus dihindari sejauh mungkin karena tidak akan menguntungkan,
justru yang baik bila ayam dan telur itu digoreng lalu kita makan.
Demikian juga perdebatan dalam masalah khilafiyah
antara satu imam madzhab dengan imam madzhab lain, bila kita tidak ingin
melacaknya sampai ke sumbernya, yaitu al-Quran dan hadis, juga harus dihindari.
Memperdebatkan masalah khilafiyah tanpa melacak sampai ke sumbernya, hanya
akan melahirkan perdebatan antara penggemar kecap cap beduk dengan kecap cap
tasbih. Masing-masing pasti akan menggunggulkan kecap kesukaannya.
Kalau ingin mengkritisi suatu pendapat,
misalnya saja pendapat KH. Said Aqil Siraj, maka ada beberapa hal yang harus
diamati. Pertama, amati dulu pendekatan atau teori apa yang diapakai
oleh kiai Said, apakah pendekatan historis, filosofis, atau linguistik. Kedua,
bagaimana kiai Said mengkonstruksi argumentasinya, konsistenkah beliau dengan
teori yang dipakai. Ketiga, bagaimana kiai Said mengkonseptualkan sebuah
kata kunci, sejauhmana cakupan makna dari konsep itu. Keempat kumpulkan
bukti-bukti otentik, baik yang berasal dari sumber kepustakaan atau fakta yang
terjadi di lapangan. Keenam, bangun argumentasi yang kokoh sesuai dengan
teori yang dipakai. Jangan main kutip hadis ini, kutip ayat itu, akhirnya jadi
juragan kutip yang bingung dengan koleksi kutipannya sendiri.
Kalau kiai Said memakai pendekatan
historis, maka harus dikritik dengan pendekatan historis, silahkan anda mau
pakai teori kritik sejarah atau teori lain yang ada dalam kajian sejarah. Anda jangan
menggunakan pendekatan fiqh-yuridis (halal-haram), pasti tidak akan nyambung. Ujung-ujungnya
yang terjadi adalah keputusan hitam putih atau vonis kafir dan murtad.
Kalau kita mengikuti ritme gerak dalam teori
dialektika, kritik adalah sebuah anti tesis terhadap tesis yang telah diajukan.
Masing-masing dari tesis dan anti tesis saling mengoreksi kekuarangan satu sama
lain. Akhirnya keduanya melahirkan sebuah sintesis, yaitu perpaduan sisi baik
dari tesis dan anti tesis. Hubungan dialektika itu bisa diibaratkan seperti dua
insan (laki-laki dan perempuan) yang memadu kasih kemudian melahirkan sintesis
seorang anak. Itulah gambaran dari fenomena kritik dalam sebuah pemikiran. (Oleh
FT edu)
No comments:
Post a Comment