Menu

Amazon

Lazada

Sunday 9 August 2015

DAMPAK WAHABI SALAFI YANG MENGABAIKAN ASPEK HISTORIS DALIL


Membicarakan aspek historis dari sebuah dalil, berarti berbicara tentang masa lalu. Masa lalu yang dimaksud di sini bukan masa lalu secara umum, melainkan masa lalu dari dalil al-Quran dan hadis yang kita jadikan sebagai acuan untuk menjawab persoalan keagamaan pada masa kini.

Pengetahuan kita tentang masa lalu tidak akan pernah utuh. Hal ini disebabkan oleh adanya keterjarakan waktu antara kita yang hidup pada masa kini dengan peristiwa yang terjadi pada masa tertentu di waktu lampau. Jangankan masa lalu dari sebuah dalil, masa lalu kita sendiri kadang-kadang tidak mampu kita ingat secara sempurna.

Dalam kajian ulumul quran atau ilmu tafsir kita mengenal asbabun-nuzul (sebab turunya ayat). Sedangkan dalam ilmu hadis kita mengenal asbababul wurud (sebab munculnya sebuah hadis). Perlu diketahui tidak semua ayat dalam al-Quran memiliki asbabun nuzul, dan juga tidak semua hadis memiliki asbabul wurud. Sekalipun demikian al-Quran dan hadis pasti memiliki aspek historis. Berarti asbabun nuzul memiliki cakupan makna lebih khusus sedangkan aspek historis memiliki cakupan yang lebih luas.

Aspek historis dari sebuah dalil, baik yang bersumber dari al-Quran maupun hadis adalah seluruh rentang waktu turunnya al-Quran dan masa hidupnya Nabi. Sedangkan asbabun nuzul dan asbabul wurud menunjuk pada sebab turunnya ayat atau hadis tertentu. Oleh sebab itu pengetahuan terhadap sejarah Nabi sangat membantu untuk mengungkap makna yang tersembunyi dalam sebuah dalil.

Kemudian apa dampak negatif bila aspek historis dari sebuah dalil diabaikan? Dampak nyata dari mengabaikan aspek historis dalil:

Pertama melahirkan sikap pemaksaan terhadap kondisi masa kini untuk tunduk total terhadap kondisi masa lalu. Pemkasaan ini kemudian melahirkan pendangkalan makna terhadap al-Quran dan hadis. Contoh kasus fatwa Wahabi Salafi yang mengharamkan mobil ambulan, bid’ahnya tahlilan, diba’an, dan haramnya memakai pengeras suara dengan alasan budaya orang kafir dan tidak pernah terjadi pada masa kenabian. Fatwa-fatwa semacam ini disebabkan oleh sikap pemaksaan terhadap kondisi masa kini agar tunduk total terhadap kondisi masa lalu.

Kedua, kemunduran. Ajaran agama seakan-akan tidak berfungsi sebagai pengawal bagi setiap perubahan, melainkan menjadi penghambat perkembangan, sehingga ajaran agama menjadi kerdil dan sulit untuk dilaksanakan. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya mobil ambulan diharamkan pada hal antara rumah duka dengan rumah sakit sangat jauh jaraknya. Oleh sebab itu zaman boleh berkembang, tapi perkembangan zaman harus dikawal oleh al-Quran dan hadis, bukan malah dihambat.

Ketiga, al-Quran atau hadis diposisikan seperti resep dokter atau menu makanan siap saji. Sikap semacam ini sesungguhnya tidak menghormati terhadap keagungan al-Quran. Makna al-Quran akhirnya menjadi sempit dan keluasan ajaran agama hanya dilihat dari lubang konci pintu.

Lalu apa hubungan antara kondisi masa lalu di mana al-Quran itu turun (masa kenabian) dan kondisi masa kini yang harus dijawab oleh al-Quran? Hubungan antara kondisi masa lalu dengan masa kini bukan saling mengalahkan, atau menindas, melainkan saling berdialog. Artinya makna yang terkandung pada sebuah dalil harus kita dialogkan dengan kondisi masa kini. Masa lalu tidak boleh mengalahkan masa kini, demikian halnya masa kini tidak boleh mengabaikan masa lalu.


Melupakan masa lalu dari sebuah dalil, akan mengakibatkan pemaknaan yang liar dan ahistoris. Masa lalu memiliki tatanannya sendiri, sedang masa kini juga memiliki tatanan sendiri. Kedua tatanan itu harus kita dialogkan, bukan kita abaikan salah satunya. Dari hasil dialog itu diharapkan hukum yang diputuskan tidak tercerabut dari akar sejarahnya, sekaligus tidak menutup mata terhadap setiap perkembangan zaman. Dengan kata lain al-Quran dan hadis harus menjiwai setiap bentuk perubahan, bukan malah menghambat perkembangan zaman. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment