Membicarakan aspek historis dari sebuah
dalil, berarti berbicara tentang masa lalu. Masa lalu yang dimaksud di sini
bukan masa lalu secara umum, melainkan masa lalu dari dalil al-Quran dan hadis yang
kita jadikan sebagai acuan untuk menjawab persoalan keagamaan pada masa kini.
Pengetahuan kita tentang masa lalu tidak
akan pernah utuh. Hal ini disebabkan oleh adanya keterjarakan waktu antara kita
yang hidup pada masa kini dengan peristiwa yang terjadi pada masa tertentu di waktu
lampau. Jangankan masa lalu dari sebuah dalil, masa lalu kita sendiri
kadang-kadang tidak mampu kita ingat secara sempurna.
Dalam kajian ulumul quran atau ilmu
tafsir kita mengenal asbabun-nuzul (sebab turunya ayat). Sedangkan dalam
ilmu hadis kita mengenal asbababul wurud (sebab munculnya sebuah hadis).
Perlu diketahui tidak semua ayat dalam al-Quran memiliki asbabun nuzul, dan
juga tidak semua hadis memiliki asbabul wurud. Sekalipun demikian
al-Quran dan hadis pasti memiliki aspek historis. Berarti asbabun nuzul memiliki
cakupan makna lebih khusus sedangkan aspek historis memiliki cakupan yang lebih
luas.
Aspek historis dari sebuah dalil, baik
yang bersumber dari al-Quran maupun hadis adalah seluruh rentang waktu turunnya
al-Quran dan masa hidupnya Nabi. Sedangkan asbabun nuzul dan asbabul
wurud menunjuk pada sebab turunnya ayat atau hadis tertentu. Oleh sebab itu
pengetahuan terhadap sejarah Nabi sangat membantu untuk mengungkap makna yang
tersembunyi dalam sebuah dalil.
Kemudian apa dampak negatif bila aspek
historis dari sebuah dalil diabaikan? Dampak nyata dari mengabaikan aspek historis
dalil:
Pertama melahirkan sikap pemaksaan terhadap kondisi masa
kini untuk tunduk total terhadap kondisi masa lalu. Pemkasaan ini kemudian melahirkan
pendangkalan makna terhadap al-Quran dan hadis. Contoh kasus fatwa Wahabi Salafi
yang mengharamkan mobil ambulan, bid’ahnya tahlilan, diba’an, dan haramnya
memakai pengeras suara dengan alasan budaya orang kafir dan tidak pernah terjadi
pada masa kenabian. Fatwa-fatwa semacam ini disebabkan oleh sikap pemaksaan
terhadap kondisi masa kini agar tunduk total terhadap kondisi masa lalu.
Kedua, kemunduran. Ajaran agama seakan-akan tidak
berfungsi sebagai pengawal bagi setiap perubahan, melainkan menjadi penghambat
perkembangan, sehingga ajaran agama menjadi kerdil dan sulit untuk
dilaksanakan. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya mobil ambulan
diharamkan pada hal antara rumah duka dengan rumah sakit sangat jauh jaraknya. Oleh
sebab itu zaman boleh berkembang, tapi perkembangan zaman harus dikawal oleh
al-Quran dan hadis, bukan malah dihambat.
Ketiga, al-Quran atau hadis diposisikan seperti resep
dokter atau menu makanan siap saji. Sikap semacam ini sesungguhnya tidak
menghormati terhadap keagungan al-Quran. Makna al-Quran akhirnya menjadi sempit
dan keluasan ajaran agama hanya dilihat dari lubang konci pintu.
Lalu apa hubungan antara kondisi masa
lalu di mana al-Quran itu turun (masa kenabian) dan kondisi masa kini yang
harus dijawab oleh al-Quran? Hubungan antara kondisi masa lalu dengan masa kini
bukan saling mengalahkan, atau menindas, melainkan saling berdialog. Artinya makna
yang terkandung pada sebuah dalil harus kita dialogkan dengan kondisi masa
kini. Masa lalu tidak boleh mengalahkan masa kini, demikian halnya masa kini
tidak boleh mengabaikan masa lalu.
Melupakan masa lalu dari sebuah dalil, akan
mengakibatkan pemaknaan yang liar dan ahistoris. Masa lalu memiliki tatanannya
sendiri, sedang masa kini juga memiliki tatanan sendiri. Kedua tatanan itu harus
kita dialogkan, bukan kita abaikan salah satunya. Dari hasil dialog itu
diharapkan hukum yang diputuskan tidak tercerabut dari akar sejarahnya, sekaligus
tidak menutup mata terhadap setiap perkembangan zaman. Dengan kata lain al-Quran
dan hadis harus menjiwai setiap bentuk perubahan, bukan malah menghambat
perkembangan zaman. (Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment