Menu

Amazon

Lazada

Tuesday 18 August 2015

GUS DUR: JIWA YANG TENANG DAN JIWA YANG RESAH


Nabi pernah bersabda kepada para sahabatnya : “Raja’na min jihadil ashghar ila jihadil akbar” (Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Mendengar pernyataan tersebut, para sahabat sangat terkejut. Mereka bertanya-tanya, perang apa lagi yang lebih dahsyat. Rasulullah saw. menjelaskan, perang melawan hawa nafsu.”  Para sahabat terdiam, sadar betapa berat dan sulit melawan musuh di dalam diri sendiri. Selain sulit diidentifikasi, melawan musuh dalam selimut juga menuntut ketegasan dan ketegaran emosional karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap orang.

Dari prespektif ini, kata Gus Dur manusia itu ada dua macam: Pertama, orang–orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun. Mereka adalah pribadi-peribadi yang tenang dan damai. Dalam bahasa tasawuf disebut dengan an-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang), dan menjadi representisi bagi hadirnya spiritualitas, khalifatullah yang sebenarnya. Menurut Gus Dur dalam konteks cerita Mahabarata sosok jiwa yang tenang digambarkan seperti para Pandawa.

Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun. Mereka adalah pribadi-pribadi yang gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah. Dalam bahasa tasawuf disebut dengan an-nafsu al-lawwamah (jiwa yang gelisah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu. Dalam cerita Mahabarata digambarkan seperti sosok Kurawa.

Kedua kelompok ini hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang beragam. Mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik; dalam urusan pribadi hingga organisasi dan sebagainya.

Menurut Gus Dur pada kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun yang unik, kata Gus Dur. di Nusantara sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.


Hal ini terbukti setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, menurut KH. Wahid Hasyim kekuatan kelompok radikal (baik dari unsur Islam maupun Komunis-Sosialis) yang pada mulanya menang secara politik, dan berhasil medesak Bung Karno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI, justru setelah proklamasi dikumandangkan secara politik kelompok moderat menang atas kelompok radikal. Pos-pos pemerintahan banyak di isi oleh kelompok moderat. (Diulas dari buku Mengapa Saya Memilih NU dan buku Sekedar Mendahului Karya KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment