Nabi pernah bersabda
kepada para sahabatnya : “Raja’na min jihadil ashghar ila jihadil akbar”
(Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar). Mendengar pernyataan
tersebut, para sahabat sangat terkejut. Mereka bertanya-tanya, perang apa lagi
yang lebih dahsyat. Rasulullah saw. menjelaskan, perang melawan hawa nafsu.” Para sahabat terdiam, sadar betapa berat dan
sulit melawan musuh di dalam diri sendiri. Selain sulit diidentifikasi, melawan
musuh dalam selimut juga menuntut ketegasan dan ketegaran emosional karena ia
merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap orang.
Dari prespektif ini, kata Gus Dur manusia itu ada dua macam: Pertama, orang–orang yang
sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat kepada
siapapun. Mereka adalah pribadi-peribadi yang tenang dan damai. Dalam bahasa
tasawuf disebut dengan an-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang), dan
menjadi representisi bagi hadirnya spiritualitas, khalifatullah yang
sebenarnya. Menurut Gus Dur dalam konteks cerita Mahabarata sosok jiwa yang
tenang digambarkan seperti para Pandawa.
Kedua, mereka yang masih
dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi
siapapun. Mereka adalah pribadi-pribadi yang gelisah dan menjadi biang
kegelisahan sosial dan pembuat masalah. Dalam bahasa tasawuf disebut dengan an-nafsu
al-lawwamah (jiwa yang gelisah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu.
Dalam cerita Mahabarata digambarkan seperti sosok Kurawa.
Kedua kelompok ini
hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas
yang beragam. Mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; dalam bidang
pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik; dalam urusan pribadi hingga organisasi
dan sebagainya.
Menurut Gus Dur pada
kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang
resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti
pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun yang unik,
kata Gus Dur. di Nusantara sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang-ulang
sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai
luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.
Hal ini terbukti
setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, menurut KH. Wahid Hasyim kekuatan kelompok radikal (baik dari unsur Islam maupun Komunis-Sosialis) yang pada mulanya menang
secara politik, dan berhasil medesak Bung Karno dan Hatta untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan RI, justru setelah proklamasi dikumandangkan secara politik kelompok moderat menang atas kelompok radikal. Pos-pos pemerintahan
banyak di isi oleh kelompok moderat. (Diulas dari buku Mengapa Saya
Memilih NU dan buku Sekedar Mendahului Karya KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman
Wahid oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment