Menu

Amazon

Lazada

Friday 7 August 2015

WAHABI YANG MENG-NU-KAN DIRI


Arab Saudi dan kelompok Wahabi di Indonesia seharusnya bangga, salah satu alumni dari King Sa’ud, Universitas ternama di Makkah menjadi ketua Umum PBNU, ormas terbesar di Indonesia. Bukan malah menuduh Syiah atau Liberal apalagi menyesatkan atau mengkafirkan. KH. Said adalah sosok Wahabi Garis Lurus, yang ingin meluruskan ajaran Wahabi yang menyimpang dari yang diajarkan oleh Nabi. Tidak mudah alumni King Sa’ud bisa diterima oleh warga NU, dan juga tidak mudah alumni King Sa’ud yang mampu meng-nu-kan diri. Apalagi sampai menduduki jabatan tertinggi di organisasi tersebut. Ini sebuah prestasi yang harus dibanggakan. Bukan malah dijatuhkan. Apalagi dituduh yang macam-macam.


Kita berharap Wahabi di Indonesia atau di negeri asalnya bisa meniru jejak langkah KH. Said Aqil Siraj yang mampu merubah Wahabi menjadi moderat, suka tahlilan, istighotsahan, ziarah kubur, dan tidak suka mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham. Umat Islam Indonesia, terutama warga NU akan tasyakuran tujuh hari tujuh malam bila di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi tiap malam Jum’at diadakan tahlilan atau diba’an. (Oleh FT edu) 

5 comments:

  1. Apa to Wahabi itu? Yang menyimpang itu yang di Saudi atau di Indonesia? Waktu putra Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam meninggal kok ndak ada tahlilan sama yasinan ya? Kok ndak juga dijumpai 3 harian, 40 harian dst????

    Lha yang bener yang mana islamnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lha soalnya kamu saat itu ga diundang sih jadinya ga tahu...wkwkwk

      Delete
  2. heheheh....Islam yang baik islam yang menghormati terhadap kelompok lain, wahabi ama NU tidak berbeda, yang membedakan dalam sikap keberagamaannya,,,hihihiihh

    ReplyDelete
  3. MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA


    TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
    TANYA :
    Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
    JAWAB :
    Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
    KETERANGAN :
    Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
    “MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
    Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
    “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
    Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
    Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
    Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
    Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas.
    Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
    Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
    [Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni

    ReplyDelete
  4. hehehe,,,,maaf mas...saya dulu juga pernah mebahas hal itu masalah itu...keterangan itu juga ada di kita fatawa kubra karya Ibnu Hajar Al-Haitami...masalah itu tidak menjelaskan tentang tahlil, melainkan memberi makan atau menyediakan makanan kepada pentakjiah atau sedekah pada hari-hari kesatu hingga ketujuh, empat puluh, 1-100, dan 1000 hari....disamping itu rumusah itu sangat susah dipahami karena terlalu tekstual tidak dibahasakan secara sitematis....selanjutnya perlu ada pembedaan antara sedekah yang diyakini ketentuan waktunya dengan niat sedekah dalam pengertian umum yang tidak terikat waktu....jadi kasus tahlil memiliki beberapa aspek yang tidak hanya dilihat dari pemberian makan atau pentuan waktu kesatu sampai ketujuh....coba ada gak dalil dari hadis selain kulu bid'atin dolalah yang shorih bahwa budaya tahlil itu haram.....kalau hadis kulu bid'atin itu masih multi tafisir dan kami mengikuti penafsiran yang berbeda dengan penafsiran anda. Dan hadis kullu bid'atun kalau kita kencankan maknanya maka anda bermain FB juga bid'ah, anda memakai laptop atau hp juga bid'ah anda memakakarena itui ambulan sebagai sarana untuk menunaikan fardlu kifayah (yaitu tazhizul mauta) juga bid'ah karena ambulan budaya kafir....heheheh

    ReplyDelete