Gerakan Islam yang tidak birokratis sebenarnya
memiliki akar sejarah yang panjang dalam khazanah budaya kita. Namun, kali ini sekilas
akan kita putar penggalan kisah gerakan Islam yang tidak birokratis yang terekam
oleh kamera sejarah. Itung-itung ngajarin adek kita NU (yang mengaku dirinya) Garis
Lurus bagaimana cara menyerap kekuatan
NU di masa lampau untuk menjawab tantangan NU di masa yang akan datang,
hehehehe….Adek kita NU (yang mengaku dirinya) Garis Lurus ini kadang-kadang sikapnya
kurang pantas untuk ditiru (istilah pesantren akhlaknya rodi’) hehehe… karena suka
menjelek-jelekkan satu kyai dan mengunggul-unggulkan kyai lain. Padahal saya
yakin kyai yang bersangkutan tidak akan mau dibanding-bandingkan dengan kyai
lain. Perbedaan pendapat dalam dalam tubuh NU adalah suatu hal yang biasa dan
lumrah. Bagaimana dulu KH. Makhrus Aly Lirboyo dan KH. As’ad Allhumma
irhamhuma bersitegang dengan KH. Idham Khalid. Justru waktu itu Gus Dur mencoba
mendamaikan kedua kyai sepuh tersebut, bukan malah menjadi tukang kompor atau
tukang kipas sate, wkwkwkkw….Ok kita kembali ke TKP.
Dalam bukunya Membaca Sejarah
Nusantara, Gus Dur mengisahkan pertarungan antara Sultan Hadiwijaya (Raden
Mas Karebet atau Jaka Tingkir) di Pajang dan menantunya, Sutawijaya. Dalam pertempuran
ini yang keluar sebagai pemenang adalah Sutawijaya, kemudian dia bergelar Panembahan
Senopati Ing Alaga Sayyidin Panatagama, dan sekaligus sebagai pendiri
Dinasti Mataram yang kita kenal saat ini.
Kita gak usah kaget kalau raja-raja Jawa gelarnya
panjang dan maknanya serem-serem, seperti Mangku Bumi, Mangku Negoro, Paku Alam
dan lain-lain. Gelar yang panjang dan serem itu lah kemudian menyulut Pramoedya
Ananta Toer mengajukan sebuah kritik. Dalam Romannya yang berjudul Anak
Semua Bangsa Pram mengatakan : “Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Nenek
moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani
dunia dengan kehebatannya, yaitu kehebatan dalam kekosongan”.[1]
Setelah dikalahkan oleh menantunya,
Sultan Hadiwijaya mencari ilmu kanuragan produk baru agar dapat mengalahkan Sang
Menantu. Akhirnya dia memutuskan pergi ke rumah ibunya, Asta Tinggi, Sumenep
Madura.
Sebagai penganut tarekat Qodiriyah, kata
Gus Dur, Sultan Hadiwijaya dari pulau Madura memperoleh 40 macam ilmu kanuragan
produk paling mutakhir yang nanti akan diuji coba dengan sang menantu. Dalam
perjalanan kembali ke Pajang, ia menaiki perahu yang melaju di atas Sungai Solo.
Kisah ini kemudian diagendakan dalam sebuah tembang Jawa: Sigra Milir,
sanggethek sinangga bajul, kawandasa cacahipun”. Tembang ini merupakan manifestasi
budaya Jawa, yang dikenal hampir oleh setiap anak Jawa yang mengenal budaya
daerahnya, kecuali NU Garis Lurus yang ingin segala persoalan diselesaikan
dengan kitab Fatkhul Qarib, heheheheh….
Kisah Jaka Tingkir di atas, diakhiri oleh
kisah ketika ia mampir di pulau Pringgobayan. Kini, pulau itu bertaut dengan
daratan yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara Pucukrejo dan Paciran
di Kabupaten Lamongan. Di tempat itulah, Jaka Tingkir singgah untuk mengisi air
dan keperluan-keperluan lain, dalam perjalanan kembali dari Pulau Madura ke
Pajang dekat Demak.
Dalam persinggahan itu, ia tertidur dan
bermimpi. Dalam mimpinya sang guru datang dan menyarankan kalau dirinya tidak usah
meneruskan perjalanan ke Pajang, tapi tetap tinggal di pulau tersebut. Untuk
apa kembali ke Pajang, jika tujuannya untuk menuntut balas kepada Sutawijaya. Kalau
tujuannya untuk balas dendam berarti dirinya telah menjadi korban nafsu kekuasaan
belaka. Oleh sebab itu dia harus melakukan sesuatu yang baru, tapi bukan di
pusat kekuasaan, melainkan di tempat ia berada, yaitu Pringgobayan.
Nah di tempat itulah muncullah tradisi
baru, yaitu gerakan dalam bentuk organisasi masyarakat atau agama yang berada
di luar pusat pemerintahan yang bisa mengontrol dan mengkritik terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat.[2] Pola
hubungan yang semacam ini oleh Dr. Taufiq Abdullah disebut dengan hubungan
multi-kratonik.[3]
Gerakan keagamaan yang tidak tunduk
terhadap kepentingan birokrat, tidak serta merta kukuatan politiknya menjadi surut
atau habis, justru malah semakin besar jika perannya dalam melayani rakyat dimainkan
secara maksimal. Dalam salah satu ceramahnya Gus Dur mencontohkan sewaktu
pamannya, KH. Yusuf Hasyim tidak lagi terpilih menjadi anggota DPR, akhirnya
beliau memutuskan untuk pulang ke Tebuireng, dan fokus mengurus pesantren.
Apakah setelah pulang ke Tebuireng dan tidak lagi menjabat anggota DPR,
kekuatan politik KH. Yusuf Hasyim menjadi berkurang? Tidak, jawab Gus Dur. Justru
semakin kuat, karena pemerintah kalau ingin programnya sukses di masyarakat akan
minta dukungan ulama, akhirnya mereka rame-rame datang ke Teburireng.
Dari sinilah kemudian Gus Dur mengatakan perlu
dibedakan antara “kekuasaan politik” dan “kekuatan politik”. Memiliki kekuatan
politik tidak harus menjadi penguasa. Apakah anda ingin menjadi seorang “raja
tanpa makhota”, atau menjadi “raja bermahkota” tapi tidak punya masa?, tegas Gus
Dur dalam salah satu ceramahnya. Itulah salah satu alasan mengapa Gus Dur menginginkan
agar gerakan Islam (NU dan pesantren) tidak menjadi gerakan Islam yang birokratis,
yang tunduk pada kepentingan birokrat. (Diulas dari buku
Membaca Sejarah Nusantara karya KH. Abdurrahman Wahid, dan ceramah-ceramah Gus
Dur oleh FT edu).
[1].
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Lentera Dipantara, Jakarta, cet. 13,
th 2011, hal: ix-x
[2].
Bandingkan dengan pernyataan Gus Dur saat menerima Gelar Kanjeng Pangeran Aryo
(KPA) dari Kraton Surakarta. http://www.suaramerdeka.com/harian/0210/10/nas10.htm
[3].
KH. Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara, (LKiS, Yogyakarta,
cet. I, th. 2010, hal. 5-6
No comments:
Post a Comment