Menu

Amazon

Lazada

Tuesday 21 July 2015

ALASAN GUS DUR MERINDUKAN NU SEBAGAI KEKUATAN MASYARAKAT SIPIL


Gerakan Islam yang tidak birokratis sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang dalam khazanah budaya kita. Namun, kali ini sekilas akan kita putar penggalan kisah gerakan Islam yang tidak birokratis yang terekam oleh kamera sejarah. Itung-itung ngajarin adek kita NU (yang mengaku dirinya) Garis Lurus bagaimana cara  menyerap kekuatan NU di masa lampau untuk menjawab tantangan NU di masa yang akan datang, hehehehe….Adek kita NU (yang mengaku dirinya) Garis Lurus ini kadang-kadang sikapnya kurang pantas untuk ditiru (istilah pesantren akhlaknya rodi’) hehehe… karena suka menjelek-jelekkan satu kyai dan mengunggul-unggulkan kyai lain. Padahal saya yakin kyai yang bersangkutan tidak akan mau dibanding-bandingkan dengan kyai lain. Perbedaan pendapat dalam dalam tubuh NU adalah suatu hal yang biasa dan lumrah. Bagaimana dulu KH. Makhrus Aly Lirboyo dan KH. As’ad Allhumma irhamhuma bersitegang dengan KH. Idham Khalid. Justru waktu itu Gus Dur mencoba mendamaikan kedua kyai sepuh tersebut, bukan malah menjadi tukang kompor atau tukang kipas sate, wkwkwkkw….Ok kita kembali ke TKP.  

Dalam bukunya Membaca Sejarah Nusantara, Gus Dur mengisahkan pertarungan antara Sultan Hadiwijaya (Raden Mas Karebet atau Jaka Tingkir) di Pajang dan menantunya, Sutawijaya. Dalam pertempuran ini yang keluar sebagai pemenang adalah Sutawijaya, kemudian dia bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayyidin Panatagama, dan sekaligus sebagai pendiri Dinasti Mataram yang kita kenal saat ini.

Kita gak usah kaget kalau raja-raja Jawa gelarnya panjang dan maknanya serem-serem, seperti Mangku Bumi, Mangku Negoro, Paku Alam dan lain-lain. Gelar yang panjang dan serem itu lah kemudian menyulut Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah kritik. Dalam Romannya yang berjudul Anak Semua Bangsa Pram mengatakan : “Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Nenek moyang kita menggunakan namanya yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya, yaitu kehebatan dalam kekosongan”.[1]

Setelah dikalahkan oleh menantunya, Sultan Hadiwijaya mencari ilmu kanuragan produk baru agar dapat mengalahkan Sang Menantu. Akhirnya dia memutuskan pergi ke rumah ibunya, Asta Tinggi, Sumenep Madura.

Sebagai penganut tarekat Qodiriyah, kata Gus Dur, Sultan Hadiwijaya dari pulau Madura memperoleh 40 macam ilmu kanuragan produk paling mutakhir yang nanti akan diuji coba dengan sang menantu. Dalam perjalanan kembali ke Pajang, ia menaiki perahu yang melaju di atas Sungai Solo. Kisah ini kemudian diagendakan dalam sebuah tembang Jawa: Sigra Milir, sanggethek sinangga bajul, kawandasa cacahipun”. Tembang ini merupakan manifestasi budaya Jawa, yang dikenal hampir oleh setiap anak Jawa yang mengenal budaya daerahnya, kecuali NU Garis Lurus yang ingin segala persoalan diselesaikan dengan kitab Fatkhul Qarib, heheheheh….

Kisah Jaka Tingkir di atas, diakhiri oleh kisah ketika ia mampir di pulau Pringgobayan. Kini, pulau itu bertaut dengan daratan yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara Pucukrejo dan Paciran di Kabupaten Lamongan. Di tempat itulah, Jaka Tingkir singgah untuk mengisi air dan keperluan-keperluan lain, dalam perjalanan kembali dari Pulau Madura ke Pajang dekat Demak.

Dalam persinggahan itu, ia tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya sang guru datang dan menyarankan kalau dirinya tidak usah meneruskan perjalanan ke Pajang, tapi tetap tinggal di pulau tersebut. Untuk apa kembali ke Pajang, jika tujuannya untuk menuntut balas kepada Sutawijaya. Kalau tujuannya untuk balas dendam berarti dirinya telah menjadi korban nafsu kekuasaan belaka. Oleh sebab itu dia harus melakukan sesuatu yang baru, tapi bukan di pusat kekuasaan, melainkan di tempat ia berada, yaitu Pringgobayan.

Nah di tempat itulah muncullah tradisi baru, yaitu gerakan dalam bentuk organisasi masyarakat atau agama yang berada di luar pusat pemerintahan yang bisa mengontrol dan mengkritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah pusat.[2] Pola hubungan yang semacam ini oleh Dr. Taufiq Abdullah disebut dengan hubungan multi-kratonik.[3]

Gerakan keagamaan yang tidak tunduk terhadap kepentingan birokrat, tidak serta merta kukuatan politiknya menjadi surut atau habis, justru malah semakin besar jika perannya dalam melayani rakyat dimainkan secara maksimal. Dalam salah satu ceramahnya Gus Dur mencontohkan sewaktu pamannya, KH. Yusuf Hasyim tidak lagi terpilih menjadi anggota DPR, akhirnya beliau memutuskan untuk pulang ke Tebuireng, dan fokus mengurus pesantren. Apakah setelah pulang ke Tebuireng dan tidak lagi menjabat anggota DPR, kekuatan politik KH. Yusuf Hasyim menjadi berkurang? Tidak, jawab Gus Dur. Justru semakin kuat, karena pemerintah kalau ingin programnya sukses di masyarakat akan minta dukungan ulama, akhirnya mereka rame-rame datang ke Teburireng.

Dari sinilah kemudian Gus Dur mengatakan perlu dibedakan antara “kekuasaan politik” dan “kekuatan politik”. Memiliki kekuatan politik tidak harus menjadi penguasa. Apakah anda ingin menjadi seorang “raja tanpa makhota”, atau menjadi “raja bermahkota” tapi tidak punya masa?, tegas Gus Dur dalam salah satu ceramahnya. Itulah salah satu alasan mengapa Gus Dur menginginkan agar gerakan Islam (NU dan pesantren) tidak menjadi gerakan Islam yang birokratis, yang tunduk pada kepentingan birokrat. (Diulas dari buku Membaca Sejarah Nusantara karya KH. Abdurrahman Wahid, dan ceramah-ceramah Gus Dur oleh FT edu).




[1]. Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Lentera Dipantara, Jakarta, cet. 13, th 2011, hal: ix-x
[2]. Bandingkan dengan pernyataan Gus Dur saat menerima Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) dari Kraton Surakarta. http://www.suaramerdeka.com/harian/0210/10/nas10.htm
[3]. KH. Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara, (LKiS, Yogyakarta, cet. I, th. 2010, hal. 5-6

No comments:

Post a Comment