Menu

Amazon

Lazada

Monday 6 July 2015

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU USHUL FIQH MENURUT MADZHAB MUTAKALLIMIN


Ada dua aliran dalam masalah ruang lingkup ilmu ushul fiqh. Aliran pertama mengatakan bahwa Ilmu Ushul Fiqh membahas tentang dalil-dalil hukum yang bersifat umum, bukan spesifik. Tujuannya untuk memperoleh hukum fiqh yang bersifat praktis dan terapan, serta membahas bagaimana hukum fiqh digali dari sumbernya. Aliran pertama ini diikuti oleh mayoritas ulama ushul fiqh.

Aliran kedua mengatakan bahwa ruang lingkup ilmu ushul fiqh adalah dalil dan hukumnya sekaligus. Ulama yang berpendapat demikian adalah Sa’aduddin At-Taftazani, dan sebagian ulama ushul yang lain. Menurut pendapat ini ilmu ushul fiqh membahas sifat-sifat dari sebuah dalil, apakah tergolong dalil ‘am atau khas dan juga sekaligus membahas sifat-sifat hukum, apakah wajib, sunnah dan mubah.[1]

Menurut Al-Ghozali ruang lingkup ilmu ushul fiqh ada empat:
      -    Pembahasan tentang macam-macam hukum Islam
      -    Pembahasan tentang sumber hukum Islam
      -    Pembahasan tentang proses lahirnya sebuah produk hukum dari sumbernya.
      -    Pembahasan tentang Mujtahid

Al-Ghozali mengumpakan hukum seperti buah yang memiliki sifat dan bentuk, seperti wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh.

Sumber hukum diibaratkan seperti pohon. Menurut al-Ghazali sumber hukum Islam ada empat, yaitu al-Quran, hadis, ijma’ dan akal. Menurutnya ke empat sumber hukum inilah yang disepakati oleh ulama ushul fiqh, sedang istishab, istihsan, dan maslakhah mursalah masih diperdebatkan keabsahannya sebagai sumber hukum.

Menurut al-Ghazali akal sebagai sumber hukum tidak dapat menunjukkan terhadap hukum. Kata al-Ghazali fungsi akal hanya sebatas menunjukkan kefakuman hukum bila terdapat persoalan yang tidak ada keterangannya dalam al-quran, hadis, dan ijmak.

Al-Ghazali mencontohkan jika agama menetapkan jumlah salat dalam sehari semalam hanya lima waktu, berarti secara akal jumlah lebih dari lima waktu tidak dijelaskan oleh agama. Fungsi akal dalam proses pengambilan hukum hanya sebatas ini saja, kata al-Ghazali, yaitu menujukkan kefakuman bila tidak ada keterangan adalam teks agama.

Sedang porses lahirnya sebuah produk hukum oleh al-Ghazali diumpakan seperti proses munculnya buah dari pahon. Menurut al-Ghazali ada empat cara sebuah hukum diproses dari sumbernya:
a.  Dari bentuk kata dan redaksinya. Apakah dalil hukum memakai kata yang maknanya tergolong umum atau khusus. Apakah redaksi dalil hukum berbentuk kalimat perintah atau larangan. Contoh bentuk kata yang maknanya umum :

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا " (هود : ٣)

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya”.

Ayat ini mengandung kata yang tergolong maknanya umum, yaitu kata dabbah. Karena sifatnya umum, maka kata dabbah akan mencakup seluruh makna yang dikandungnya. Berarti seluruh hewan yang melata di muka bumi ditanggung rezekinya oleh Allah. Contoh lain:

إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا. (الحجرات :١٣)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.

Kata ganti “kum” atau orang kedua bentuk jamak pada ayat ini maknanya mencakup pada semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian makna ayat ini adalah semua manusia baik laki-laki, maupun perempuan diciptakan oleh Allah dan dijadikan bersuku-suku agar saling mengenal.


Contoh kata yang maknanya khusus, seperti :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات: ١٣)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu”.

Potongan ayat ini memiliki makna khusus. Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang paling mulya kedudukannya di sisi Allah. Dan manusia yang tidak bertakwa tidak tercakup dalam potongan ayat ini.


Contoh kalimat perintah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ، وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء : ٥٩)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Ayat ini redaksinya berupa kalimat perintah, yaitu perintah untuk taat kepada Allah, rasul, dan pemimpin. Dalam kaidah ushul fiqh setiap perintah pada asalnya menunjukkan hukum wajib. Berarti ta’at kepada Allah, rasul dan ulil amri berdasarkan ayat ini hukumnya adalah wajib.

Contoh kalimat larangan :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ (البقرة: ٢٢١)

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. 

Ayat ini redaksinya berupa kalimat larangan. Menurut kaidah ushul fiqh setiap larangan pada asalnya menunjukkan hukum haram. Berarti berdasarkan ayat ini menikahi perempuan musyrik hukumnya adalah haram.

b.  Melalui mafhum (makna tersirat). Apakah mafhum muwafaqah, awlawi atau mukhalafah.

Contoh mafhum muwafaqah:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا  وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء: ١٠)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

Secara tekstual ayat ini hanya menjelaskan larangan memakan harta anak yatim. Namun secara tersirat merusak atau membakarnya juga dilarang karena antara memakan dan merusak memiliki konsekwensi yang sama, yaitu lenyapnya harta anak yatim. Pemaknaan yang seperti ini disebut dengan mafhum muwafaqoh.

Contoh mafhum awlawi:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا (الإسراء:٢٣)

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”.

Ayat ini secara tekstual melarangan berkata ah kepada kedua orang tua. Lalu bagaimana bila memukul keduanya? Jika berkata ah saja dilarang apalagi sampai memukulnya. Pemaknaan yang semacam ini disebut dengan mafhum awlawi. Sebab dampak negative dari tindakan memukul yang tidak disebutkan di dalam teks lebih berat dibandingkan dengan dampak  negatif dari tindakan yang disebutkan secara tekstual, yaitu berkata ah.

Contoh mafhum mukhalafah :

إنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (الحجرات٦)

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah”.

Ayat ini secara tekstual menjelaskan bila ada orang fasik membawa berita maka kita diperintahkan untuk mengklarifikasi berita tersebut. Berarti bila yang membawa berita adalah orang adil, maka kita tidak perintahkan untuk mengklarifikasinya. Memahami ayat dengan makna kebalikannya ini disebut dengan mafhum mukhalafah.

c.    Dengan konsekwensi makna dari sebuah teks


«لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ[2]»

“Tidak sah puasanya bagi orang yang tidak berniat puasa di malam hari”.

Hadis ini secara tekstual menunjukkan hilangnya puasa. Makna semacam ini tidak dapat dimengerti sebab puasa tidak bisa hilang karena tidak melakukan niat dimalam hari. Berarti hadis ini, adalah kesempurnaan atau keabsahan puasa menjadi hilang karena tidak melakukan niat di malam hari.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ (النساء: ٢٣)

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu”.

Maksud ayat ini bukan ibu kandung sebagai pribadi yang dilarang, melainkan tindakan menikahi ibu kandung yang dilarang.

d.    Konsekwensi makna logis dari sebuah pemahaman

«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الخَمْرَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ المَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ، وَثَمَنَهُ[3]»

“Sesungguhnya Allah melarang khomer dan uang hasil penjualannya, dan melarang bangkai serta uang hasil penjualannya, melarang babi serta uang hasil penjualannya”.

Arak dilarang oleh agama karena memabukkan. Dari hadis ini kemudian dapat dapat dikembangkan cakupan hukumnya, bahwa segala sesuatu yang memabukkan juga dilarang oleh agama berdasarkan hadis ini.[4] (Diulas dari kitab Al-Muhadzdzab fii Ushulil Fiqh Al-Muqarrin karya Abdul Karim bin Ali dan Kitab Al-Mustashfa Karya Al-Ghazali oleh FT edu).




[1]. Al-Muhadzab fii Ushulil Fiqhi Al-Muqarrin, hal: 38
[2]. Musnad Imam Ahmad, jilid : 1, hal : 69
[3]. Sunan Abu Dawud, Jilid 3, hal: 279
[4]. Al-Mustashfa, jilid: I, hal : 7

No comments:

Post a Comment