Ada dua aliran
dalam masalah ruang lingkup ilmu ushul fiqh. Aliran pertama mengatakan bahwa Ilmu
Ushul Fiqh membahas tentang dalil-dalil hukum yang bersifat umum, bukan
spesifik. Tujuannya untuk memperoleh hukum fiqh yang bersifat praktis dan
terapan, serta membahas bagaimana hukum fiqh digali dari sumbernya. Aliran
pertama ini diikuti oleh mayoritas ulama ushul fiqh.
Aliran kedua mengatakan bahwa
ruang lingkup ilmu ushul fiqh adalah dalil dan hukumnya sekaligus. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Sa’aduddin At-Taftazani, dan sebagian ulama ushul
yang lain. Menurut pendapat ini ilmu ushul fiqh membahas sifat-sifat dari sebuah
dalil, apakah tergolong dalil ‘am atau khas dan juga sekaligus membahas
sifat-sifat hukum, apakah wajib, sunnah dan mubah.[1]
Menurut Al-Ghozali ruang
lingkup ilmu ushul fiqh ada empat:
- Pembahasan tentang
macam-macam hukum Islam
- Pembahasan tentang sumber
hukum Islam
- Pembahasan tentang proses
lahirnya sebuah produk hukum dari sumbernya.
- Pembahasan tentang Mujtahid
Al-Ghozali mengumpakan hukum
seperti buah yang memiliki sifat dan bentuk, seperti wajib, sunah, mubah,
haram, dan makruh.
Sumber hukum diibaratkan
seperti pohon. Menurut al-Ghazali sumber hukum Islam ada empat, yaitu al-Quran,
hadis, ijma’ dan akal. Menurutnya ke empat sumber hukum inilah yang disepakati
oleh ulama ushul fiqh, sedang istishab, istihsan, dan maslakhah
mursalah masih diperdebatkan keabsahannya sebagai sumber hukum.
Menurut al-Ghazali akal
sebagai sumber hukum tidak dapat menunjukkan terhadap hukum. Kata al-Ghazali fungsi
akal hanya sebatas menunjukkan kefakuman hukum bila terdapat persoalan yang tidak ada keterangannya dalam al-quran, hadis, dan ijmak.
Al-Ghazali mencontohkan jika
agama menetapkan jumlah salat dalam sehari semalam hanya lima waktu, berarti secara
akal jumlah lebih dari lima waktu tidak dijelaskan oleh agama. Fungsi akal
dalam proses pengambilan hukum hanya sebatas ini saja, kata al-Ghazali, yaitu
menujukkan kefakuman bila tidak ada keterangan adalam teks agama.
Sedang porses lahirnya sebuah
produk hukum oleh al-Ghazali diumpakan seperti proses munculnya buah dari
pahon. Menurut al-Ghazali ada empat cara sebuah hukum diproses dari sumbernya:
a. Dari bentuk kata dan redaksinya. Apakah
dalil hukum memakai kata yang maknanya tergolong umum atau khusus. Apakah redaksi
dalil hukum berbentuk kalimat perintah atau larangan. Contoh bentuk kata yang
maknanya umum :
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا " (هود : ٣)
“Dan tidak satu pun makhluk
bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya”.
Ayat ini mengandung kata yang
tergolong maknanya umum, yaitu kata dabbah. Karena sifatnya umum, maka kata
dabbah akan mencakup seluruh makna yang dikandungnya. Berarti seluruh hewan
yang melata di muka bumi ditanggung rezekinya oleh Allah. Contoh lain:
إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا. (الحجرات :١٣)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal”.
Kata ganti “kum” atau
orang kedua bentuk jamak pada ayat ini maknanya mencakup pada semua manusia,
baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian makna ayat ini adalah semua
manusia baik laki-laki, maupun perempuan diciptakan oleh Allah dan dijadikan
bersuku-suku agar saling mengenal.
Contoh kata yang maknanya
khusus, seperti :
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات: ١٣)
“Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu”.
Potongan ayat ini memiliki makna
khusus. Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang paling mulya kedudukannya di
sisi Allah. Dan manusia yang tidak bertakwa tidak tercakup dalam potongan ayat
ini.
Contoh kalimat perintah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ، وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ (النساء : ٥٩)
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu”.
Ayat ini redaksinya berupa
kalimat perintah, yaitu perintah untuk taat kepada Allah, rasul, dan pemimpin.
Dalam kaidah ushul fiqh setiap perintah pada asalnya menunjukkan hukum wajib.
Berarti ta’at kepada Allah, rasul dan ulil amri berdasarkan ayat ini hukumnya
adalah wajib.
Contoh kalimat larangan :
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ (البقرة: ٢٢١)
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman”.
Ayat ini
redaksinya berupa kalimat larangan. Menurut kaidah ushul fiqh setiap larangan
pada asalnya menunjukkan hukum haram. Berarti berdasarkan ayat ini menikahi
perempuan musyrik hukumnya adalah haram.
b. Melalui mafhum
(makna tersirat). Apakah mafhum muwafaqah, awlawi atau mukhalafah.
Contoh mafhum
muwafaqah:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء: ١٠)
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”
Secara tekstual ayat ini hanya menjelaskan larangan memakan harta anak
yatim. Namun secara tersirat merusak atau membakarnya juga dilarang karena
antara memakan dan merusak memiliki konsekwensi yang sama, yaitu lenyapnya
harta anak yatim. Pemaknaan yang seperti ini disebut dengan mafhum
muwafaqoh.
Contoh mafhum awlawi:
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا (الإسراء:٢٣)
“Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”.
Ayat ini secara
tekstual melarangan berkata ah kepada kedua orang tua. Lalu bagaimana bila
memukul keduanya? Jika berkata ah saja dilarang apalagi sampai memukulnya. Pemaknaan
yang semacam ini disebut dengan mafhum awlawi. Sebab dampak negative dari tindakan
memukul yang tidak disebutkan di dalam teks lebih berat dibandingkan dengan dampak
negatif dari tindakan yang disebutkan
secara tekstual, yaitu berkata ah.
Contoh mafhum mukhalafah
:
إنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (الحجرات: ٦)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah”.
Ayat ini secara tekstual
menjelaskan bila ada orang fasik membawa berita maka kita diperintahkan untuk
mengklarifikasi berita tersebut. Berarti bila yang membawa berita adalah orang
adil, maka kita tidak perintahkan untuk mengklarifikasinya. Memahami ayat
dengan makna kebalikannya ini disebut dengan mafhum mukhalafah.
c.
Dengan konsekwensi makna dari
sebuah teks
“Tidak sah puasanya bagi
orang yang tidak berniat puasa di malam hari”.
Hadis ini secara tekstual
menunjukkan hilangnya puasa. Makna semacam ini tidak dapat dimengerti sebab
puasa tidak bisa hilang karena tidak melakukan niat dimalam hari. Berarti hadis
ini, adalah kesempurnaan atau keabsahan puasa menjadi hilang karena tidak melakukan
niat di malam hari.
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ (النساء: ٢٣)
“Dan janganlah kamu menikahi
perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu”.
Maksud ayat ini bukan ibu kandung
sebagai pribadi yang dilarang, melainkan tindakan menikahi ibu kandung yang dilarang.
d. Konsekwensi makna logis dari
sebuah pemahaman
«إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الخَمْرَ وَثَمَنَهَا،
وَحَرَّمَ المَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ، وَثَمَنَهُ[3]»
“Sesungguhnya Allah melarang khomer
dan uang hasil penjualannya, dan melarang bangkai serta uang hasil
penjualannya, melarang babi serta uang hasil penjualannya”.
Arak dilarang oleh agama karena
memabukkan. Dari hadis ini kemudian dapat dapat dikembangkan cakupan hukumnya,
bahwa segala sesuatu yang memabukkan juga dilarang oleh agama berdasarkan hadis
ini.[4] (Diulas
dari kitab Al-Muhadzdzab fii Ushulil Fiqh Al-Muqarrin karya Abdul Karim bin Ali dan Kitab Al-Mustashfa Karya
Al-Ghazali oleh FT edu).
No comments:
Post a Comment