Menu

Amazon

Lazada

Friday 17 July 2015

MEMBACA KERICUHAN IDUL FITRI DI PAPUA DARI POJOK CIGANJUR


Jumat pagi kemaren, waktu setempat, salat Idul Fitri di Kurabaga, Ibu kota Tolikara, Papua diwarnai kericuhan karena ada aksi pelemparan oleh sejumlah oknum ke lokasi ibadah.

Menurut Kementerian Agama, sebagaimana dikutip oleh ANATARA News, saat imam salat Ied sedang mengumandangkan takbir pertama tiba-tiba sejumlah orang tak dikenal melempari jama’ah sambil berteriak “bubarkan”. Akhirnya para jamaah salat ied memutuskan membubarkan diri.

Melihat kericuhan tersebut, aparat keamanan dari kesatuan Brimob setempat dan Yonif Infantri 756 yang mengamankan shalat Idul Fitri itu segera mengeluarkan tembakan peringatan guna membubarkan massa yang melempari umat.

Demikian juga Kementerian Agama di Jakarta langsung merespon kericuhan di Papua yang menyebabkan satu masjid di Karubaga, ibu kota Tolikara, Papua, terbakar.

Kalau kita mencoba membaca fenomena di atas, kericuhan di Papua masih menyimpan teka-teki. Bisa jadi kericuhan tersebut adalah sebuah peristiwa yang diciptakan oleh sekelompok orang agar orang lain yang menonton peristiwa itu mengambil kesimpulan dari makna lahirnya. Lalu apa makna lahir dari peristiwa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah seolah-oleh telah terjadi kericuhan yang bernuansa agama di Papua.

Padahal makna lahir itu bukan yang diinginkan oleh si pembuat kericuhan. Makna sesungguhya masih tersembunyi dalam benak pikiran si pembuat kericuhan. Oleh sebab itu butuh kajian mendalam untuk mengungkap makna yang sesungguhnya dari kericuhan tersebut.

Bila kita sebagai penonton peristiwa di atas tergolong masyarakat yang mudah tersulut emosinya, maka kita akan terjebak dalam dunia seolah-olah yang diciptakan oleh si pembuat pembuat kericuhan.

Penonton peristiwa yang mudah tersulut emosinya oleh Ibnu Khaldun disebut dengan tukang kutip. Mereka hanya mengutip peristiwa yang telah terjadi di masa lampau atau peristiwa yang sedang terjadi, tanpa mempertimbangkan watak sosial, budaya, dan bangunan politik yang mendasari sebuah daerah di mana kericuhan itu terjadi.

Secara sosiologis kalau kita Ibnu Khaldun untuk membaca peristiwa di atas, maka dia akan mengajukan lima poin yang harus dipertimbangkan agar kita mampu memahami makna yang utuh dari peritiwa Papua:
1.    Faktor budaya yang melandasi masyarakat Tolikara dan Papua pada umumnya.
2.    Sistem politik yang mendasari masyarakat Tolikara. Kelompok kepentingan apa yang saja yang ada di daerah tersebut harus lah teridentifikasi.
3.    Karakter budaya masyarakat Tolikara dan Papua umumnya.
4.    Kondisi sosial masyarakat yang ada di Tolikara. Bagaimana hubungan antara individu dengan individu lain? Bagaimana hubungan antara satu kelompok agama dengan agama lain?
5.    Peristiwa yang terjadi saat ini harus dianalogikan dengan peristiwa sebelumnya, bila ada.

Bila kelima hal di atas sudah dilakukan, maka kata Ibnu Khaldun kita tidak akan gagal dalam memaknai sebuah peristiwa. Makna sesungguhnya yang bersembunyi di balik kericuhan akan segara terungkap.

Sepanjang sejarah hampir tidak ada peristiwa yang menampilkan maknanya secara jujur, kecuali al-Quran dan hadis…(wah kayak wahabi dong,hehehe) itu pun kita masih tersekat oleh keterjarakan waktu yang sangat panjang, sehingga untuk memahaminya butuh reverensi yang tidak tunggal, dan pengetahuan yang beragam. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment