Jumat
pagi kemaren, waktu setempat, salat Idul Fitri di Kurabaga, Ibu kota Tolikara,
Papua diwarnai kericuhan karena ada aksi pelemparan oleh sejumlah oknum ke
lokasi ibadah.
Menurut
Kementerian Agama, sebagaimana dikutip oleh ANATARA News, saat imam salat Ied
sedang mengumandangkan takbir pertama tiba-tiba sejumlah orang tak dikenal
melempari jama’ah sambil berteriak “bubarkan”. Akhirnya para jamaah salat ied
memutuskan membubarkan diri.
Melihat
kericuhan tersebut, aparat keamanan dari kesatuan Brimob setempat dan Yonif
Infantri 756 yang mengamankan shalat Idul Fitri itu segera mengeluarkan
tembakan peringatan guna membubarkan massa yang melempari umat.
Demikian
juga Kementerian Agama di Jakarta langsung merespon kericuhan di Papua yang
menyebabkan satu masjid di Karubaga, ibu kota Tolikara, Papua, terbakar.
Kalau
kita mencoba membaca fenomena di atas, kericuhan di Papua masih menyimpan
teka-teki. Bisa jadi kericuhan tersebut adalah sebuah peristiwa yang diciptakan
oleh sekelompok orang agar orang lain yang menonton peristiwa itu mengambil
kesimpulan dari makna lahirnya. Lalu apa makna lahir dari peristiwa itu? Tidak
lain dan tidak bukan adalah seolah-oleh telah terjadi kericuhan yang bernuansa
agama di Papua.
Padahal
makna lahir itu bukan yang diinginkan oleh si pembuat kericuhan. Makna
sesungguhya masih tersembunyi dalam benak pikiran si pembuat kericuhan. Oleh
sebab itu butuh kajian mendalam untuk mengungkap makna yang sesungguhnya dari
kericuhan tersebut.
Bila
kita sebagai penonton peristiwa di atas tergolong masyarakat yang mudah
tersulut emosinya, maka kita akan terjebak dalam dunia seolah-olah yang
diciptakan oleh si pembuat pembuat kericuhan.
Penonton
peristiwa yang mudah tersulut emosinya oleh Ibnu Khaldun disebut dengan tukang
kutip. Mereka hanya mengutip peristiwa yang telah terjadi di masa lampau atau
peristiwa yang sedang terjadi, tanpa mempertimbangkan watak sosial, budaya, dan
bangunan politik yang mendasari sebuah daerah di mana kericuhan itu terjadi.
Secara
sosiologis kalau kita Ibnu Khaldun untuk membaca peristiwa di atas, maka dia
akan mengajukan lima poin yang harus dipertimbangkan agar kita mampu memahami
makna yang utuh dari peritiwa Papua:
1. Faktor
budaya yang melandasi masyarakat Tolikara dan Papua pada umumnya.
2. Sistem
politik yang mendasari masyarakat Tolikara. Kelompok kepentingan apa yang saja
yang ada di daerah tersebut harus lah teridentifikasi.
3. Karakter
budaya masyarakat Tolikara dan Papua umumnya.
4. Kondisi
sosial masyarakat yang ada di Tolikara. Bagaimana hubungan antara individu
dengan individu lain? Bagaimana hubungan antara satu kelompok agama dengan
agama lain?
5. Peristiwa
yang terjadi saat ini harus dianalogikan dengan peristiwa sebelumnya, bila ada.
Bila
kelima hal di atas sudah dilakukan, maka kata Ibnu Khaldun kita tidak akan
gagal dalam memaknai sebuah peristiwa. Makna sesungguhnya yang bersembunyi di
balik kericuhan akan segara terungkap.
Sepanjang
sejarah hampir tidak ada peristiwa yang menampilkan maknanya secara jujur,
kecuali al-Quran dan hadis…(wah kayak wahabi dong,hehehe) itu pun kita masih
tersekat oleh keterjarakan waktu yang sangat panjang, sehingga untuk
memahaminya butuh reverensi yang tidak tunggal, dan pengetahuan yang beragam. (Oleh
FT edu)
No comments:
Post a Comment