Menurut Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm,
hukum wajib bersuci (thaharah) di dasarkan pada firman Allah yang
berbunyi :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:٦)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa alat yang
dipakai untuk membasuh pada ayat di atas adalah air. Hal ini sangat masuk akal,
kata Asy-Syafi'i, karena air adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah dari
bahan yang manusia tidak ikut berperan sama sekali di dalamnya. Berbicara soal air
pengertiannya menjadi luas. Bisa saja yang dimaksud adalah air sumur, mata air
di pegunungan, air hujan, air sungai, atau air laut. Menurut Imam Syafi’i air di
atas tergolong air yang suci mensucikan.
Menurut Imam Syafi’i setiap air itu suci,
baik air laut atau yang lainnya. Ada sebuah hadis Nabi yang maknanya mirip
dengan makna literal al-Quran yang menjelaskan kesucian air laut, namun dalam sanadnya
terdapat perawi yang tidak dikenal. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah yang berbunyi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ
النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا
نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا
أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Dari Abu Hurairah berkata : “Seorang laki
bertanya kepada Nabi”. Dia berkata : “Wahai Rasulullah kami naik perahu, dan
kami hanya membawa air yang sedikit. Bila kami berwudlu dengan air tersebut,
maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut”. Nabi menjawab
: “Air laut adalah suci mensucikan dan hewannya halal untuk dimakan”.
Ada hadis lain yang juga diriwayatkan
dari Abu Hurairah yang menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ
الْبَحْرُ فَلَا طَهَّرَهُ اللَّهُ .
Dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w
bersabda : “Barang siapa yang tidak mensucikan terhadap laut, maka Allah tidak
mensucikan terhadap orang tersebut”.
Berdasarkan kedua hadis di atas kemudian
Imam Sayfi’i merumuskan bahwa “setiap air adalah suci selama tidak kecampuran
najis, dan tidak ada kesucian kecuali di dalam air atau debu, baik air tersebut
dingin seperti salju atau yang didinginkan, baik air itu dipanaskan atau tidak
dipanaskan. Sebab, menurut Imam Asy-Syafi’i air dapat mensucikan api, sedang
api tidak dapat menajiskan air.
Pendapat Imam Syafi’i di atas di dasarkan
pada sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwasanya Umar bin
Khattab pernah memanaskan air, kemudian beliau mandi dengan air tersebut.
Imam Syafi'i sendiri mengatakan: “saya
tidak memakruhkan air yang dipanaskan dengan matahari, kecuali karena
pertimbangan kesehatan.
Pendapat Asy-Syafi’i tersebut di dasarkan
pada sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwasanya sahabat Umar tidak suka
berwudlu pakai air yang dipanaskan dengan matahari (musyammas), dan
beliau berkata : “Air yang dipanaskan dengan sinar matahari akan meyebabkan
penyakit barosh (belang).
Menurut Asy-Syafi'i air akan selalu suci
dan tidak ada yang dapat membuatnya najis kecuali bila kecampuran najis.
Matahari dan api bukan sesuatu yang najis. Barang najis adalah sesuatu yang
dilarang oleh agama.
Sedangkan air yang diperas dari pepohonan,
bunga mawar, atau yang lainnya bukan termasuk air yang suci mensucikan. Air
semacam itu dalam pandangan agama sebenarnya tidak disebut sebagai air karena
namanya harus disandarkan kepada sesuatu yang lain seperti air mawar, air pohon,
air buah dan lain-lain.
Air Najis dan Air tidak najis
Imam Syafi'i membagi air menjadi dua
macam, yaitu air yang mengalir dan air yang tidak mengalir. Air yang mengalir
bila kejatuhan bangkai, darah, atau najis memiliki beberapa konsekwensi hukum.
Bila air yang mengalir terdapat pada
suatu tempat yang luas, maka yang najis adalah air yang berada di sekitar
bangkai atau kotoran itu saja. Namun bila air yang berada di sekitar bangkai
itu jumlahnya kurang dari lima qirab, hukumnya najis. Sedangkan bila
jumlahnya lebih dari lima qirab(dua qulah), hukumnya suci kecuali bila
sifat-sifatnya berubah.
Bila air yang berada di sekitar najis itu
mengalir, maka bau, rasa, dan warna najis tidak boleh terdapat pada air
tersebut. Bila air yang berbau karena tercampur bangkai itu mengalir, maka
seseorang harus berwudlu dengan arus air yang berada sebelumnya karena lokasi air
yang terkena najis itu bukan menjadi tempat bagi arus sebelumnya. Serta arus air
yang berada sebelumnya tidak berbaur dengan najis.
Bila air yang mengalir yang terkena
bangkai itu jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari lima qirab (dua qulah),
kemudian orang berwudu di sekitar bangkai tersebut, maka wudlunya tidak sah,
karena air tersebut hukumnya sama dengan air yang diam. Dia harus berwudlu
dengan air yang agak jauh dari bangkai itu.
Dalam masalah air yang mengalir menurut akal
setiap arus yang telah lewat, bukan arus yang baru datang, dan antara arus yang
telah telah lewat dengan arus sebelumnya bukan suatu kesatuan yang saling
menyatu. Bila air yang tidak boleh dipakai bersuci itu posisinya sebagai arus yang
membawa najis maka air tersebut adalah najis.
Bila air yang mengalir itu jumlahnya sedikit,
lalu ada najis pada lokasi tertentu, kemudian air tersebut mengalir, maka sisa air
yang mengalir itu hukumnya najis bila keduanya dikumpulkan sebagai arus yang membawa
najis. Namun Imam Asy-Syafi’i menegaskan bahwa arus yang telah lewat bukan bagian
dari arus sebelumnya, dan juga bukan satu-kesatuan. Hal ini berbeda dengan air
yang diam, masing-masing bagianya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Imam Syafi’i mengatakan bila air yang
mengalir itu sedikit atau banyak, kemudian terkena janis sehingga bau, rasa,
dan warnanya berubah, maka ada beberapa konsekwensi hukum dalam hal ini.
Bila arus air tersebut bertemu dengan arus
yang berubah sebab najis, kemudian arus itu ikut berubah sifatnya, lalu disusul
dengan arus lain yang tidak berubah sifatnya, maka arus yang tidak berubah
hukumnya suci, sedangkan arus yang berubah sifatnya hukumnya najis.
Bila dilokasi air yang mengalir terdapat
tempat yang posisinya rendah, kemudian air berdiam di tempat itu, dan jalur alirannya
terputus dengan sumbernya, kemudian air yang mendiami tempat yang rendah
kejatuhan najis, maka air tersebut hukumnya najis karena hukumnya sama dengan
air diam yang kejatuhan najis. Demikian halnya bila ada air yang mengalir ke
tempat itu yang rendah itu namun jumlahnya tidak mencapai lima qirab (dua
qulah), dan air yang diam itu tidak ikut mengalir bersamanya.
Bila pada saluran air yang mengalir ada
tempat yang rendah, kemudian ada najis jatuh, dan hanyut bersama dengan air, maka
air tersebut tidak najis kecuali air yang hanyut bersama dengan najis. Bila ada
air mengalir ke suatu tempat yang rendah, kemudian berhenti di situ, maka air
tersebut hukumnya sama dengan air yang diam. (Diulas dari Kitab Al-Umm
oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment