Menu

Amazon

Lazada

Saturday 11 July 2015

THAHAROH MENURUT MADZHAB SYAFI'I



Menurut Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, hukum wajib bersuci (thaharah) di dasarkan pada firman Allah yang berbunyi :

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:٦)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa alat yang dipakai untuk membasuh pada ayat di atas adalah air. Hal ini sangat masuk akal, kata Asy-Syafi'i, karena air adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah dari bahan yang manusia tidak ikut berperan sama sekali di dalamnya. Berbicara soal air pengertiannya menjadi luas. Bisa saja yang dimaksud adalah air sumur, mata air di pegunungan, air hujan, air sungai, atau air laut. Menurut Imam Syafi’i air di atas tergolong air yang suci mensucikan.

Menurut Imam Syafi’i setiap air itu suci, baik air laut atau yang lainnya. Ada sebuah hadis Nabi yang maknanya mirip dengan makna literal al-Quran yang menjelaskan kesucian air laut, namun dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang berbunyi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يَقُولُ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَمَعَنَا الْقَلِيلُ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Dari Abu Hurairah berkata : “Seorang laki bertanya kepada Nabi”. Dia berkata : “Wahai Rasulullah kami naik perahu, dan kami hanya membawa air yang sedikit. Bila kami berwudlu dengan air tersebut, maka kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut”. Nabi menjawab : “Air laut adalah suci mensucikan dan hewannya halal untuk dimakan”.

Ada hadis lain yang juga diriwayatkan dari Abu Hurairah yang menyatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ «مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ الْبَحْرُ فَلَا طَهَّرَهُ اللَّهُ .
Dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w bersabda : “Barang siapa yang tidak mensucikan terhadap laut, maka Allah tidak mensucikan terhadap orang tersebut”.

Berdasarkan kedua hadis di atas kemudian Imam Sayfi’i merumuskan bahwa “setiap air adalah suci selama tidak kecampuran najis, dan tidak ada kesucian kecuali di dalam air atau debu, baik air tersebut dingin seperti salju atau yang didinginkan, baik air itu dipanaskan atau tidak dipanaskan. Sebab, menurut Imam Asy-Syafi’i air dapat mensucikan api, sedang api tidak dapat menajiskan air.

Pendapat Imam Syafi’i di atas di dasarkan pada sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwasanya Umar bin Khattab pernah memanaskan air, kemudian beliau mandi dengan air tersebut.

Imam Syafi'i sendiri mengatakan: “saya tidak memakruhkan air yang dipanaskan dengan matahari, kecuali karena pertimbangan kesehatan.

Pendapat Asy-Syafi’i tersebut di dasarkan pada sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah bahwasanya sahabat Umar tidak suka berwudlu pakai air yang dipanaskan dengan matahari (musyammas), dan beliau berkata : “Air yang dipanaskan dengan sinar matahari akan meyebabkan penyakit barosh (belang).

Menurut Asy-Syafi'i air akan selalu suci dan tidak ada yang dapat membuatnya najis kecuali bila kecampuran najis. Matahari dan api bukan sesuatu yang najis. Barang najis adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.

Sedangkan air yang diperas dari pepohonan, bunga mawar, atau yang lainnya bukan termasuk air yang suci mensucikan. Air semacam itu dalam pandangan agama sebenarnya tidak disebut sebagai air karena namanya harus disandarkan kepada sesuatu yang lain seperti air mawar, air pohon, air buah dan lain-lain.


Air Najis dan Air tidak najis
Imam Syafi'i membagi air menjadi dua macam, yaitu air yang mengalir dan air yang tidak mengalir. Air yang mengalir bila kejatuhan bangkai, darah, atau najis memiliki beberapa konsekwensi hukum.

Bila air yang mengalir terdapat pada suatu tempat yang luas, maka yang najis adalah air yang berada di sekitar bangkai atau kotoran itu saja. Namun bila air yang berada di sekitar bangkai itu jumlahnya kurang dari lima qirab, hukumnya najis. Sedangkan bila jumlahnya lebih dari lima qirab(dua qulah), hukumnya suci kecuali bila sifat-sifatnya berubah.

Bila air yang berada di sekitar najis itu mengalir, maka bau, rasa, dan warna najis tidak boleh terdapat pada air tersebut. Bila air yang berbau karena tercampur bangkai itu mengalir, maka seseorang harus berwudlu dengan arus air yang berada sebelumnya karena lokasi air yang terkena najis itu bukan menjadi tempat bagi arus sebelumnya. Serta arus air yang berada sebelumnya tidak berbaur dengan najis.

Bila air yang mengalir yang terkena bangkai itu jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari lima qirab (dua qulah), kemudian orang berwudu di sekitar bangkai tersebut, maka wudlunya tidak sah, karena air tersebut hukumnya sama dengan air yang diam. Dia harus berwudlu dengan air yang agak jauh dari bangkai itu.

Dalam masalah air yang mengalir menurut akal setiap arus yang telah lewat, bukan arus yang baru datang, dan antara arus yang telah telah lewat dengan arus sebelumnya bukan suatu kesatuan yang saling menyatu. Bila air yang tidak boleh dipakai bersuci itu posisinya sebagai arus yang membawa najis maka air tersebut adalah najis.

Bila air yang mengalir itu jumlahnya sedikit, lalu ada najis pada lokasi tertentu, kemudian air tersebut mengalir, maka sisa air yang mengalir itu hukumnya najis bila keduanya dikumpulkan sebagai arus yang membawa najis. Namun Imam Asy-Syafi’i menegaskan bahwa arus yang telah lewat bukan bagian dari arus sebelumnya, dan juga bukan satu-kesatuan. Hal ini berbeda dengan air yang diam, masing-masing bagianya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.


Imam Syafi’i mengatakan bila air yang mengalir itu sedikit atau banyak, kemudian terkena janis sehingga bau, rasa, dan warnanya berubah, maka ada beberapa konsekwensi hukum dalam hal ini.

Bila arus air tersebut bertemu dengan arus yang berubah sebab najis, kemudian arus itu ikut berubah sifatnya, lalu disusul dengan arus lain yang tidak berubah sifatnya, maka arus yang tidak berubah hukumnya suci, sedangkan arus yang berubah sifatnya hukumnya najis.


Bila dilokasi air yang mengalir terdapat tempat yang posisinya rendah, kemudian air berdiam di tempat itu, dan jalur alirannya terputus dengan sumbernya, kemudian air yang mendiami tempat yang rendah kejatuhan najis, maka air tersebut hukumnya najis karena hukumnya sama dengan air diam yang kejatuhan najis. Demikian halnya bila ada air yang mengalir ke tempat itu yang rendah itu namun jumlahnya tidak mencapai lima qirab (dua qulah), dan air yang diam itu tidak ikut mengalir bersamanya.

Bila pada saluran air yang mengalir ada tempat yang rendah, kemudian ada najis jatuh, dan hanyut bersama dengan air, maka air tersebut tidak najis kecuali air yang hanyut bersama dengan najis. Bila ada air mengalir ke suatu tempat yang rendah, kemudian berhenti di situ, maka air tersebut hukumnya sama dengan air yang diam. (Diulas dari Kitab Al-Umm oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment