“Konflik-konflik bersenjata di masa
lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, karena kita sekarang sudah
kuat sebagai bangsa dan tidak usah menakut-nakuti terhadap kelompok manapun”.
Teks di atas adalah kutipan dari artikel Gus Dur yang berjudul Keadilan dan Rekonsiliasi yang dibukukan oleh Kompas dengan Judul Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakayat. Dalam artikel itu Gus Dur mengisahkan kalau dirinya diundang acara peresmian oleh Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) yang telah memiliki cabang dimana-mana dan sudah menjadi organisasi berskala Nasional. Gus Dur mengaku kalau dirinya memang memiliki solidaritas yang kuat dengan paguyuban itu atas dasar “prikemanusiaan”, sebagaimana beliau memiliki solidaritas kuat terhadap anak buah Kartosuwiryo yang pernah melakukan pemberontakan DI/TII (Darul Islam dan Tentara Indonesia.
Menurut Gus Dur pada saat ini yang
terpenting adalah menegakkan keadilan yang menjadi prasyarat utama bagi sebuah
proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar dengan penduduk 205 juta
lebih saat ini. Kita harus mampu menegakkan keadilan dan tidak menghukum mereka
yang tidak bersalah. Demikian Gus Dur menegaskan dalam artikelnya.
Lebih lanjut Gus Dur mengatakan bahwa
begitu banyak rahasia yang menyelimuti masa lampau sehingga tidak layak jika
kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain
salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam
prespektif “kemanusian”, bukan secara “ideologis”.[1]
Sikap Gus Dur yang mudah memaafkan, dan
dapat bergaul dengan siapapun diakuinya terinspirasi oleh ayah beliau, KH.
Wahid Hasyim. Ketika berdialog dengan Dr. Daisaku Ikeda, seorang Presiden Kehormatan
Soka Gakkai, Gus Dur mengisahkan kenangan masa kecilnya. Saat itu Gus Dur pernah diajak oleh sang Ayah
mengunjungi Bapak Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik waktu itu. Sesampainya di
rumah Bapak Kasimo, KH. Wahid Hasyim mengeluarkan bungkusan yang beliau ambil
dari kantongnya, kemudian beliau berikan kepada Bapak Kasimo. Dalam perjalanan
Gus Dur bertanya kepada sang ayah tentang isi bungkusan tersebut karena sangat
ingin tahunya. Sang ayah menjawab bahwa Bapak Kasimo sedang mengumpulkan uang
guna membeli rumah untuk Pak Prawoto Mangkusasmito, Wakil Ketua Umum Partai
Masyumi, maka ayah pun ikut mendukung, demikian jawab KH. Wahid Hasyim terhadap
pertanyaan anaknya.
Mendengar jawab semacam itu, Gus Dur
bertanya-tanya dalam hati, bukankah Pak Prawoto adalah pemimpin Masyumi yang
ingin mendirikan Negara Islam. Gus Dur mengakui sikap ayahnya itulah yang
tertanam kuat dalam dirinya.[2]
Sikap toleran terhadap kelompok lain juga
diakui Gus Dur telah ditanamkan oleh sang Kakek, KH. Hasyim Asy’ari semenjak
kecil. Saat berdialog dengan Ikeda, Gus Dur mengisahkan bahwa sewaktu kecil
beliau sering tidur bersama Sang Kakek. Sebelum tidur sambil berbaring di
sampingnya, Sang Kakek menuturkan macam-macam cerita. Pada saat itu oleh Sang
Kakek dirinya diajarkan semangat toleransi, yakni keharusan menghargai
pemikiran orang lain.[3] (Diulas
dari buku Gus Dur menjawab Kegelisahan Rakyat dan buku Dialog Peradaban untuk
Toleransi dan Perdamaian oleh FT edu)
[1]. KH.
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, PT. Kompas Media
Nusantara, cet. 2010, hl: 112-113
[2]. KH.
Abdurahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban, , Penyunting The
Wahid Istitute & Soka Gakkai Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. I,
2010, hal: 59
[3]. KH.
Abdurahman Wahid & Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban, , Penyunting The
Wahid Istitute & Soka Gakkai Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. I,
2010, hal: 92
No comments:
Post a Comment