Menurut Ibnu Hazm hadis maukuf dan mursal
tidak dapat dijadikan sebagai dasar hokum (hujjah). Demikian halnya
dengan hadis yang perawinya tidak dapat dipercaya, baik agamanya, maupun
hafalannya.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa seseorang tidak
boleh meninggalkan apa yang ada dalam al-Quran dan hadis sahih hanya karena
terpengaruh oleh pendapat sahabat Nabi atau yang lainnya, baik dia seorang
perawi hadis atau bukan.
Hadis mursal menurut Ibnu Hazm adalah
hadis yang mata rantainya antara perawi dengan Nabi terdapat perawi yang tidak
diketahui identitasnya. Sedangkan hadis mauquf adalah hadis yang sanadnya tidak
sampai kepada Rasulullah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
رُسُلاً
مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ
بَعْدَ الرُّسُلِ وَكانَ اللَّهُ عَزِيزاً حَكِيماً (النساء : ١٦٥)
"Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana".
Berdasarkan ayat di atas Ibnu Hazm
menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seseorang kecuali merujuk kepada
sumber yang berasal dari Rasulullah. Kedua macam hadis di atas, kata Ibnu Hazm
tidak boleh disandarkan kepada nabi, karena hadis tersebut hanya sebatas asumsi
belaka. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi:
وَما يَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِما يَفْعَلُونَ (يونس : ٣٦)
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan
itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
dan firman Allah :
وَلا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ
كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً (الإسراء: ٣٦)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”.
Sedangkan berkenaan dengan hadis mursal
atau perawi yang tidak bisa dipercaya pengetahuan agama dan hadafalannya, Ibnu
Hazm berpendapat maka dalam hal ini kita harus mengacu kepada firman Allah:
فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة
: ١٢٢)
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Ayat di atas, kata Ibnu Hazm menujukan
bahwa hanya peringatan yang berasal dari sekelompok orang yang mengerti urusan agama
saja yang dapat diterima. Dalam ayat lain dijelaskan :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا
قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ (الحجرات:٦)
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang
seorang yang fasik kepadamu membawa berita, maka tangguhkanlah (hingga kamu
mengetahui kebenarannya) agar tidak menyebabkan kaum berada dalam kebodohan
(kehancuran) sehingga kamu menyesal terhadap apa yang kamu lakukan”.
Sedangkan ayat ini menunjukkan bahwa hanya orang adil saja yang
dapat diterima ucapannya, dan Allah melarang menerima berita yang disampaikan
oleh fasik.
Sedangkan orang yang tidak diketahui
identitasnya, menurut Ibnu Hazm, berarti dia belum teridentifikasi apakah telah
memenuhui kriteria atau belum. Oleh karena itu menurut Ibnu Hazm orang yang
tidak diketahui identitasnya juga tidak dapat diterima pendapatnya sebelum
benar-benar nyata kalau orang tersebut mengerti dalam urusan agama dan
hafalannya dapat dipercaya serta terbebas dari sifat fasik.
Ibnu Hazm mengatakan dalam sejarah
dijelaskan bahwa Nabi telah mengutus seorang utusan kepada para pemuka suku
agar mereka masuk Islam. Nabi juga mengutus seorang utusan kepada masyarakat Madinah
dan juga kepada beberapa suku seperti shon'a’ dan Hadro Maut agar memperkenal
dan mengajarkan hukum agama secara keseluruhan kepada mereka. Selain itu Nabi juga
memerintahkan untuk menerima hadis dari pemuka Islam dan para sahabatnya yang
pandai dalam urusan agama. Oleh sebab itu, kata Ibnu Hazm hadis yang diriwayatkan
oleh satu orang yang dapat dipercaya bisa dijadikan sebagai sumber hokum Islam,
selama mata rantainya (sanad) sampai kepada Rasulullah.
Ibnu Hazm menegaskan barang siapa
meninggalkan al-Quran atau hadis sahih dari Rasulullah karena mengikuti pendapat
sahabat Nabi atau perawi hadis, atau yang lainnya maka orang tersebut
benar-benar telah meninggalkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan justeru
malah taat kepada orang yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk ditaati sama
sekali. Sikap yang semacam ini, kata Ibnu Hazm, telah melanggar perintah Allah.
Menurut Ibnu Hazm keutamaan sahabat bukan
karena dia diikuti atau karena pendapatnya terhadap sebuah teks al-Quran atau
hadis, karena Allah tidak memerintahkan yang demikian. Allah hanya
memerintahkan untuk menghormati dan mencintai mereka, dan menerima riwayatnya
saja, bukan pendapatnya. (Diulas dari kitab Al-Muhall karya Ibnu Hazm oleh
FT edu)
No comments:
Post a Comment