Menu

Amazon

Lazada

Friday 3 July 2015

HADIS MAUQUF DAN HADIS MURSAL MENURUT IBNU HAZM



Menurut Ibnu Hazm hadis maukuf dan mursal tidak dapat dijadikan sebagai dasar hokum (hujjah). Demikian halnya dengan hadis yang perawinya tidak dapat dipercaya, baik agamanya, maupun hafalannya.

Ibnu Hazm mengatakan bahwa seseorang tidak boleh meninggalkan apa yang ada dalam al-Quran dan hadis sahih hanya karena terpengaruh oleh pendapat sahabat Nabi atau yang lainnya, baik dia seorang perawi hadis atau bukan.

Hadis mursal menurut Ibnu Hazm adalah hadis yang mata rantainya antara perawi dengan Nabi terdapat perawi yang tidak diketahui identitasnya. Sedangkan hadis mauquf adalah hadis yang sanadnya tidak sampai kepada Rasulullah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:

رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكانَ اللَّهُ عَزِيزاً حَكِيماً (النساء : ١٦٥)

"Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Berdasarkan ayat di atas Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seseorang kecuali merujuk kepada sumber yang berasal dari Rasulullah. Kedua macam hadis di atas, kata Ibnu Hazm tidak boleh disandarkan kepada nabi, karena hadis tersebut hanya sebatas asumsi belaka. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang berbunyi:

وَما يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِما يَفْعَلُونَ (يونس : ٣٦)

“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
dan firman Allah :

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً (الإسراء: ٣٦)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”.

Sedangkan berkenaan dengan hadis mursal atau perawi yang tidak bisa dipercaya pengetahuan agama dan hadafalannya, Ibnu Hazm berpendapat maka dalam hal ini kita harus mengacu kepada firman Allah:

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة : ١٢٢)

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Ayat di atas, kata Ibnu Hazm menujukan bahwa hanya peringatan yang berasal dari sekelompok orang yang mengerti urusan agama saja yang dapat diterima. Dalam ayat lain dijelaskan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ (الحجرات:٦)

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seorang yang fasik kepadamu membawa berita, maka tangguhkanlah (hingga kamu mengetahui kebenarannya) agar tidak menyebabkan kaum berada dalam kebodohan (kehancuran) sehingga kamu menyesal terhadap apa yang kamu lakukan”.

Sedangkan ayat ini menunjukkan bahwa hanya orang adil saja yang dapat diterima ucapannya, dan Allah melarang menerima berita yang disampaikan oleh fasik.

Sedangkan orang yang tidak diketahui identitasnya, menurut Ibnu Hazm, berarti dia belum teridentifikasi apakah telah memenuhui kriteria atau belum. Oleh karena itu menurut Ibnu Hazm orang yang tidak diketahui identitasnya juga tidak dapat diterima pendapatnya sebelum benar-benar nyata kalau orang tersebut mengerti dalam urusan agama dan hafalannya dapat dipercaya serta terbebas dari sifat fasik.

Ibnu Hazm mengatakan dalam sejarah dijelaskan bahwa Nabi telah mengutus seorang utusan kepada para pemuka suku agar mereka masuk Islam. Nabi juga mengutus seorang utusan kepada masyarakat Madinah dan juga kepada beberapa suku seperti shon'a’ dan Hadro Maut agar memperkenal dan mengajarkan hukum agama secara keseluruhan kepada mereka. Selain itu Nabi juga memerintahkan untuk menerima hadis dari pemuka Islam dan para sahabatnya yang pandai dalam urusan agama. Oleh sebab itu, kata Ibnu Hazm hadis yang diriwayatkan oleh satu orang yang dapat dipercaya bisa dijadikan sebagai sumber hokum Islam, selama mata rantainya (sanad) sampai kepada Rasulullah.

Ibnu Hazm menegaskan barang siapa meninggalkan al-Quran atau hadis sahih dari Rasulullah karena mengikuti pendapat sahabat Nabi atau perawi hadis, atau yang lainnya maka orang tersebut benar-benar telah meninggalkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan justeru malah taat kepada orang yang tidak diperintahkan oleh Allah untuk ditaati sama sekali. Sikap yang semacam ini, kata Ibnu Hazm, telah melanggar perintah Allah.


Menurut Ibnu Hazm keutamaan sahabat bukan karena dia diikuti atau karena pendapatnya terhadap sebuah teks al-Quran atau hadis, karena Allah tidak memerintahkan yang demikian. Allah hanya memerintahkan untuk menghormati dan mencintai mereka, dan menerima riwayatnya saja, bukan pendapatnya. (Diulas dari kitab Al-Muhall karya Ibnu Hazm oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment