Islam itu laksana air yang diturunkan
oleh Allah dari langit kepada Nabi kita Muhammad SAW yang fungsinya untuk
membersikan kotoran yang ada pada diri manusia. Dalam bahasa agamanya: “Saya
(Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”.Turunnya air dari
langit ini sempat diliput langsung oleh al-Quran dalam surat al-Furqan ayat 48:
وَهُوَ الَّذِي
أَرْسَلَ الرِّياحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنا مِنَ السَّماءِ مَاءً طَهُوراً
“Dialah yang meniupkan angin (sebagai)
pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih”.
Kalau kita memaknai ayat di atas dengan
pendekatan tafsir Jalan Lain, maka malaikat jibril yang membawa wahyu dapat
kita umpakan seperti angin. Pada ayat tersebut fungsi angin sebagai pembawa
kabar gembira. Sedangkan air yang suci mensucikan dapat kita umpamakan ajaran Islam
yang terkandung dalam kitab suci al-Quran. Pada ayat di atas al-Quran tidak
menyebut air yang turun dari langit itu sebgai air hujan, tapi maan thahura
(air suci mensucikan), namun untuk memudahkan akhirnya manusia menyebutnya
dengan air hujan (maaus sama’).
Setiap sahabat yang ingin mensucikan dirinya
harus memakai air yang dimiliki oleh Nabi yang beliau terima dari Malikat
Jibril. Sumber utama dari ajaran Islam ada pada diri Nabi yang telah menyatu
dengan al-Quran, sehingga suatu hal yang wajar bila Sayyidah ‘Aisyah r.a ketika
ditanya: “bagaimana ahklaq Rasulullah?, beliau menjawab akhlaq Rasulullah adalah
al-Quran.
Nah, ketika Rasullah meninggal dunia, air
tersebut oleh para sahabatnya disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia melalui
murid-muridnya yang membentuk seperti pipa saluran air. Pipa ini lah yang kemudian
dalam ilmu Hadis disebut dengan sanad (mata rantai). Saluran pipa air
itu juga sampai ke Indonesia yang dibangun oleh para ulama (habaib dan kiai) yang
dikemudian hari oleh masyarakat setempat disebut dengan Wali Songo. Pipa yang
dibangun para wali itu kemudian oleh KH. Hasyim Asyari dikemas dalam bentuk air
kemasan yang diberi nama NU (Nahdlutul Ulama). Air kemasan itu kemudian oleh
para santrinya dibagi-bagikan ke rumah-rumah warga NU hingga saat ini.
Air yang dialirkan dari sumbernya (Nabi
Muhammad) oleh para sahabat ke seluruh penjuru dunia itu selalu bersinggungan
dengan tradisi lokal atau budaya baru yang tidak dikenal pada zaman nabi. Dalam
ilmu fiqh air yang berbaur dengan tradisi lokal dikenal dengan istilah air yang
tercampur oleh benda suci yang terdapat pada pipa saluran, seperti lumut dan
ganggang. Air yang semacam ini tetap suci dan mensucikan.
Sedangkan air (ajaran) yang tercampur
oleh budaya baru yang tidak dikenal pada masa Nabi dalam ilmu fiqh dapat
diumpakan seperti air suci mensucikan yang tercampur oleh benda suci, seperti teh,
kopi, dan susu. Selama citra rasa air (ajaran pokok Islam) itu tidak berubah, maka
tetap dianggap sebagai air (ajaran Islam) yang suci mensucikan. Contoh salat
pakai kopiah dan sarung. Citra rasa salat persis sama seperti citra rasa salat
pada zaman Nabi. Contoh lain kesunahan berdzikir yang dikemas dalam bentuk tahlilan.
Citra rasa dzikir sama persis dengan citra rasa dizir pada zaman nabi, hanya saja
kemasannya yang berbeda. Tradisi tahlilan tidak sampai merusak citra rasa
ajaran Nabi.
Islam yang berbaur dengan tradisi lokal, namun
tidak sampai merubah citra rasa ajaran pokonya inilah yang ingin diusung oleh
Islam Nusantara. Watak Islam yang semacam ini berbeda dengan watak Islam yang
diajarkan oleh Wahabi dan NU Garis Lurus yang kaku, galak dan garang.
Secara konseptual, gagasan tentang Islam
Nusantara masih umum dan perlu penjabaran lebih rinci serta detail. Di samping
itu harus ditinjau dari berbagai sudut pandang agar tidak menimbulkan salah
paham di masyarakat umum sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. (Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment