Menurut Gus Dur pola hubungan antara Islam
dan negara di kawasan Nusantara memiliki tingkat keintiman yang berbeda. Hal
ini mengakibatkan kadar demokrasinya pun juga tidak sama. Gus Dur mencontohkan
kerjaan-kerajaan yang ada di Aceh.
Menurut Gus Dur kerajaan-kerajan yang ada
di kawasan Aceh muncul dari perkampungan orang Islam, sehingga hukum dalam
budaya masyarkaat Aceh adalah apa kata sultan. Memang untuk menjadi sultan ada
persyaratan-persyaratan khusus seperti harus mengerti ilmu agama, atau disebut
ulama. Secara historis para ulama di Aceh adalah penguasa yang tumbuh bersama
dengan kerajaan-kerajaan yang tadinya adalah perkampungan orang Islam seperti Perelak
dan Samudra Pasai.
Oleh karena di kerajaan-kerajaan Aceh hukum
agama telah menyatu dengan negara, maka terjadilah titik temu yang optimal. Bahkan
dalam pandangan masyarakat Aceh agama dan Negara seperti “badan” dan “ruh”. Negara
yang model seperti ini lah menurut Gus Dur yang paling tidak demokratis. Sebab
dalam negara tersebut tidak ada lagi ruang gerak bagi alternatif lain. Apabila
elitnya sudah berbicara, maka mereka akan menggunakan bahasa agama, sehingga
tidak bisa di ganggu gugat.
Gus Dur mencontohkan salah seorang birokrat
dari Aceh. Jika dia sudah terdesak, maka akan berubah peran menjadi ulama sehingga
susah untuk membatahnya karena bisa mencolo putro mencolo putri. Sejauh pengamatan
Gus Dur agama yang menyatu dengan negara akan menjadi negara yang paling tidak
demokratis.
Kedua, model kerajaan yang ada di Minang. Kerajaan-kerajaan
yang ada di Minang tidak bersifat sentralistik. Di Minang tidak ada yang namanya
kerajaan pusat. Menurut Gus Dur yang disebut dengan kerajaan Pagaruyung
sesungguhnya terdiri dari beberapa Rumah Gadang. Kalau pun di sana ada sisa kerajaan
besar, hal itu merupakan sisa peninggalan dari kerajaan Majapahit dan Singasari.
Oleh sebab itu, nama yang paling dihargai di Minang adalah Adityawarman.
Menurut Gus Dur oleh karena
kerajaan-kerajaan yang ada di minang tidak sentralistik, ketika antara hukum
Islam dan hukum adat bertikai maka tidak ada yang mampu melerai. Masing-masing mengklaim
kebenarannya sendiri-sendiri, dan semua bebas menyatakan pendapat sehingga
meletuslah perang Paderi.
Model ketiga pola hubungan agama dan
negara seperti kerajaan Malaka, Goa dan Malaysia. Islam masuk ke negeri itu
melalui proses penyerapan. Jadi Islam masuk sebagai unsur baru di samping unsur-unsur
lama yang sudah mapan seperti unsur Hindu atau pra Hindu. Kita bisa lihat di dalam
keluarga raja Buton ada salah satu keluarga yang Kristen, dan mereka
tenang-tenang saja. Mengapa demikian? Karena mereka mengangap Islam hanya lapisan
baru dari lapisan-lapisan sebelumnya yang telah ada, yaitu lapisan Hindu,
kemudian Islam, dan terakhir Kristen.
Dari sini kita bisa melihat bahwa fungsi
Islam pada model ketiga hanya dipakai sebagai pembenar dari kesepakatan atau
perkembangan yang bertahap tadi itu, sehingga jadinya seperti sultan-sultan
Malaysia yang gelarnya memakai nama Islam. Mereka dituntut untuk berprilaku
agamis pada hari tertentu seperti Jumat, selain hari itu terserah. Akhirnya
terjadilah campur aduk.
Sekalipun demikian model yang ketiga ini
sangat bagus bagi pertumbuhan demokrasi. Pada model ketiga ini ketegangan antara
agama dan negara tidak terjadi, dengan syarat masyarakatnya homogen.
Bedahalnya dengan di Malaysia. Problem di
Malaysia karena masyarakatnya sangat pluralistik. Dimana etnis Konghucu di sana
jumlanya sudah mencapai kurang lebih 40% dari jumlah penduduk keseluruhan, dan Islam
hanya sekitar kurang lebih 11%.
Pada model ketiga sangat tampak bahwa
penyatuan agama dengan negara hanya terletak pada simbol-simbol formal yang
belum tentu mencerminkan substansinya. Seperti kerajaan-kerajaan yang ada di
Malaysia kalau dilihat dari luar seperti kerajaan Islam, tapi kalau ditelisik
lebih jauh ke dalam isinya macam-macam. Di Malaysia anda bisa berdebat tentang
hukum dan ideologi barat asal tidak mengkritik sultan kata Gus Dur. Model
hubungan negara dan agama yang semacam ini
memiliki kadar demokrasi yang berbeda-beda.
Model yang keempat adalah jawa. Menurut
Gus Dur pusat kekuasaan di Jawa tidak pernah menerima Islam secara total. Islam
hanya diambil sisi serimonialnya saja dan beberapa bagian dari hukum Islam. Di
jawa Islam diterima, tapi di pinggiran. Contoh yang paling bagus dapat kita
lihat dari struktur bangunan alun-alun dan pendopo yang ada di Jawa. Sebelah
baratnya alun-alun biasanya terdapat masjid dan rumah penghulu.
Model keempat ini menurut Gus Dur berbeda
dengan model ketiga. Kalau sulatan-sultan Malaysia, Gowa, Malaka harus melakasanakan
administrasi keagamaan Islam, betapapun sudah dicampur aduk dengan unsur-unsur lain,
maka pada model hubungan Islam dan negara di kerajaan Jawa, masyarakat
dibiarkan mengurusi agamanya masing-masing. Keraton tidak campur tangan mengurusi
agama masyarakat.
Menurut Gus Dur model yang semacam ini sangat
bagus bagi perkembangan demokrasi. Sebab demokrasi pada model kerajaan semacam
ini menjadi tinggi derajatnya, asal gerakan Islamnya demokratis. Sayangnya, menurut
Gus Dur gerakan Islam yang ada sekarang ini kadang demokratis dan kadang tidak,
tapi banyak tidak demokratisnya. (Diulas dari ceramah-ceramah Gus Dur
oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment