Menu

Amazon

Lazada

Sunday 26 July 2015

POLA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI KAWASAN NUSANTARA


Menurut Gus Dur pola hubungan antara Islam dan negara di kawasan Nusantara memiliki tingkat keintiman yang berbeda. Hal ini mengakibatkan kadar demokrasinya pun juga tidak sama. Gus Dur mencontohkan kerjaan-kerajaan yang ada di Aceh.

Menurut Gus Dur kerajaan-kerajan yang ada di kawasan Aceh muncul dari perkampungan orang Islam, sehingga hukum dalam budaya masyarkaat Aceh adalah apa kata sultan. Memang untuk menjadi sultan ada persyaratan-persyaratan khusus seperti harus mengerti ilmu agama, atau disebut ulama. Secara historis para ulama di Aceh adalah penguasa yang tumbuh bersama dengan kerajaan-kerajaan yang tadinya adalah perkampungan orang Islam seperti Perelak dan Samudra Pasai.

Oleh karena di kerajaan-kerajaan Aceh hukum agama telah menyatu dengan negara, maka terjadilah titik temu yang optimal. Bahkan dalam pandangan masyarakat Aceh agama dan Negara seperti “badan” dan “ruh”. Negara yang model seperti ini lah menurut Gus Dur yang paling tidak demokratis. Sebab dalam negara tersebut tidak ada lagi ruang gerak bagi alternatif lain. Apabila elitnya sudah berbicara, maka mereka akan menggunakan bahasa agama, sehingga tidak bisa di ganggu gugat.

Gus Dur mencontohkan salah seorang birokrat dari Aceh. Jika dia sudah terdesak, maka akan berubah peran menjadi ulama sehingga susah untuk membatahnya karena bisa mencolo putro mencolo putri. Sejauh pengamatan Gus Dur agama yang menyatu dengan negara akan menjadi negara yang paling tidak demokratis.

Kedua, model kerajaan yang ada di Minang. Kerajaan-kerajaan yang ada di Minang tidak bersifat sentralistik. Di Minang tidak ada yang namanya kerajaan pusat. Menurut Gus Dur yang disebut dengan kerajaan Pagaruyung sesungguhnya terdiri dari beberapa Rumah Gadang. Kalau pun di sana ada sisa kerajaan besar, hal itu merupakan sisa peninggalan dari kerajaan Majapahit dan Singasari. Oleh sebab itu, nama yang paling dihargai di Minang adalah Adityawarman.

Menurut Gus Dur oleh karena kerajaan-kerajaan yang ada di minang tidak sentralistik, ketika antara hukum Islam dan hukum adat bertikai maka tidak ada yang mampu melerai. Masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri, dan semua bebas menyatakan pendapat sehingga meletuslah perang Paderi.

Model ketiga pola hubungan agama dan negara seperti kerajaan Malaka, Goa dan Malaysia. Islam masuk ke negeri itu melalui proses penyerapan. Jadi Islam masuk sebagai unsur baru di samping unsur-unsur lama yang sudah mapan seperti unsur Hindu atau pra Hindu. Kita bisa lihat di dalam keluarga raja Buton ada salah satu keluarga yang Kristen, dan mereka tenang-tenang saja. Mengapa demikian? Karena mereka mengangap Islam hanya lapisan baru dari lapisan-lapisan sebelumnya yang telah ada, yaitu lapisan Hindu, kemudian Islam, dan terakhir Kristen.

Dari sini kita bisa melihat bahwa fungsi Islam pada model ketiga hanya dipakai sebagai pembenar dari kesepakatan atau perkembangan yang bertahap tadi itu, sehingga jadinya seperti sultan-sultan Malaysia yang gelarnya memakai nama Islam. Mereka dituntut untuk berprilaku agamis pada hari tertentu seperti Jumat, selain hari itu terserah. Akhirnya terjadilah campur aduk.

Sekalipun demikian model yang ketiga ini sangat bagus bagi pertumbuhan demokrasi. Pada model ketiga ini ketegangan antara agama dan negara tidak terjadi, dengan syarat masyarakatnya homogen.

Bedahalnya dengan di Malaysia. Problem di Malaysia karena masyarakatnya sangat pluralistik. Dimana etnis Konghucu di sana jumlanya sudah mencapai kurang lebih 40% dari jumlah penduduk keseluruhan, dan Islam hanya sekitar kurang lebih 11%.

Pada model ketiga sangat tampak bahwa penyatuan agama dengan negara hanya terletak pada simbol-simbol formal yang belum tentu mencerminkan substansinya. Seperti kerajaan-kerajaan yang ada di Malaysia kalau dilihat dari luar seperti kerajaan Islam, tapi kalau ditelisik lebih jauh ke dalam isinya macam-macam. Di Malaysia anda bisa berdebat tentang hukum dan ideologi barat asal tidak mengkritik sultan kata Gus Dur. Model hubungan negara dan agama yang semacam ini  memiliki kadar demokrasi yang berbeda-beda.

Model yang keempat adalah jawa. Menurut Gus Dur pusat kekuasaan di Jawa tidak pernah menerima Islam secara total. Islam hanya diambil sisi serimonialnya saja dan beberapa bagian dari hukum Islam. Di jawa Islam diterima, tapi di pinggiran. Contoh yang paling bagus dapat kita lihat dari struktur bangunan alun-alun dan pendopo yang ada di Jawa. Sebelah baratnya alun-alun biasanya terdapat masjid dan rumah penghulu.

Model keempat ini menurut Gus Dur berbeda dengan model ketiga. Kalau sulatan-sultan Malaysia, Gowa, Malaka harus melakasanakan administrasi keagamaan Islam, betapapun sudah dicampur aduk dengan unsur-unsur lain, maka pada model hubungan Islam dan negara di kerajaan Jawa, masyarakat dibiarkan mengurusi agamanya masing-masing. Keraton tidak campur tangan mengurusi agama masyarakat.


Menurut Gus Dur model yang semacam ini sangat bagus bagi perkembangan demokrasi. Sebab demokrasi pada model kerajaan semacam ini menjadi tinggi derajatnya, asal gerakan Islamnya demokratis. Sayangnya, menurut Gus Dur gerakan Islam yang ada sekarang ini kadang demokratis dan kadang tidak, tapi banyak tidak demokratisnya. (Diulas dari ceramah-ceramah Gus Dur oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment