Menu

Amazon

Lazada

Friday 10 July 2015

BERSUCI MENURUT MADZHAB AHMAD BIN HAMBAL



A. Definisi Thaharah
Menurut Ibnu Qudamah “thaharah” secara bahasa artinya adalah melepaskan kotoran. Sedangkan dalam istilah agama maknanya adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah salat yang terdiri dari hadas atau najis dengan menggunakan air atau debu.

Lebih jauh Ibnu Qudamah mengatakan bahwa bila kata “thaharah” dipakai secara mutlak dalam ilmu fiqh, maka yang dimaksud adalah makna yang ditetapkan oleh agama, bukan makna bahasanya. Demikian halnya dengan istilah-istilah lain yang dipakai dalam agama. Isitlah seperti wudlu, salat, puasa, zakat, haji, dan sesamanya kenapa bila digunakan di dalam agama harus dimaknai dengan syara’ (agama) karena Allah sebagai pembuat aturan berbicara dalam kontek agama.[1]

B. Pembagian Air
Menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hambal bersuci harus memakai air mutlak. Air mutlak adalah air yang tidak disandarkan pada nama tertentu, seperti ari sayur, air mawar, air kacang, air za'faron, dan sesamanya yang namanya tidak dapat lepasa dari nama air.

Menurut Ibnu Qudamah air sayur, air mawar dan sesamana adalah air yang namanya tidak dapat lepas dari sesuatu yang mencampurinya.[2] Seperti air mawar tidak dapat disebut dengan air saja tanpa mengaitkannya dengan kata mawar. Demikian halnya dengan air sayur, air za’faron.  

Hal di atas berbeda dengan air yang namanya terikat dengan nama air itu berasal, seperti air sumur, air sungai, ari hujan. Air semacam ini tetap dihukumi sebagai air mutlak sebab bila air tersebut dipindah ke tempat lain, maka namanya akan berubah.[3] Seperti air sumur bila dipindah ke kolam makan tidak lagi sdisebut air sumur, melainkan disebut dengan air kolam.

Menurut Abu Khitab Al-Kalwadani air dibagi menjadi tiga macam:

1. Air suci mensucikan
Air suci mensucikan adalah air yang dapat dipakai untuk menghilangkan hadas dan najis. Abul Khitab dalam hal ini memberikan rumusan yang baik, yaitu air yang turun dari langit dan keluar dari bumi serta sifat kemutlakannya masih terjaga. Menurut Abul Khitab bila air tersebut dipanaskan dengan matahari atau dengan sesuatu yang suci, maka tidak makruh dipakai untuk bersuci. Namun bila dipanaskan dengan sesuatu yang najis maka hukumnya makruh pakai bersuci menurut salah satu dari pendapat. Sedang menurut pendapat lain hukumnya tidak makruh.[4]

Menurut Al-Kharaqi bila ada air yang mencapai dua qullah, kemudian kejatuhan najis tapi warna dan bau najis tidak ada, maka air tersebut tetap suci mensucikan, kecuali bila najis yang jatuh berupa air kencing, tinja yang mengalir, maka menjadi najis, Hal ini berbeda jika air tersebut banyak, dan tidak mungkin dikuras sampai habis, maka air tersebut tidak dapat najis oleh sesuatu apapun.

Bila ada hewan yang tidak memiliki darah yang tidak mengalir, seperti lalat, kalajengking, kecowak, dan sesamanya mati di dalam air yang sedikit, maka air tersebut tidak najis.[5]

2.  Air suci tapi tidak mensucikan,
Air suci tapi tidak mensucikan adalah air yang kurang dari dua qolah yang telah dipakai untuk menghilangkan najis. Bila air tersebut dipakai bersuci untuk melakukan ibadah sunnah, seperti mandi jumat, salat id, dan memperbarui wudlu' atau dipakai untuk membasuh tangan saat bagun dari tidur maka air tersebut disebut dengan air suci mensucikan. Namun pendapat lain mengatakan tidak boleh karena termasuk air suci tapi tidak mensucikan.

Bila air di atas kecampuran benda suci, dan mungkin untuk menghindar air tersebut dari benda yang mencampurinya, maka tidak dapat dipakai untuk bersuci karena tidak lagi disebut dengan air suci yang mensucikan. Bila yang berubah hanya salah satu sifatnya, seperti rasa, warna, dan bau maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pendapat pertama tidak boleh dipakai bersuci dan kedua boleh dipakai bersuci.

Bila air berubah sebab benda suci yang tidak larut, seperti kayu, minyak, atau benda yang tidak dapat dihindarkan dari air seperti lumpur, ganggang, daun maka dapat dipakai untuk bersuci. [6]

Menurut Madzhab hambali air musta'mal tidak dapat dipakai untuk bersuci.[7]

3. Air Najis
Air najis adalah air yang kurang dari dua qalah, kemudian kejatuhan najis. Sedangkan air yang sudah mencapai dua qalah, jika berubah sifatnya karena kecampuran najis, maka bila berubahnya hilang dengan sendirinya atau dengan menambahkan air hingga mencapai dua qalah, atau dikuras kemudian berubahnya hilang, dan sisanya masih ada dua qalah, maka air tersebut termasuk air suci mensucikan. Menurut Abul Khitab air tidak dapat menjadi najis kecuali salah satu sifatnya berubah karena najis, baik air tersebut banyak atau sedikit.[8]

Tidak boleh berwudlu dengan air sisa hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya kecuali kucing. Setiap wadah yang terkena najis seperti bekas jilatan anjing atau terkena kencingnya, maka harus dibasuh sebanyak tujuh basuhan yang salah satunya dengan debu.

Bila seseorang berada dalam perjalanan, dan dia memiliki dua wadah, yang satu najis dan yang lainnya suci, namun tidak diketahui mana yang suci dan mana yang najis, maka menurut Madzhab Ahmad bin Hambal kedua air yang terdapat dalam wadah tersebut harus dibuang semuanya, dan orang yang bersangkutan harus melakukan tayamum.[9] (Diulas dari Kitab Mukhtashar Kharaqi karya Imam Abu Qasim Umar bin Husain, Kitab Al-Hidayah karya  Abul Khitob Al-Kalwadani, Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah oleh FT edu).





[1]. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 7
[2] . Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 9
[3]. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 9
[4]. Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros, cet. I, th. 2014, hal : 46
[5]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 11
[6]. Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros, cet. I, th. 2014, hal : 46
[7]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 11
[8] . Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros, cet. I, th. 2014, hal : 46
[9]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 12

No comments:

Post a Comment