A. Definisi Thaharah
Menurut Ibnu Qudamah “thaharah” secara
bahasa artinya adalah melepaskan kotoran. Sedangkan dalam istilah agama maknanya
adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah salat yang terdiri dari hadas
atau najis dengan menggunakan air atau debu.
Lebih jauh Ibnu Qudamah mengatakan bahwa
bila kata “thaharah” dipakai secara mutlak dalam ilmu fiqh, maka yang
dimaksud adalah makna yang ditetapkan oleh agama, bukan makna bahasanya.
Demikian halnya dengan istilah-istilah lain yang dipakai dalam agama. Isitlah
seperti wudlu, salat, puasa, zakat, haji, dan sesamanya kenapa bila digunakan
di dalam agama harus dimaknai dengan syara’ (agama) karena Allah sebagai
pembuat aturan berbicara dalam kontek agama.[1]
B. Pembagian Air
Menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hambal bersuci
harus memakai air mutlak. Air mutlak adalah air yang tidak disandarkan pada
nama tertentu, seperti ari sayur, air mawar, air kacang, air za'faron, dan
sesamanya yang namanya tidak dapat lepasa dari nama air.
Menurut Ibnu Qudamah air sayur, air mawar
dan sesamana adalah air yang namanya tidak dapat lepas dari sesuatu yang
mencampurinya.[2]
Seperti air mawar tidak dapat disebut dengan air saja tanpa mengaitkannya
dengan kata mawar. Demikian halnya dengan air sayur, air za’faron.
Hal di atas berbeda dengan air yang
namanya terikat dengan nama air itu berasal, seperti air sumur, air sungai, ari
hujan. Air semacam ini tetap dihukumi sebagai air mutlak sebab bila air
tersebut dipindah ke tempat lain, maka namanya akan berubah.[3]
Seperti air sumur bila dipindah ke kolam makan tidak lagi sdisebut air sumur,
melainkan disebut dengan air kolam.
Menurut Abu Khitab Al-Kalwadani air dibagi
menjadi tiga macam:
1. Air suci mensucikan
Air suci mensucikan adalah air yang dapat
dipakai untuk menghilangkan hadas dan najis. Abul Khitab dalam hal ini
memberikan rumusan yang baik, yaitu air yang turun dari langit dan keluar dari
bumi serta sifat kemutlakannya masih terjaga. Menurut Abul Khitab bila air
tersebut dipanaskan dengan matahari atau dengan sesuatu yang suci, maka tidak
makruh dipakai untuk bersuci. Namun bila dipanaskan dengan sesuatu yang najis
maka hukumnya makruh pakai bersuci menurut salah satu dari pendapat. Sedang menurut
pendapat lain hukumnya tidak makruh.[4]
Menurut Al-Kharaqi bila ada air yang
mencapai dua qullah, kemudian kejatuhan najis tapi warna dan bau najis tidak
ada, maka air tersebut tetap suci mensucikan, kecuali bila najis yang jatuh berupa
air kencing, tinja yang mengalir, maka menjadi najis, Hal ini berbeda jika air
tersebut banyak, dan tidak mungkin dikuras sampai habis, maka air tersebut
tidak dapat najis oleh sesuatu apapun.
Bila ada hewan yang tidak memiliki darah
yang tidak mengalir, seperti lalat, kalajengking, kecowak, dan sesamanya mati
di dalam air yang sedikit, maka air tersebut tidak najis.[5]
2.
Air suci tapi tidak mensucikan,
Air suci tapi tidak mensucikan adalah air
yang kurang dari dua qolah yang telah dipakai untuk menghilangkan najis. Bila
air tersebut dipakai bersuci untuk melakukan ibadah sunnah, seperti mandi
jumat, salat id, dan memperbarui wudlu' atau dipakai untuk membasuh tangan saat
bagun dari tidur maka air tersebut disebut dengan air suci mensucikan. Namun
pendapat lain mengatakan tidak boleh karena termasuk air suci tapi tidak
mensucikan.
Bila air di atas kecampuran benda suci,
dan mungkin untuk menghindar air tersebut dari benda yang mencampurinya, maka
tidak dapat dipakai untuk bersuci karena tidak lagi disebut dengan air suci yang
mensucikan. Bila yang berubah hanya salah satu sifatnya, seperti rasa, warna,
dan bau maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pendapat pertama tidak boleh
dipakai bersuci dan kedua boleh dipakai bersuci.
Bila air berubah sebab benda suci yang
tidak larut, seperti kayu, minyak, atau benda yang tidak dapat dihindarkan dari
air seperti lumpur, ganggang, daun maka dapat dipakai untuk bersuci. [6]
Menurut Madzhab hambali air musta'mal
tidak dapat dipakai untuk bersuci.[7]
3. Air Najis
Air najis adalah air yang kurang dari dua
qalah, kemudian kejatuhan najis. Sedangkan air yang sudah mencapai dua qalah,
jika berubah sifatnya karena kecampuran najis, maka bila berubahnya hilang
dengan sendirinya atau dengan menambahkan air hingga mencapai dua qalah,
atau dikuras kemudian berubahnya hilang, dan sisanya masih ada dua qalah,
maka air tersebut termasuk air suci mensucikan. Menurut Abul Khitab air tidak
dapat menjadi najis kecuali salah satu sifatnya berubah karena najis, baik air
tersebut banyak atau sedikit.[8]
Tidak boleh berwudlu dengan air sisa
hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya kecuali kucing. Setiap wadah yang
terkena najis seperti bekas jilatan anjing atau terkena kencingnya, maka harus
dibasuh sebanyak tujuh basuhan yang salah satunya dengan debu.
Bila seseorang berada dalam perjalanan,
dan dia memiliki dua wadah, yang satu najis dan yang lainnya suci, namun tidak
diketahui mana yang suci dan mana yang najis, maka menurut Madzhab Ahmad bin
Hambal kedua air yang terdapat dalam wadah tersebut harus dibuang semuanya, dan
orang yang bersangkutan harus melakukan tayamum.[9] (Diulas
dari Kitab Mukhtashar Kharaqi karya Imam Abu Qasim Umar bin Husain, Kitab
Al-Hidayah karya Abul Khitob
Al-Kalwadani, Kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah oleh FT edu).
[1]. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li
Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 7
[2] . Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li
Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 9
[3]. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Maqdisi, Al-Mughni li
Ibni Qudamah, Maktabah Kairo, tp.th, Jilid: I, hal: 9
[4]. Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros,
cet. I, th. 2014, hal : 46
[5]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush
Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 11
[6]. Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros,
cet. I, th. 2014, hal : 46
[7]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush
Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 11
[8] . Abul Khitob Al-Kalwadani, Al-Hidayah, Muassisah Ghorros,
cet. I, th. 2014, hal : 46
[9]. Abu Qasim Umar bin Husain, Mukhtashar Kharaqi, Darush
Shahabah lit Turats, cet. th. 1993, hal. 12
No comments:
Post a Comment