Saya sangat terkesan dengan sikap Mbah
Khalil Bangkalan yang sangat rendah hati. Mendengar Mbah Hasyim pulang dari
Makkah dan mengkaji kitab Shakhih Bukhari-Muslim pada saat bulan Ramadhan,
beliau yang terkenal sebagai ulama besar dan kharismatik, sekaligus pernah
menjadi guru KH. Hasyim Asy’ari meluangkan waktu untuk nyantri Ramadhan (ngaji
pasaran) ke Tebuireng karena cinta beliau terhadap pengetahuan.
Sikap dan akhlaq yang semacam inilah yang
harus kita tiru. Kalau pemikiran-pemikiran beliau harus kita kembangkan karena
kita hidup pada zaman yang berbeda. Mbah Khalil dan Mbah Hasyim hidup pada
zaman yang sulit. Wajar kalau mereka merumuskan NU sesederhana mungkin,
menyesuaikan dengan kondisi dan pola pikir masyarakat waktu itu.
Seperti halnya dengan Pak Soekarno kala
itu. Kalau anda baca buku beliau Di Bawah Bendera Revolusi, pemikiran Soekarno
tentang konsep negara sangat sederhana, dan sistematika penulisaannya kurang
bagus, kalau kita ukur dengan kondisi sekarang. Hal itu wajar, sebab beliau
hidup pada zaman yang sulit.
Sikap saling belajar itulah yang harus
kita kedepankan, bukan malah menjelek-jelekkan. “Kita menghujat Wahabi sebagai
aliran sesat, tapi cara-cara Wahabi menyesatkan kelompok lain kita pakai untuk
menjegal kawan seiring”. Maaf saja, itu lah yang terjadi pada NU Garis Lurus.
KH. Maimoen Zuber dibanding-bandingkan dengan KH. Mustofa Bisri. Habib Luthfi
dibanding-bandingkan dengan dengan Habib Syekh. Makam Gus Dur disamakan dengan
kuburan Qorun. Lah cara-cara yang semacam ini kan akhalaqnya Wahabi yang sedang
anda pakai, bukan akhlaqnya Mbah Khalil atau Mbah Hasyim. Beliau semua, Mbah
Mun, Gus Mus, Habib Luthfi seorang tokoh masyarakat yang memiliki pengikut
masing-masing di masyarakat. Kalau panutan mereka dijelek-jelekin dan
dibanding-bandingkan lama-kelaman akan terjadi gesekan di akar rumput.
Jadi kalau saudara-saudara kita yang ada
di NU Garis Lurus tidak sepakat atau beda pendapat, taruh kata dengan KH. Sa’id
Aqil Siraj, Mas Ulil, atau Mas Zuhairi undang saja mereka berdialog heart to
heart. Buat furum kajian rutin membahas isu-isu penting atau
pemikiran-pemikiran yang dianggap telah menyimpang dari NU, sebagaimana yang
dilakukan oleh KH. Wahab Hasbullah dengan tashwirul afkar-nya. Usahakan
pertemuan itu sebagai sarana untuk saling belajar, bukan saling menghujat atau
menang-menangan, dan bangga-banggaan. Lagian yang mau kita banggakan itu
ya…apa. Wong kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk NU, malah kadang-kadang
sering ngerepotin NU. Kalau saat diskusi stok ilmu kita memang habis, ya..
kulaan lagi seperti yang dilakukan oleh Mas Karebet ketika kalah tanding dengan
Sutawijaya, menantunya sendiri. Itu gak apa-apa. Asal habis dialog kemudian
jangan ada dendam. Ini yang tidak boleh karena termasuk debat yang tidak sehat
atau mujadalah sayyiah. (Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment