Menu

Amazon

Lazada

Friday 24 July 2015

KH. WAHID HASYIM: AL-QURAN KITAB YANG PALING DEMOKRATIS


Mungkinkan al-Quran disebut sebagai kitab yang paling demokratis? Dari sudut mana hal itu dilihat? Benarkah al-Quran berisi ajaran demokrasi? Demikian pertanyaan yang mungkin berkecamuk dalam pikiran kita saat membaca judul tulisan di atas.

Adalah KH. Wahid Hasyim yang mengatakan demikian. Sosok tokoh muda NU yang cemerlang pada masanya dan memiliki masa depan yang sangat cerah. Salah satu sumber mengatakan kalau seandainya KH. Wahid Hasyim berumur panjang, beliaulah layak menggantikan Soekarno sebagai presiden kelak. Namun takdir berkata lain, pada usianya yang sangat muda beliau telah dipanggil Yang Maha Kuasa, Allahumma irhamhu.

Dalam bukunya Kenapa Saya Memilih Nahdltul Ulama,  KH. Wahid Hasyim mengatakan: “al-Quran adalah kitab yang paling demokratis”. Islam sebagai agama tidak pernah takut berdialog dengan kelompok lain yang berbeda dengannya. Beliau menunjukkan salah satu ayat Al-Quran surat al-Qalam ayat 51 yang berbunyi :

وَإِنْ يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ (القلم :٥١)
Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Qur'an dan mereka berkata: "Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila".

Secara tersirat ayat tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi dialog yang panjang antara Nabi dengan orang-orang yang menentang ajaran-ajaranya. Ayat di atas sekaligus hendak mempertontonkan kepada umat Islam bahwa Nabi panutannya pernah dituduh gila oleh para lawan-lawannya setelah mereka kalah dalam adu argumentasi dengan Nabi. Menurut KH. Wahid Hasyim manusia ketika kehabisan hujjah (argumentasi) bisanya akan mengeluarkan bahasa kotor dan caci-makian.


Berdasarkan ayat di atas KH. Wahid Hasyim hendak mengatakan bahwa di satu sisi kita wajib memegang prinsip yang kita yakini kebenarannya. Sikap semacam ini oleh KH. Wahid disebut dengan kesatria dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Namun, disisi lain kita tidak boleh membabi buta mempertahankan pendapat sendiri dan menolak seluruh pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat kita. Sikap semacam ini oleh KH. Wahid disebut dengan fanatik (ta’assub). (Diulas dari buku Mengapa Saya Memilih Nahdlutul Ulama karya KH. Wahid Hasyim oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment