Masalah ini nanti akan kita kaji dari
berbagai sudut pandang, tidak hanya dari fiqh saja, melainkan dari sudut
pandang teologis, fiqh, tafsir, dan hadis. Namun dalam tulisan ini hanya akan
kita batasi pada pendekatan teologis saja. Yang dimaksud dengan pendekatan
teologis di sini adalah pendekatan ilmu kalam, atau dalam bahasa pesantren
disebut dengan ilmu tauhid. Secara teologis manusia dilahirkan oleh Allah
diberi kebebasan atau iradah untuk menentukan nasibnya sendiri dengan segala
resiko yang harus ditanggungnya sendiri, sekalipun kebebasan tersebut sifatnya
terbatas. Pendapat yang semcam ini untuk membedakan dengan faham Jabariyah yang
mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak atau kebebasan sama sekali,
dan seluruh perbubatan yang dilakukannya semata-mata karena qudrat dan
iradat-nya Allah.
Atas dasar itu lah bila kita meyakini
bahwa agama yang benar itu adalah Islam, maka kita harus bertanggung jawab
terhadap pilihan itu. Bila ternyata Islam nanti divonis tidak benar oleh Allah,
maka kita siap menanggung segala resikonya. Namun bila ternyata Islam yang kita
pilih ternyata divonis sebagai agama yang benar, maka kita akan menerima
manfaat (imbalan pahala) dari pilihan tersebut. Nah, sikap yang semacam ini
juga berlaku bagi penganut agama lain. Mereka akan bertanggung jawab dengan
semua apa yang telah menjadi pilihannya.
Kalau konsep iradah atau kebebasan di
atas dikaitkan dengan kewajiban untuk berdakwah, maka dalam hal ini al-Quran
sudah memberikan rambu-rambu yang jelas sejauh mana wilayah dakwah yang boleh
kita lakukan. Al-Quran mengatakan bahwa dakwah harus dilakukan dengan cara yang
bijak (hikmah). Sedang batas maksimal yang boleh kita lakukan adalah dakwah
dengan dialog yang baik (wa jadilhum billati hiya ahsan). Kalau semua itu tidak
berhasil maka kita harus mengambil sikap “tidak ada paksaan dalam masalah
agama”. Apakah ayat ini sudah diamandemen dengan ayat lain, itu persoalan yang
masih diperdebatkan. Jangan kita mengambil pendapat yang tidak memperbolehkan
dengan maksud menolak pendapat yang memperbolehkan. Sikap yang semacam ini
tidak akan menyelesaikan masalah. Secara teologis, menjaga tempat ibadah agama
lain dengan tujuan untuk menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat
tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Kalau pendapat yang seperti ini
dianggap liberal, apa yang menjadi alat ukur bahwa sebuah pendapat itu liberal atau
tidak?. Tulisan berikutnya nanti kita akan tinjau dari sudut pandang ilmu fiqh.
(Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment