Menu

Amazon

Lazada

Saturday 25 July 2015

KENAPA KITA MENJAGA TEMPAT IBADAH UMAT LAIN, SEBUAH TINJUAN TEOLOGIS?


Masalah ini nanti akan kita kaji dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari fiqh saja, melainkan dari sudut pandang teologis, fiqh, tafsir, dan hadis. Namun dalam tulisan ini hanya akan kita batasi pada pendekatan teologis saja. Yang dimaksud dengan pendekatan teologis di sini adalah pendekatan ilmu kalam, atau dalam bahasa pesantren disebut dengan ilmu tauhid. Secara teologis manusia dilahirkan oleh Allah diberi kebebasan atau iradah untuk menentukan nasibnya sendiri dengan segala resiko yang harus ditanggungnya sendiri, sekalipun kebebasan tersebut sifatnya terbatas. Pendapat yang semcam ini untuk membedakan dengan faham Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak atau kebebasan sama sekali, dan seluruh perbubatan yang dilakukannya semata-mata karena qudrat dan iradat-nya Allah.

Atas dasar itu lah bila kita meyakini bahwa agama yang benar itu adalah Islam, maka kita harus bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Bila ternyata Islam nanti divonis tidak benar oleh Allah, maka kita siap menanggung segala resikonya. Namun bila ternyata Islam yang kita pilih ternyata divonis sebagai agama yang benar, maka kita akan menerima manfaat (imbalan pahala) dari pilihan tersebut. Nah, sikap yang semacam ini juga berlaku bagi penganut agama lain. Mereka akan bertanggung jawab dengan semua apa yang telah menjadi pilihannya.


Kalau konsep iradah atau kebebasan di atas dikaitkan dengan kewajiban untuk berdakwah, maka dalam hal ini al-Quran sudah memberikan rambu-rambu yang jelas sejauh mana wilayah dakwah yang boleh kita lakukan. Al-Quran mengatakan bahwa dakwah harus dilakukan dengan cara yang bijak (hikmah). Sedang batas maksimal yang boleh kita lakukan adalah dakwah dengan dialog yang baik (wa jadilhum billati hiya ahsan). Kalau semua itu tidak berhasil maka kita harus mengambil sikap “tidak ada paksaan dalam masalah agama”. Apakah ayat ini sudah diamandemen dengan ayat lain, itu persoalan yang masih diperdebatkan. Jangan kita mengambil pendapat yang tidak memperbolehkan dengan maksud menolak pendapat yang memperbolehkan. Sikap yang semacam ini tidak akan menyelesaikan masalah. Secara teologis, menjaga tempat ibadah agama lain dengan tujuan untuk menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Kalau pendapat yang seperti ini dianggap liberal, apa yang menjadi alat ukur bahwa sebuah pendapat itu liberal atau tidak?. Tulisan berikutnya nanti kita akan tinjau dari sudut pandang ilmu fiqh. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment