Sebelum kita berbicara panjang lebar,
pertama-pertama kita harus tahu dulu apa yang dimaksud dengan kekuatan sosial
itu? Enaknya ngomong itu begini, bila kita mencalonkan diri sebagi lurah, kok
kita menang, berarti kita memiliki kekuatan sosial yang lebih besar bila dibandingkan
dengan lawan kita yang kalah. Kekuatan sosial itu harus diupayakan, tidak
mungkin datang sendiri. Setiap manusia yang lahir memiliki potensi untuk
memiliki kekuatan sosial. Apakah kekuatan sosial itu nanti digunakan untuk
merebut kekuasaan, dakwah, atau ekonomi tidak lah relevan untuk dibahas dalam
tulisan ini.
Sumber kekuatan sosial itu secara garis
besar ada tiga macam:
1. Harta benda;
2. Jaringan sosial (jawa: banyak kenalan);
3. Kekuasaan.
Dengan harta benda seseorang akan menjadi
terpandang, dan masyarakat akan lebih banyak mendekat bila dibandingkan dengan
orang yang tidak memiliki harta benda.
Bagi yang tidak memiliki harta benda tidak
usah pesimis karena ada sumber kekuatan sosial yang kedua, yaitu jaringan (jawa:
kenalan). Dengan jaringan yang luas, seseorang akan lebih mudah memperoleh
dukungan atau kemudahan dari masyarakat yang dikenalnya bila dibanding dengan
yang tidak memiliki kenalan.
Bila seseorang tidak memiliki harta dan
jaringan, masih ada sumber kekuatan sosial yang lain, yaitu kekuasaan. Kekuasaan
yang dimaksud di sini adalah kekuasan formal seperti jabatan pemerintahan atau
politik, bukan konsep kekuasaan dalam pandangan Michel Foucault. Dengan
kekuasaan, orang akan banyak mendekat karena butuh terhadap kekusaan yang
melekat pada dirinya. Hal ini berbeda dengan dengan orang yang tidak memiliki
kekuasaan.
Gus Miek semenjak lahir sudah miliki kesadaran
akan pentingnya membangun kekuatan sosial. Yang menarik dari sosok Gus Miek
kekuatan itu tidak beliau bangun dengan harta dan kekuasan, melainkan dengan
membuat jaringan sosial seluas mungkin, terutama dengan tokoh masyarakat yang
memiliki pengaruh di lingkungannya.
Bahkan dalam “Buku Perjalanan dan
Ajaran Gus Miek” dikatakan bahwa upaya untuk membuat jaringan sosial ini sudah
beliau mulai sejak usia sembilan tahun. Pada mulanya di Jawa Timur, Gus Miek membangun
hubungan erat dengan:
1. KH Mubasyir Mundzir
2. KH. Mas’ud Sidoarjo
3. KH. Hamid Pasuruan
Setelah jaringan di tingkat lokal sudah terbangun,
beliau memperluas sampai ke luar daerah, yaitu jawa Tengah. Di Jawa tengah beliau
membangun jaringan dengan:
1. KH. Dalhar
2. Mbah Jogoroso
3. KH. Arwani Kudus
Dalam membangung jaringan tentunya tidak
mudah. Banyak rintangan dan penolakan dari tokoh masyarakat setempat. Pada masing-masing
daerah pasti ada hambatan. Di Jawa Tengah beliau pada mulanya memiliki hambatan
dengan:
1. KH. Dalhar
2. Muslih Mranggen
3. KH. Hamid Kajoran
Sedangkan di Jawa Timur, Gus Miek
memiliki hambatan dengan:
1. KH. Mahrus Aly
2. KH Ahmad Sidik
Hambatan biasanya berupa penolakan yang
disebabkan oleh:
1. Tidak adanya saling kenal
Dalam hal ini kaidah sosial yang
mengatakan: “tak kenal maka tak sayang berlaku”. Contoh KH. Ahmad Sidik yang pada
mulanya tidak begitu kenal dengan dengan sosok Gus Miek sehinga keduanya belum
ada titik temu.
2. Perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat atau pandangan akan
menyebabkan seseorang tidak memberikan dukungan terhadap orang lain. Hambatan Gus
Miek dengan KH. Mahrus Aly disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam soal aliran
Wahidiyah. Dalam buku Perjalanan dan Ajaran Gus Miek dijelaskan bahwa Gus
Miek dan KH. Mubasyir Mundir ikut membantu membesarkan ajaran Wahidiyah yang
didirikan oleh KH. Abdul Majid Kedunglo. Sikap Gus Miek yang mendukung terhadap
berdirinya aliran Wahidiyah, langsung mendapat reaksi keras dari KH. Mahrus Aly
yang memang waktu itu sangat menentang terhadap aliran tersebut.
Hambatan dengan KH. Ahmad Sidik
disebabkan oleh sikap-sikap Gus Miek yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran
agama (hukum fiqh). Dan kita tahu bahwa KH. Ahmad Sidiq dan KH. Mahrus Aly,
keduanya adalah tokoh NU yang memiliki pengaruh yang sangat luas.
Yang menarik adalah bagaimana Gus Miek
mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dalam mengatasi hambatan-hambatan
tersebut Gus Miek tidak menempuh jalan konfrontasi, seperti yang dilakukan oleh
NU Garis Lurus yang kadang-kadang bersikap ngawur. Gus Miek lebih menempuh
jalan diplomasi dan lobi dalam mengatasi setiap hambatan.
Untuk mengatasi hambatan dengan KH. Ahmad
Sidiq, Gus Miek menjalin hubungan dekat dengan KH. Hamid Pasuruan yang masih
ada hubungan saudara dengan KH. Ahmad Sidik, sekaligus orang yang sangat
dihormatinya. Ternyata usaha itu berhasil, sehingga KH. Ahmad Sidik dengan Gus
Miek ada titik temu. Akhirnya berlaku lah kaidah sosial yang mengatakan “bila
anda gagal mendekati seseorang, maka dekatilah ia lewat orang yang dicintai
atau dihormati”.
Setrategi di atas juga dilakukan oleh Gus
Miek di Jawa Tengah dengan varian-varian yang berbeda. Untuk membagun jaringan sosial
yang cepat serta meluas, Gus Miek membidik tokoh sentral yang ada di Jawa
Tengah. Menurut pengamatan beliau, tokoh sentral itu ada pada diri KH. Dalhar.
Dengan susah payah Gus Miek mencari cara untuk mendekati Kyai Dalhar. Cara yang
ampuh menurutnya adalah dengan menjadi Muridnya. Akhirnya Gus Miek mengajukan
diri untuk menjadi murid KH. Dalhar Watu Congol. Dari KH Dalhar inilah kemudian
tokoh-tokoh lain, seperi Mbah Jogoroso, KH Ashari, Gus Mad putra KH. Dalhar,
KH. Mansur dan KH Arwani Kudus dapat terjangkau oleh Gus Miek, sehingga kaidah sosial
yang mengatakan: “Bila anda ingin memindah sarang tawon, cukup anda ambil
ratunya, maka yang lain akan ikut”.
Apa yang dapat kita petik dari kisah Gus
Miek di atas? Pertama; untuk mewujudkan sebuah misi atau cita-cita
hindarilah sikap konfrontasi dengan orang yang memiliki pandangan berbeda
dengan kita. Anggaplah perbedaan sebagai semangat untuk lebih memperluas
jaringan. Kaidah sosial yang mengatakan: “lebih baik memperluas jaringan (network)
dari pada capek berkonfrontasi dengan orang yang berbeda pandangan" harus lah dipegang
teguh.
Kedua, jangan putus asa untuk berusaha mencari titik
temu dengan orang-orang yang berbeda pandangan atau pendapat. Mungkin saja
mereka menolak karena tidak mengenal kita. Ketiga; Gus Miek membangun
kekuatan sosialnya dengan kemampuan dirinya sendiri, bukan karena kebesaran keluarganya
(keramat gandul). Kempat; Gus Miek adalah sosok pekerja keras,
ulet, dan sabar dalam merealisasikan apa yang dicita-citakannya. (Diulas
dari buku Perjalanan dan Ajaran Gus Miek Oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment