2. Pandangan tentang Ilmu, Pengetahuan,
dan Teknologi
Menurut Gus Dur konsep ilmu menurut
Aswaja memiliki dimensi yang berbeda dengan pengertian umum. Sebagaimana kita
ketahui, ilmu secara epistemologis adalah sekumpulan pengetahuan yang
didasarkan teori yang disepakati bersama dan dapat diuji secara empiris. Gus Dur
tidak sepakat dengan definisi ini. Beliau lebih condong melihat ilmu seperti
cahaya (nur) yang memiliki dua dimensi.
Pertama dimensi esoteric (ilmu
tentang hakikat yang dapat diperoleh melalui keluhuran budi (akhlaq mahmudah)
yang diupayakan oleh sang pencari ilmu). Ilmu semacam ini tidak diperoleh
dengan rasio, melainkan bil faidh (pancaran ilahi).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Ghazali
dalam kitab Ihya’nya. Bila dilihat dari cara mendapatkannya, ilmu oleh Al-Ghazali
dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu bilmuktasab (ilmu yang diperoleh
dengan cara belajar, menganalisa, dan meneliti sebuah objek pengetahuan), dan
ilmu bil mukasyafah (ilmu yang diperoleh dengan cara tersingkapnya
tabir).
Ilmu bil muktasab dapat kita contohkan
ketika kita membaca buku, meneliti peristiwa alam, seperti angin, hujan, atau
peristiwa yang tejadi di tengah-tengah masyarakat, kemudian data-data yang kita
peroleh dari hasil penelitian tersebut kita kumpulkan, lalu kita bandingkan
antara satu data dengan data lain sehingga melahirkan sebuah kesimpulan dalam
bentuk pengetahuan yang baru. Nah pengetahuan baru yang kita peroleh itu disebut
dengan ilmu muktasab oleh al-Ghazali.
Sedangkan ilmu mukhasyafa
(tersingkapnya tabir) kata al-Ghazali diperoleh melalui dua tahab olah bathin,
yaitu takholli dan takhalli dari keduanya kemudian melahirkan tajalli
atau mukasyafah itu sendiri.
Takholli adalah olah bathin (mujahadah) untuk
menghilangkan budi pekerti yang baruk, seperti iri, dengki, suka menghujat, menjelek-jelekkan
orang lain, apalagi yang dijelek-jelekkan seorang kyiai. Setelah diri kita
bersih dari budi pekerti yang buruk (al-akhlaq al-madzmumah) kemudian
kita berusaha sekuat tenaga (mujahadah) untuk menghiasi diri dengan budi
pekerti yang bagus (al-akhlaq al-mahmudah), seperti sabar (tidak suka
menghujat dan mencaci), qana’ah (menerima pemberian Tuhan), zuhud
(menjahui hal-hal yang syubhat, apalagi yang diharamkan) tawadlu’
(rendah diri). Bila seseorang istiqamah melakukan kedua hal di atas, yaitu
membasmi budi pekerti buruk dan menumbuh kembangkan budi pekerti yang baik,
maka dengan sendirinya ia akan naik pada kelas yang lebih tinggi, yaitu tajalli,
memperoleh ilmu dengan jalan mukhasyafah (tersingkapnya tabir).
Perbedaan dari kedua ilmu di atas oleh
al-Ghazali diumpakan seperti orang yang mengisi air di kolam pemandian. Ilmu
bil muktasab (diperoleh dengan cara belajar) oleh al-Gazhali dibaratkan
seperti orang yang mengalirkan air dari sumur atau sungai ke kolam sebuah pemandian,
hingga kolam tersebut penuh dengan air dan dapat dibuat mandi.
Sedangkan ilmu bil mukasyafah oleh
al-Ghazali diibaratkan seperti orang yang mengali lobang di kolam pemandian
tersebut sampai ke sumber mata air, sehingga kolam menjadi penuh dengan air
karena memancar dari sumber yang digali tadi.
Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal
ini adalah ilmu yang didapat oleh Ibunya Nabi Musa agar anaknya yang baru lahir
(Nabi Musa) dihanyutkan ke sungai Nil. Ilmu semacam tidak diperoleh dengan
membaca buku, atau mengamati kondisi sosial, melainkan ilham dari Allah
sebagaimana kolam pemandian yang memancarkan air dari dalam tanah.
Menurut Gus Dur ilmu bil mukasyafah
atau bil faidl (pancaran) tidak dapat dikembangkan lebih jauh sebab hanya orang
tertentu yang dapat melakukan hal itu, dan justru akan membahayakan bila
dikembangkan kepada orang umum. Yang harus dikembangkan adalah ilmu bil
muktasab karena dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Kita tidak mungkin
mendirikan perguruan tinggi jurusan ilmu mukasyafah atau ilmu ladunni
karena mencari dosen yang bisa mengajar ilmu semacam itu sangat sulit.
Ilmu bil muktasab (yang diperoleh dengan cara belajar) oleh
Gus Dur disebut dengan pengetahuan, sedangkan ilmu bil mukasyafah, atau bil
faidh (pancaran ilahi), atau esoterik disebut dengan ilmu.
Gus Dur lebih jauh menjelaskan bahwa ilmu
fungsinya adalah sebagai pengarah atau pembimbing karena ia laksana cahaya,
sedangkan pengetahuan fungsinya sebagai pelayan kepentingan manusia. Ilmu dan
pengetahuan memiliki tempatnya masing-masing dalam visi kehidupan Aswaja. Bila
ilmu dan pengetahuan ini di satukan, maka akan membetuk watak kehidupan manusia
yang sempurna (insanul kamil).
Sedangkan teknologi dalam visi kehidupan
Aswaja adalah buah atau anak kandung dari ilmu pengetahuan. Dengan teknologi
itulah manusia mengerti batas-batas kemampuannya. Dengan demikian tekhnologi, kata
Gus Dur, fungsinya untuk melestarikan kehidupan, bukan menghancurkan kehidupan.
Karena pengetahuan dan teknologi memiliki keterkaitan, maka wawasan mengembangkan
pengetahuan untuk mencari pendekatan-pendekatan sejauh mungkin kepada Allah, di
samping mempertimbangkan segala keterbatasan manusia, berlaku juga bagi
teknologi. (Diulas dari buku Islam Kosmopolitan dan Ihya’ Ulumuddin jilid
I oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment