Menu

Amazon

Lazada

Thursday 23 July 2015

PANDANGAN ASWAJA TENTANG ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI


2. Pandangan tentang Ilmu, Pengetahuan, dan Teknologi
Menurut Gus Dur konsep ilmu menurut Aswaja memiliki dimensi yang berbeda dengan pengertian umum. Sebagaimana kita ketahui, ilmu secara epistemologis adalah sekumpulan pengetahuan yang didasarkan teori yang disepakati bersama dan dapat diuji secara empiris. Gus Dur tidak sepakat dengan definisi ini. Beliau lebih condong melihat ilmu seperti cahaya (nur) yang memiliki dua dimensi.

Pertama dimensi esoteric (ilmu tentang hakikat yang dapat diperoleh melalui keluhuran budi (akhlaq mahmudah) yang diupayakan oleh sang pencari ilmu). Ilmu semacam ini tidak diperoleh dengan rasio, melainkan bil faidh (pancaran ilahi).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya. Bila dilihat dari cara mendapatkannya, ilmu oleh Al-Ghazali dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu bilmuktasab (ilmu yang diperoleh dengan cara belajar, menganalisa, dan meneliti sebuah objek pengetahuan), dan ilmu bil mukasyafah (ilmu yang diperoleh dengan cara tersingkapnya tabir).

Ilmu bil muktasab dapat kita contohkan ketika kita membaca buku, meneliti peristiwa alam, seperti angin, hujan, atau peristiwa yang tejadi di tengah-tengah masyarakat, kemudian data-data yang kita peroleh dari hasil penelitian tersebut kita kumpulkan, lalu kita bandingkan antara satu data dengan data lain sehingga melahirkan sebuah kesimpulan dalam bentuk pengetahuan yang baru. Nah pengetahuan baru yang kita peroleh itu disebut dengan ilmu muktasab oleh al-Ghazali.

Sedangkan ilmu mukhasyafa (tersingkapnya tabir) kata al-Ghazali diperoleh melalui dua tahab olah bathin, yaitu takholli dan takhalli dari keduanya kemudian melahirkan tajalli atau mukasyafah itu sendiri.

Takholli adalah olah bathin (mujahadah) untuk menghilangkan budi pekerti yang baruk, seperti iri, dengki, suka menghujat, menjelek-jelekkan orang lain, apalagi yang dijelek-jelekkan seorang kyiai. Setelah diri kita bersih dari budi pekerti yang buruk (al-akhlaq al-madzmumah) kemudian kita berusaha sekuat tenaga (mujahadah) untuk menghiasi diri dengan budi pekerti yang bagus (al-akhlaq al-mahmudah), seperti sabar (tidak suka menghujat dan mencaci), qana’ah (menerima pemberian Tuhan), zuhud (menjahui hal-hal yang syubhat, apalagi yang diharamkan) tawadlu’ (rendah diri). Bila seseorang istiqamah melakukan kedua hal di atas, yaitu membasmi budi pekerti buruk dan menumbuh kembangkan budi pekerti yang baik, maka dengan sendirinya ia akan naik pada kelas yang lebih tinggi, yaitu tajalli, memperoleh ilmu dengan jalan mukhasyafah (tersingkapnya tabir).

Perbedaan dari kedua ilmu di atas oleh al-Ghazali diumpakan seperti orang yang mengisi air di kolam pemandian. Ilmu bil muktasab (diperoleh dengan cara belajar) oleh al-Gazhali dibaratkan seperti orang yang mengalirkan air dari sumur atau sungai ke kolam sebuah pemandian, hingga kolam tersebut penuh dengan air dan dapat dibuat mandi.

Sedangkan ilmu bil mukasyafah oleh al-Ghazali diibaratkan seperti orang yang mengali lobang di kolam pemandian tersebut sampai ke sumber mata air, sehingga kolam menjadi penuh dengan air karena memancar dari sumber yang digali tadi.

Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah ilmu yang didapat oleh Ibunya Nabi Musa agar anaknya yang baru lahir (Nabi Musa) dihanyutkan ke sungai Nil. Ilmu semacam tidak diperoleh dengan membaca buku, atau mengamati kondisi sosial, melainkan ilham dari Allah sebagaimana kolam pemandian yang memancarkan air dari dalam tanah.

Menurut Gus Dur ilmu bil mukasyafah atau bil faidl (pancaran) tidak dapat dikembangkan lebih jauh sebab hanya orang tertentu yang dapat melakukan hal itu, dan justru akan membahayakan bila dikembangkan kepada orang umum. Yang harus dikembangkan adalah ilmu bil muktasab karena dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Kita tidak mungkin mendirikan perguruan tinggi jurusan ilmu mukasyafah atau ilmu ladunni karena mencari dosen yang bisa mengajar ilmu semacam itu sangat sulit.

Ilmu bil muktasab (yang diperoleh dengan cara belajar) oleh Gus Dur disebut dengan pengetahuan, sedangkan ilmu bil mukasyafah, atau bil faidh (pancaran ilahi), atau esoterik disebut dengan ilmu.

Gus Dur lebih jauh menjelaskan bahwa ilmu fungsinya adalah sebagai pengarah atau pembimbing karena ia laksana cahaya, sedangkan pengetahuan fungsinya sebagai pelayan kepentingan manusia. Ilmu dan pengetahuan memiliki tempatnya masing-masing dalam visi kehidupan Aswaja. Bila ilmu dan pengetahuan ini di satukan, maka akan membetuk watak kehidupan manusia yang sempurna (insanul kamil).


Sedangkan teknologi dalam visi kehidupan Aswaja adalah buah atau anak kandung dari ilmu pengetahuan. Dengan teknologi itulah manusia mengerti batas-batas kemampuannya. Dengan demikian tekhnologi, kata Gus Dur, fungsinya untuk melestarikan kehidupan, bukan menghancurkan kehidupan. Karena pengetahuan dan teknologi memiliki keterkaitan, maka wawasan mengembangkan pengetahuan untuk mencari pendekatan-pendekatan sejauh mungkin kepada Allah, di samping mempertimbangkan segala keterbatasan manusia, berlaku juga bagi teknologi. (Diulas dari buku Islam Kosmopolitan dan Ihya’ Ulumuddin jilid I oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment