Menu

Amazon

Lazada

Thursday 30 July 2015

KEPUTUSAN FATWA MUI TENTANG BPJS AMBIGU


Fatwa MUI yang menyatakan bahwa BPJS hukumnya tidak sesuai dengan praktek syariah, terkesan ambigu. Kenapa demikian? Bahasa tidak sesuai dengan hukum syariah memiliki dua konsekwensi makna, bisa haram, dan bisa tidak. Disebut haram karena tidak sesuai dengan hukum syari’ah, disebut boleh (mubah) atau makruh boleh terjadi karena tergolong aqad fasidah (transaksi yang sarat rukunya belum terpenuhi semua).

Lahirnya keputusan akad fasidah biasanya diesebabkan belum tercukupinya dalil yang secara tegas memperbolehkan atau melarang (haram). Bukti-bukti empiris, seperti dampak negatif dari praktek BPJS yang mendukung terhadap dalil tekstual (al-Quran dan Hadis) yang menyatakan melarang belum tercukupi, sehingga hukum diputuskan “tidak sesuai dengan syariah”. Sedangkan menurut Kompas karena “BPJS tidak berkonsultasi dengan MUI”.

Keputusan ini terkesan ambigu. Ibarat bayi lahir yang kelaminnya tidak jelas, namun sudah dipublikasikan ke masyarakat umum. Akhirnya masyarakat memiliki penafsiran tersendiri, dan penafsiran paling dekat adalah “hukum haram”. Sikap yang semacam ini akan mempertaruhkan kridibelitas lembaga MUI itu sendiri yang terkesan kurang profesional.

Seharusnya masalah hukum yang memerlukan kajian lebih dalam dengan mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan, dan belum dapat ambil keputusan apakah boleh (mubah) atau tida (haram), tidak usah dipublikasikan ke masyarakat umum, supaya masyarakat tidak dibuat bingung.

Seperti di beritakan oleh Okezone, MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengejutkan banyak pihak perihal hukum BPJS. Dalam Surat Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Kamis (30/7/2015) menyatakan bahwa Praktek BPJS tidak sesuai dengan syariah. Dalil yang dijadikan sebagai rujuakan adalah :
1.    Al-Quran, QS Al-Baqarah: 275-280, QS Ali Imran: 130, QS An-Nisa: 36-39, QS Al-Baqarah: 177, QS At-Taubah: 71, dan QS Al-Maidah: 2.
2.    Hadis, ada sepuluh hadis yang dijadikan sebagai dasar keputusan oleh MUI
3.    Ijma ulama dan beberap fatwa DSN MUI sebelumnya juga menjadi pertimbangan dalam mengeluarkan fatwa tersebut.
4.    Dalil 'Aqli, MUI menilai bahwa sistem jaminan sosial seharusnya berpedoman pada :
           a.    Asas tolong-menolong,
           b.    Individunya saling menjaamin satu sama lain,
           c.    Terciptanya rasa persaudaraan,
           d.    Itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).

Pertimbangan dalil aqli diatas diharapkan akan melahirkan dampak :”Terbentuknya masyarakat yang kokoh, kuat dan tidak terpengaruh oleh goncangan-goncangan yang terjadi”.

Oleh sebab itu menurut MUI poin dapak di atas harus ditopang dengan: “Terpenuhinya batas minimal kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan pengobatan”.


Menurut pandangan MUI jika hal-hal pokok di atas tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan kriminal, bunuh diri, dan terjerumus pada perkara-perkara yang hina dan rusak, serta bangunan sosial masyarakat akan runtuh. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment