Fatwa MUI yang menyatakan bahwa BPJS
hukumnya tidak sesuai dengan praktek syariah, terkesan ambigu. Kenapa demikian?
Bahasa tidak sesuai dengan hukum syariah memiliki dua konsekwensi makna, “bisa haram”, dan “bisa tidak”. Disebut haram karena tidak sesuai dengan
hukum syari’ah, disebut boleh (mubah) atau makruh boleh terjadi karena tergolong aqad fasidah (transaksi yang sarat rukunya belum
terpenuhi semua).
Lahirnya keputusan akad fasidah
biasanya diesebabkan belum tercukupinya dalil yang secara tegas memperbolehkan
atau melarang (haram). Bukti-bukti empiris, seperti dampak negatif dari
praktek BPJS yang mendukung terhadap dalil tekstual (al-Quran dan Hadis) yang menyatakan melarang belum tercukupi, sehingga hukum
diputuskan “tidak sesuai dengan syariah”. Sedangkan menurut
Kompas karena “BPJS tidak berkonsultasi dengan MUI”.
Keputusan ini terkesan ambigu. Ibarat
bayi lahir yang kelaminnya tidak jelas, namun sudah dipublikasikan ke masyarakat
umum. Akhirnya masyarakat memiliki penafsiran tersendiri, dan penafsiran paling
dekat adalah “hukum haram”. Sikap yang semacam ini akan
mempertaruhkan kridibelitas lembaga MUI itu sendiri yang terkesan kurang
profesional.
Seharusnya masalah hukum yang memerlukan
kajian lebih dalam dengan mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan, dan belum dapat ambil keputusan
apakah boleh (mubah) atau tida (haram),
tidak usah dipublikasikan ke masyarakat umum, supaya masyarakat tidak dibuat
bingung.
Seperti di beritakan oleh Okezone,
MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengejutkan banyak pihak perihal hukum BPJS.
Dalam Surat Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Kamis (30/7/2015)
menyatakan bahwa Praktek BPJS “tidak sesuai dengan syariah”. Dalil yang dijadikan sebagai rujuakan
adalah :
1. Al-Quran, QS Al-Baqarah: 275-280, QS Ali
Imran: 130, QS An-Nisa: 36-39, QS Al-Baqarah: 177, QS At-Taubah: 71, dan QS
Al-Maidah: 2.
2. Hadis, ada sepuluh hadis yang dijadikan
sebagai dasar keputusan oleh MUI
3. Ijma ulama dan beberap fatwa DSN MUI
sebelumnya juga menjadi pertimbangan dalam mengeluarkan fatwa tersebut.
4. Dalil 'Aqli, MUI menilai bahwa sistem jaminan
sosial seharusnya berpedoman pada :
a. Asas tolong-menolong,
b. Individunya saling menjaamin satu sama
lain,
c. Terciptanya rasa persaudaraan,
d. Itsar (mendahulukan kepentingan orang
lain).
Pertimbangan dalil aqli diatas diharapkan
akan melahirkan dampak :”Terbentuknya masyarakat yang kokoh, kuat dan tidak
terpengaruh oleh goncangan-goncangan yang terjadi”.
Oleh sebab itu menurut MUI poin dapak di
atas harus ditopang dengan: “Terpenuhinya batas minimal kebutuhan hidup
seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, sarana kesehatan, dan pengobatan”.
Menurut pandangan MUI jika hal-hal pokok
di atas tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan
kriminal, bunuh diri, dan terjerumus pada perkara-perkara yang hina dan rusak,
serta bangunan sosial masyarakat akan runtuh. (Oleh
FT edu)
No comments:
Post a Comment