Menu

Amazon

Lazada

Friday 10 July 2015

WUDLU MENURUT MADZHAB DHOHIRI



Menurut Ibnu Hazm wudlu hukumnya adalah wajib bagi orang yang memiliki air. Salat tidak sah tanpa wudlu. Hal ini di dasarkan pada firman Allah yang berbunyi :

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:٦)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

Wudlu, kata Ibnu Hazm, tidak sah kecuali dengan niat bersuci (thaharah), baik untuk salat wajib atau salat sunnah. Dengan kata lain wudlu tidak sah tanpa adanya niat. Dasarnya adalah firman Allah di atas. Menurut Ibnu Hazm secara umum, pada ayat di atas Allah menjelaskan bahwa wudlu diperintahkan ketika hendak melakukan salat. Dalam ayat tersebut Allah tidak mengkhusukan terhadap salat tertentu. Oleh sebab itu, kata Ibnu Hazm, makna dari ayat di atas tidak boleh dikhususkan pada salat tertentu saja. Bila seseorang mengerjakan selain yang diperintahkan maka tidak sah.

Ibnu Hazm mengkritik pendapat Madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa wudlu dan mandi tanpa niat atau niat untuk menyegarkan badan adalah sah. Mereka beralasan bahwa Allah hanya memerintahkan untuk membasuh anggota tubuh saja, tidak memerintahkan niat. Madzhab Hanafi menganalogikan mandi dengan membersihkan najis, sekalipun tanpa niat sudah cukup.

Namun, kata Ibnu Hazm, sebagian dari ulama Hanafiyah ada yang berpendapat tayamum tidak sah tanpa niat. Sedangkan Hasan bin Hayyi berpendapat lain. Menurutnya wudlu, mandi, tayamum sah tanpa niat. Dalam hal ini Abu Yusuf mengatakan bahwa jika seseorang dalam keadaan junub, kemudian menyelam ke dalam air sumur dengan tujuan mengeluarkan timba yang jatuh, maka tidak serta merta dia dianggap telah mandi junub. Namun menurut Muhammad bin Hasan orang tersebut telah dianggap mandi junub.

Ibnu Hazm menentang alasan yang dikemukakan oleh Madzhab Hanafi di atas. Menurutnya, alasan yang semacam itu adalah sebuah kebohongan. Sebab ketika Allah memerintahkan untuk membasuh angota tubuh, sekaligus Allah juga memerintahkan agar berniat membasuh apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah :

وَما أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ وَذلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (البينة : ٥)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.

Menurut Ibnu Hazm ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan manusia hanya untuk beribadah kepadanya, dengan niat hanya untuk menjalankan perintah dalam agamanya. Perintah ini menurut Ibnu Hazm bersifat umum, dan berlaku pada semua cabang ibadah yang lain.

Dalam hadis juga dijelaskan :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Perbuatan itu hanya dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya”.

Hadis ini menurut Ibnu Hazm bersifat umum dan berlaku pada semua perbuatan ibadah. Seseorang tidak boleh membatasi makna hadis tersebut. Kemudian menyangka kalau bahwa hadis di atas hanya berlaku pada ibadah tertentu saja, bukan pada semua ibadah.

Menurut Ibnu Hazam ulama Hanafiyah yang menganalogikan wudlu dengan menghilangkan najis adalah sebuah kekeliruan. Menganalogikan wudlu dengan membasuh najis adalah qiyas. Sedangkan qiyas menurut Ibnu Hazm tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Bila qiyas yang diajukan oleh Hanafiyah di atas benar, maka qiyas yang semacam itu batal karena berapa hal:

1. Wudlu dan mandi tidak dapat diqiyaskan dengan membersihkan najis. Menganalogikan wudlu dan mandi dengan membersihkan najis sangat lah kurang tepat, karena keduanya tidak sebanding. Lebih tepat kalau wudlu dan mandi diqiyaskan dengan tayamum. Sebab tayamum dalam kondisi tertentu dianggap sebagai wudlu. Bukankah ulama Hanafiyah menyamakan tayamum dengan wudlu dalam hal mengusap sampai ke dua sikut. Bukankah lebih tepat bila mereka menyamakan wudlu dengan tayamum, sebab tayamum menurut mereka butuh terhadap niat karena keduanya adalah sama-sama bersuci untuk melakukan salat.

Bila mereka berkata bahwasanya ayat tentang tayamumum:

 وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (النساء : ٤٣)

“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”.

terdapat ungkapan “tayyiban” sedangkan dalam ayat perintah berwudlu tidak ada ungkapan semacam itu. Dalam hal ini Ibnu Hazam menjawab: “Bener memang demikian adanya, lalu masalahnya apa? Demikian halnya dengan ayat :

إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا

Ayat tersebut menurut Ibnu Hazm jelas-jelas mengatakan bahwa membasuh wajah tidak sah kecuali dengan salat.

2. Menurut Ibnu Hazm alasan ulama Hanafiyah yang bahwa membasuh najis tanpa niat diperbolehkan yang disamakan dengan wudlu adalah sebuah kekeliruan yang besar. Menurut Ibnu Hazm setiap bersuci yang diperintahkan dengan cara tertentu, maka harus dilakukan dengan niat. Hal ini berdasarkan pada hadis yang mengatakan :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ (مسند أحمد)

“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu ditolak”.

Menurut Ibnu Hazm membersihkan najis bukan perintah yang memiliki sifat tertentu. Agama hanya memerintahkan agar manusia salat bersih dari najis di tubuhnya, bajunya, atau tempat salatnya. Seseorang yang salat dengan aturan yang ada, maka dia telah menjalankan perintah Allah.

Kata Ibnu Hazm dari sini sudah kelihatan kalau argumentasi Madzhab Hanafi lemah, dan pendapat mereka saling bertentangan satu sama lain ketika membedakan antara wudlu, mandi, tayamum, salat dan hal-hal lain yang tidak memiliki dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah dalam masalah orang junub yang menyelam ke dalam air, menurut Ibnu Hazm tidak memiliki landasan dalil.

Jika ada yang berkata bila seseorang harus niat, bukankah niat akan butuh terhadap niat lain, dan begitu seterusnya. Ibnu Hazm menjawab: “Bila hal ini dianggap sebagai keniscayaan dari wajibnya niat tayamum dan salat, maka hal itu adalah muhal. Sebab yang diperintahkan itu adalah niat. Sedangkan tujuan dari niat adalah menjalankan apa yang diperintahkan saja. Dengan ayat di atas, kata Ibnu Hazm, pendapat Hasan bin Hayyi telah terbantahkan.

Ulama yang mewajibkan niat dalam mandi dan wudlu adalah Imam Malik, Imam Safi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Dawud, dan yang lainnya. (Diulas dari Kitab Al-Mukhlla karya Ibnu Hazm oleh FT edu).

No comments:

Post a Comment