Menurut
Ibnu Hazm wudlu hukumnya adalah wajib bagi orang yang memiliki air. Salat tidak
sah tanpa wudlu. Hal ini di dasarkan pada firman Allah yang berbunyi :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:٦)
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”.
Wudlu,
kata Ibnu Hazm, tidak sah kecuali dengan niat bersuci (thaharah), baik
untuk salat wajib atau salat sunnah. Dengan kata lain wudlu tidak sah tanpa adanya
niat. Dasarnya adalah firman Allah di atas. Menurut Ibnu Hazm secara umum, pada
ayat di atas Allah menjelaskan bahwa wudlu diperintahkan ketika hendak
melakukan salat. Dalam ayat tersebut Allah tidak mengkhusukan terhadap salat
tertentu. Oleh sebab itu, kata Ibnu Hazm, makna dari ayat di atas tidak boleh dikhususkan
pada salat tertentu saja. Bila seseorang mengerjakan selain yang diperintahkan maka
tidak sah.
Ibnu Hazm
mengkritik pendapat Madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa wudlu dan mandi tanpa
niat atau niat untuk menyegarkan badan adalah sah. Mereka beralasan bahwa Allah
hanya memerintahkan untuk membasuh anggota tubuh saja, tidak memerintahkan niat.
Madzhab Hanafi menganalogikan mandi dengan membersihkan najis, sekalipun tanpa
niat sudah cukup.
Namun, kata
Ibnu Hazm, sebagian dari ulama Hanafiyah ada yang berpendapat tayamum tidak sah
tanpa niat. Sedangkan Hasan bin Hayyi berpendapat lain. Menurutnya wudlu,
mandi, tayamum sah tanpa niat. Dalam hal ini Abu Yusuf mengatakan bahwa jika
seseorang dalam keadaan junub, kemudian menyelam ke dalam air sumur dengan
tujuan mengeluarkan timba yang jatuh, maka tidak serta merta dia dianggap telah
mandi junub. Namun menurut Muhammad bin Hasan orang tersebut telah dianggap mandi
junub.
Ibnu
Hazm menentang alasan yang dikemukakan oleh Madzhab Hanafi di atas. Menurutnya,
alasan yang semacam itu adalah sebuah kebohongan. Sebab ketika Allah memerintahkan
untuk membasuh angota tubuh, sekaligus Allah juga memerintahkan agar berniat
membasuh apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah :
وَما أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاةَ وَذلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
(البينة : ٥)
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
Menurut
Ibnu Hazm ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan manusia hanya
untuk beribadah kepadanya, dengan niat hanya untuk menjalankan perintah dalam
agamanya. Perintah ini menurut Ibnu Hazm bersifat umum, dan berlaku pada semua
cabang ibadah yang lain.
Dalam
hadis juga dijelaskan :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
“Perbuatan
itu hanya dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya”.
Hadis
ini menurut Ibnu Hazm bersifat umum dan berlaku pada semua perbuatan ibadah. Seseorang
tidak boleh membatasi makna hadis tersebut. Kemudian menyangka kalau bahwa hadis
di atas hanya berlaku pada ibadah tertentu saja, bukan pada semua ibadah.
Menurut
Ibnu Hazam ulama Hanafiyah yang menganalogikan wudlu dengan menghilangkan najis
adalah sebuah kekeliruan. Menganalogikan wudlu dengan membasuh najis adalah
qiyas. Sedangkan qiyas menurut Ibnu Hazm tidak dapat dijadikan sebagai dasar
dalam menetapkan hukum. Bila qiyas yang diajukan oleh Hanafiyah di atas benar,
maka qiyas yang semacam itu batal karena berapa hal:
1. Wudlu
dan mandi tidak dapat diqiyaskan dengan membersihkan najis. Menganalogikan wudlu
dan mandi dengan membersihkan najis sangat lah kurang tepat, karena keduanya
tidak sebanding. Lebih tepat kalau wudlu dan mandi diqiyaskan dengan tayamum.
Sebab tayamum dalam kondisi tertentu dianggap sebagai wudlu. Bukankah ulama Hanafiyah
menyamakan tayamum dengan wudlu dalam hal mengusap sampai ke dua sikut. Bukankah
lebih tepat bila mereka menyamakan wudlu dengan tayamum, sebab tayamum menurut mereka
butuh terhadap niat karena keduanya adalah sama-sama bersuci untuk melakukan salat.
Bila
mereka berkata bahwasanya ayat tentang tayamumum:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (النساء : ٤٣)
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”.
terdapat
ungkapan “tayyiban” sedangkan dalam ayat perintah berwudlu tidak ada
ungkapan semacam itu. Dalam hal ini Ibnu Hazam menjawab: “Bener memang demikian
adanya, lalu masalahnya apa? Demikian halnya dengan ayat :
إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Ayat
tersebut menurut Ibnu Hazm jelas-jelas mengatakan bahwa membasuh wajah tidak
sah kecuali dengan salat.
2. Menurut
Ibnu Hazm alasan ulama Hanafiyah yang bahwa membasuh najis tanpa niat
diperbolehkan yang disamakan dengan wudlu adalah sebuah kekeliruan yang besar.
Menurut Ibnu Hazm setiap bersuci yang diperintahkan dengan cara tertentu, maka
harus dilakukan dengan niat. Hal ini berdasarkan pada hadis yang mengatakan :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ
(مسند أحمد)
“Barang
siapa yang melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu ditolak”.
Menurut
Ibnu Hazm membersihkan najis bukan perintah yang memiliki sifat tertentu. Agama
hanya memerintahkan agar manusia salat bersih dari najis di tubuhnya, bajunya, atau
tempat salatnya. Seseorang yang salat dengan aturan yang ada, maka dia telah
menjalankan perintah Allah.
Kata Ibnu
Hazm dari sini sudah kelihatan kalau argumentasi Madzhab Hanafi lemah, dan pendapat
mereka saling bertentangan satu sama lain ketika membedakan antara wudlu,
mandi, tayamum, salat dan hal-hal lain yang tidak memiliki dalil. Perbedaan
pendapat di kalangan ulama Hanafiyah dalam masalah orang junub yang menyelam ke
dalam air, menurut Ibnu Hazm tidak memiliki landasan dalil.
Jika ada
yang berkata bila seseorang harus niat, bukankah niat akan butuh terhadap niat lain,
dan begitu seterusnya. Ibnu Hazm menjawab: “Bila hal ini dianggap sebagai keniscayaan
dari wajibnya niat tayamum dan salat, maka hal itu adalah muhal. Sebab yang
diperintahkan itu adalah niat. Sedangkan tujuan dari niat adalah menjalankan apa
yang diperintahkan saja. Dengan ayat di atas, kata Ibnu Hazm, pendapat Hasan
bin Hayyi telah terbantahkan.
Ulama
yang mewajibkan niat dalam mandi dan wudlu adalah Imam Malik, Imam Safi'i, Imam
Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Dawud, dan yang lainnya. (Diulas dari Kitab
Al-Mukhlla karya Ibnu Hazm oleh FT edu).
No comments:
Post a Comment