Menurut Abu Ja'far Ath-Thusi ushul fiqh
adalah dalil fiqh. Berbicara tentang ushul fiqh, berarti berbicara tentang
hukum wajib, sunnah, mubah, dan yang lainnya. Tapi membahas ushul fiqh tidak
otomatis membahas tentang masalah fiqh yang furu'iyah (cabang). Ushul fiqh
hanya mebahas dasar-dasar fiqh, bukan masalah fiqh yang bersifat spesifik.
Sekalipun demikian tidak berarti tanpa ushul fiqh ilmu fiqh tidak dapat
dikuasai. Jika demikian adanya, maka ilmu ushul fiqh harus membahas tentang
adanya pencipa, sifat-sifatnya, kenabian, dan lain-lain.[1]
Menurut Sayyid Murtadlo dalam kitabnya
Ad-Dari'ah, ushul fiqh adalah ilmu yang membahas bagaimana sebuah dalil
menunjukkan terhadap hukum yang bersifat umum, bukan terperinci.[2]
Menurut Thabaththaba'i dalam kitabnya Khasyiah
Al-Kafiyah, ushul fiqh adalah ilmu yang membahas tentang kaidah yang
ditetapkan oleh ahli logika yang dijadikan sebagai sarana penggalian hukum
Islam. Karena tujuan utama dibukukannya ilmu ushul fiqh sebagai sarana untuk
menggali hukum Islam, maka pembahasannya tidak akan jauh-jauh dari tujuannya
tersebut, sekalipun dalam kenyataannya lebih meluas dari itu.[3]
Dalam pendahuluan kitabnya, Al-Uddah
fi Ushulil Fiqh, Ath-Thusi mengatakan bahwa ushul fiqh adalah ilmu yang
sangat penting karena seluruh hukum Islam dibangun di atasnya. Pengetahuan
tentang hukum Islam tidak akan sempurna bila tidak mengetahuai dali-dalinya.
Ahli fiqh yang tidak mengetahui dasar-dasar hukum, dia akan disebut dengan muqallid
(orang yang taklid) dan tukang kisah hukum, bukan orang yang alim.[4]
Sumber dalil ushul fiqh, menurut Abu
Ja'far Ath-Thusi, berasal dari khitab (pesan keagamaan). Bagaimana
sebuah khitab (pesan keagamaan) menetapkan sebuah perintah, atau bagaimana
sebuah khitab (pesan keagamaan) menjadi sarana bagi sebuah perintah.[5]
Khitab (pesan keagamaan) menurut Abu Ja'far Athusi
adalah ungkapan yang memiliki beberapa aspek. Oleh karenanya tidak semua
ungkapan dapat disebut dengan khitab. Berbicara tentang khitab berarti
berbicara tentang dalil-dalil hukum yang berasal dari al-Quran dan sunnah yang
meliputi:
1. Pembahsan tentang perintah (amr)
dan larangan (nahy);
2. Pembahsan tentang ungkapan yang bersifat
umum (aam) dan khusus (khas);
3. Pembahsan tentang ungkapan yang bersifat
mutlak (muthlaq) dan yang terdefinisikan (muqayyad);
4. Pembahasan tentang nasakh
(pembatalan hukum) dan mansukh (ayat yang dibatalkan hukumnya);
Sedangkan kajian yang berkaitan dengan
penetapan khitab sebagai dalil hukum hanya ada satu, yaitu pembahasan tentang khabar
(berita-berita yang berkaitan dengan sumber bukum Islam), dan macam-macamnya
khabar.
Sedangkan pembahasan yang berkaitan
dengan objek khitab adalah pembahasan tentang hukum perbuatan manusia.
Menurut Abu Ja'far Athusi sebagian ulama
ada yang berpendapat bahwa ijma', qiyas, Ijtihad, kriteria seorang ahli fatwa
dan orang yang memohon fatwa, halal, dan haram merupakan bagian dari pembahasan
ilmu ushul fiqh. Namun pandangan madzhab syiah tidak sepakat pendapat semacam
itu. Menurut madzhab Syi’ah Ijma’ hanya bisa dijadikan sumber hukum, bila
berasal dari golongan yang ma’sum (terjaga dari kesalahan). Madzhab syi’ah
meyakini bahwa dalam Ijma tidak boleh ada kekeliruan. Menurut madzhab syiah
dalam sepanjang waktu ijmak akan selalu ada. Hal ini dapat dipahami dengan
akal, bukan dengan dalil. Oleh karenanya menurut Ath-Thusi masalah ijma’ tidak
masuk dalam pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Sedangkan masalah Ijtihad, kata
Ath-Thusi, menurut Madzhab syi’ah tidak dapat dijadikan sebagi salah satu dalil
dalam pengambilan hukum, bahkan ijtihad dilarang dalam madzhab syi’ah.
sedangkan masalah kriteria seorang ahli
fatwa dan orang yang memohon fatwa syiah memiliki kriteria sendiri dalam hal
ini.
Masalah halal dan haram, kata Ath-Thusi,
dalam pandangan madzhab syi’ah dan juga sebagian besar golongan yang tidak
sejalan dengan syiah, dapat dipahami dengan rasio, oleh karenanya tidak masuk
dalam pembahasan ilmu ushul fiqh.[6] (Diulas dari Sumber Kitab Ushul Fiqh Sy'iah oleh FT edu)
[1]. Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thusi, Al-Uddah fi Ushulil
Fiqh, cet. Muhsin Karim, tp.th, hal : 14
[2]. Abul Qasim Ali bin Husain al-Musawi, Ad-Dari'ah, tp.th, hal
:7
[3]. Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Thabththaba’I, Khasyiah
Al-Kafiyah, tp.th, hal: 14
[4]. Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thusi, Al-Uddah fi Ushulil
Fiqh, cet. Muhsin Karim, tp.th, hal : 4
[5]. Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thusi, Al-Uddah fi Ushulil
Fiqh, cet. Muhsin Karim, tp.th, hal: 30
[6]. Abu Ja’far Muhammad bin Hasan At-Thusi, Al-Uddah fi Ushulil Fiqh, cet. Muhsin Karim, tp.th, hal: 8
No comments:
Post a Comment