Yang dimaksud dengan dasar-dasar umum
disini adalah rangkaian pandangan yang berkenaan dengan sendi kehidupan
bermasyarakat, baik yang bersifat ideologis, maupun orientasi kehidupan, dan
seperangkat nilai yang melandasi kebidupan bermasyarakat.
Jadi jelasnya itu begini. Manusia adalah makhluk
sosial. Ia tidak bisa memenuhi kebutuhan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Padahal
orang lain itu beragam. Masing-masing orang memiliki pandangan tentang dunianya
dimana dia berada, seperti pandangan tentang agama (Islam, Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu), ideologi (agama, nasionalis, sosialis) yang kesemuanya itu
berbaur dalam satu kehidupan yang disebut dengan tata kehidupan masyarakat.
Nah Gus Dur mendata seperangkat nilai
yang melandasi kehidupan masyarakat Aswaja itu meliputi :
1. Pandangan manusia dan tempatnya dalam
kehidupan
Pandangan tentang manusia kalau kita tarik
pada ranah teologis (faham Asy’ariyah dan al-maturidiyah) terkait dengan konsep
qadla’ dan qadar. Tapi pembahasan qadla’ dan qadar disini
tidak lagi terfokus pada Tuhan, sebab itu masuk dalam wilayah kajian telogis
murni, semua manusia meyakini kalau Tuhan itu maha kuasa. Gus Dur menginginkan
konsep teologi Asy’ariyah dan al-Maturidiyah tentang qadla’ dan qadar
harus itu ditarik ke dalam wilayah kehidupan masyarakat. Konsep teologi Asya’ariyah
tidak hanya sebagai dasar keimanan (akidah murni), melainkan sebagai dasar
dalam kehidupan bermasyarakat (akidah sosial). Konsep teologi Asy’ariyah dan
al-Maturidiyah tentang qadla’ dan qadar telah memberikan tempat
yang sangat tinggi kepada manusia dalam tata kehidupan alam semesta. Menurut
Asy’ariyah adan al-Maturidiyah manusia memiliki kebebasan, tapi kebebasan
manusia dibatasi oleh kekuasaan Tuhan. Konsep tersebut kalau kita jadikan
sebagai akidah sosial, maka akan melahirkan sikap saling menghormati kepada sesama
manusia, tanpa melihat suku, ras, dan agama, sebab Allah telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Lah wong Tuhan
tidak memaksa manusia, malah kita memaksa kepada sesama. Apa sikap yang semacam
ini tidak disebut telah melampui hak prerogatif Tuhan? Mungkin benar kata
orang: “Ajudan jenderal kadang-kadang lebih kejam dari jenderalnya, hehehehe….
Pemaknaan terhadap konsep akidah Asy’ariyah
dan al-Maturidiyah di atas jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh NU Garis
Lurus. Mereka menjadikan teologi Asy’ariyah dan al-Maturidiyah sebagai alat
ukur. Ikhwanul Muslimun diukur apakah dia Aswaja atau tidak? Akhirnya lama-lama
mereka jadi tukang ukur. Yang lebih lucu lagi mereka memapaparkan dasar
argumentasinya dari teks Arab yang mereka kutip dari satu kitab tertentu, namun
terjemahannya mbulet susah dimengerti.
Jadi kalau mematahkan argumentasi NU Garis
Lurus tidak usah melalui Pesantren Ciganjur, cukup pojokannya saja hehehehe….Nanti
kita sambung lagi. (Diulas dari Buku Islam Kosmiopolitan karya KH.
Abdurrahman Wahid oleh FT edu)
No comments:
Post a Comment