Menu

Amazon

Lazada

Saturday 18 July 2015

ISLAM NUSANTARA DAN AIR SUCI TIDAK MENSUCIKAN


Judul di atas mungkin terkesan aneh karena mengaitkan Islam Nusantara yang lagi ramai diperbincangkan dengan salah satu Bab thaharah (bersuci) yang ada dalam ilmu fiqh. Tapi ini sangat membantu dalam memaknai istilah Islam Nusantara bagi orang awam seperti saya.

Dalam bab thaharah (bersuci) air adalah salah satu alat yang dipakai untuk menghilangkan najis dan hadas selain debu. Dalam kitab-kitab fiqh enam madzhab (Syiah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Dhohiriyah) hampir semuanya membagai air menjadi tiga, yaitu air suci mensucikan, air suci tidak mensucikan, dan air najis.

Air suci yang mensucikan biasanya disebut dengan air mutlak, yaitu air yang namanya tidak terikat dengan nama lain, seperti air sumur, air hujan, air sungai. Kita ambil contoh air sumur sekalipun disandarkan pada kata sumur, tapi ketika air tersebut dipindah ke bak mandi akan disebut dengan air bak mandi, bukan air sumur. Ketika dipindah ke kolam renang tidak lagi disebut dengan air sumur, melainkan air kolam renang demikian seterusnya. 

Hal ini berbeda dengan air suci yang tidak mensucikan yang salah satu macamnya adalah air yang namanya terikat dengan nama lain, seperti air mawar, air jeruk. Air air jeruk dipindah ke tempat manapun, dia akan tetap disebut dengan air jeruk. Demikian juga dengan air mawar. Air yang semacam ini menurut Madzhab Syiah dan Malikiyah disebut dengan air mudlaf (air yang namanya disandarkan kepada nama lain).

Termasuk air yang suci tidak mensucikan adalah air yang suci mensucikan tapi tercampur oleh benda suci lain sehingga salah satu sifat dasarnya (bau, rasa, dan warna) berubah, seperti air teh dan air kopi.

Dikecualikan dari ketentuan di atas adalah air yang berubah salah satu sifat dasarnya oleh benda suci yang selalu menyandinginya. Seperti air sungai yang berubah warnanya sebab lumpur, air sumur yang baunya berubah sebab lumut. Lalu macam-macam air di atas dalam kaitannya dengan Islam Nusantara apa???

Islam sebagai nama tidak ada yang mutlak. Seperti halnya air tidak ada yang bersifat mutalk “air saja” tanpa terkait dengan asalnya. Islam sebagai nama akan selalu bersanding dengan nama atau lokasi dimana Islam itu tumbuh dan berkembang. Islam sebagai ajaran juga selalu berinteraksi (dalam bahasa Gus Dur berdialog) dengan budaya dimana Islam itu dihadirkan, diyakini, dan dijadikan sebagai pandangan hidup.

Islam yang berinterakasi dengan budaya dimana ia dihadirkan nasibnya sama sebagaimana air yang tercampur oleh benda suci. Bila benda suci yang mencampurinya tidak sampai merubah salah satu sifat dasarnya, maka air tersebut tetap dianggap suci mensucikan. Benda suci yang mencampuri Islam itu apa???

Benda suci yang mencampuri Islam adalah budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam, seperti salat pakai kopiyah, pakai sarung, pakai celana jean dan lain-lain. Semua itu adalah benda suci dari budaya lokal yang berbaur dengan ajaran Islam, namun sifat dari ajaran Islam tidak berubah sebab pakai sarung atau celana jean.


Hal di atas akan berbeda bila benda suci dari budaya itu mencampuri ajaran Islam sampai merubah sifat dasarnya. Seperti adzan pakai bahasa Jawa sambil diiringi gamelan. Salat dengan bahasa nasional sambil diiringi dengan drum band. Hal-hal yang semacam ini akan merubah watak dasar dari ajaran Islam, dan tentunya tidak diperbolehkan. (Oleh FT edu)

No comments:

Post a Comment