Menurut Ibnu Hazm agama Islam ajran-ajarannya sudah
baku. Bagi siapapun tidak boleh mengambil dalil kecuali dari
al-Quran atau hadis Nabi yang sahih, entah hadis itu diriwayatkan oleh
keseluruhan ulama, atau hanya sekelompok ulama saja yang mengutip dari Nabi
secara utuh, atau diriwayatkan oleh perorangan yang mata rantainya sampai
kepada Nabi. Hanya kedua sumber itulah yang dapat dijadikan rujukan bagi hukum Islam, bukan yang yang
lain. Dalam hal ini Allah berfirman :
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (النجم : ٣-٤)
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al
Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al Qur’an itu) adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”.
اتَّبِعُوا مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِياءَ
قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ (الأعرف:٣)
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلامَ دِيناً (المائدة : ٣)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Bila ada perbedaan pendapat dalam ayat
al-Quran, atau hadis sakhih, atau pertentangan makna antara hadis sakhih dengan
ayat Al-Quran, maka menurut Ibnu Hazm ayat atau hadis yang maknanya
bertentangan itu wajib dipakai semua. Sebab menurutnya patuh terhadap kedua
dalil yang maknanya bertentangan hukumnya sama, yaitu wajib. Tidak boleh bagi
seseorang meninggalkan satu ayat, dan memakai ayat yang lain selama kita mampu
untuk melaksanakannya. Bila kedua dalil itu tidak mampu untuk dilaksanakan
semuanya, maka harus memilih dalil yang makna hukumnya lebih banyak, karena itu
yang lebih diyakini wajibnya.
Menurut Ibnu Hazam tidak boleh bagi
seseorang meninggalkan sesuatu yang sudah diyakini kebenarannya, dan mengambil
sesuatu yang masih berupa asumsi. Dalam pandangan Ibnu Hazm sudah tidak ada
kejanggalan lagi dalam ajaran agama, karena Allah telah menegaskan :
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلامَ دِيناً (المائدة : ٣)
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
وَنَزَّلْنا
عَلَيْكَ الْكِتابَ تِبْياناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرى
لِلْمُسْلِمِينَ (النحل:٨٩)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri”. (Diulas dari kitab Al-Mukhalla karya Ibnu Hazm oleh FT edu).
No comments:
Post a Comment